Sebentar lagi bangsa Indonesia akan memperingati Hari Pahlawan. Hari ketika bangsa Indonesia mengungkapkan syukur dan terima kasih atas pengorbanan pahlawan yang rela gugur di medan perang demi kemerdekaan Indonesia.

Sebelum bangsa Indonesia benar-benar menikmati kemerdekaan di tahun 1945, kita telah dijajah bangsa Belanda dan bangsa lain selama ratusan tahun. Kedatangan Belanda ke Indonesia meninggalkan banyak kesan yang mendalam, baik itu kesan yang baik maupun kesan yang buruk. Sayangnya, tidak semua orang mampu memandang kesan yang baik akibat pendudukan ratusan tahun lalu.

Saya tidak berasal dari keturunan keluarga pejuang yang berurusan langsung dengan penjajah. Saya hanyalah keturunan rakyat jelata yang turut menjadi korban penjajahan. Melalui almarhum kakek, saya mendengar cerita betapa sulitnya hidup di zaman penjajahan Belanda. Bisa makan saja sangat bersyukur. Bisa bekerja dan mendapatkan uang, itu adalah anugerah.

Apakah saya prihatin? Pastinya, iya. Namun, apakah saya harus benci kepada penjajah? Ehm, untuk apa?

Sekarang zaman sudah berubah sama sekali. Indonesia sudah merdeka dan dikenal di mata dunia. Banyak orang asing yang datang untuk melihat seperti apakah negeri Indonesia, termasuk para keturunan bangsa penjajah.

Perubahan zaman memberikan saya kesempatan untuk bertemu dengan mereka. Saya memiliki beberapa teman-teman dari luar negeri yang salah satunya berasal dari negeri Belanda. Berteman dengan mereka sungguh suatu pengalaman yang menarik. Ada lima hal baik yang bisa saya pelajari dari mereka. Apa sajakah itu?

 

1. Mudah dalam Memberikan Apresiasi

Dua tahun lalu saya bertemu dengan Willem Eilander. Dia adalah kerabat dari suami teman saya yang sudah lama tinggal di Belanda. Willem datang dalam rangka keliling Asia Tenggara selama tiga bulan. Dia mengunjungi Indonesia selama dua minggu. Kami menyempatkan waktu untuk makan malam dan berbincang–bincang tentang kehidupan kami. Saya juga mengajaknya untuk bertemu dengan komunitas saya. Setelah Willem kembali ke Belanda, kami tetap melakukan kontak. Dari setiap percakapan yang kami lakukan, saya menangkap pelajaran, tidak sulit bagi Willem untuk menyatakan apresiasinya kepada lawan bicaranya.

Sebagai contohnya,

“Wah, itu bagus sekali, Dee.”

“Saya percaya kamu pasti bisa lebih baik lagi.”

Selain itu masih banyak lagi ungkapan pujian yang keluar dari mulutnya.

Seorang teman saya yang pernah studi di Belanda menyatakan hal yang sama. Dia bercerita bahwa dosen-dosen yang mengajarnya juga begitu mudah memberikan apresiasi.

“Bayangkan Dee, aku berusaha menjelaskan jawabanku dengan bahasa Inggris yang masih belepotan dan dosenku berkomentar, ‘Bagus sekali, Kandi. Penjelasanmu sangat menarik.’ Aku tidak menyangka kalau dosenku akan berkata seperti itu.”

 

Baca Juga:Masa Kanak-kanak Saya Mungkin Menyedihkan, tetapi Masa Depan Tidak Harus Demikian. Sebuah Kisah Sejati tentang Hidup yang Berarti, Kini dan Nanti

 

2. Agama Bersifat Personal

Willem penganut agama Katolik dan selalu menyempatkan diri beribadah. Namun, saat ditanya lebih dalam tentang kehidupan keagamaannya, dengan sopan Willem menolak untuk menjelaskan. Willem berkata, “Agama itu urusan saya dengan Tuhan langsung. Tidak perlu orang lain tahu detail hal yang saya kerjakan.”

Membandingkan dengan kejadian-kejadian mengandung sara di Indonesia, cukup miris memang. Seandainya semua orang memiliki pandangan bahwa agama atau keimanan itu bersifat personal, maka kasus-kasus bermuatan sara tidak perlu lagi terjadi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here