Seorang anak tertangkap basah sedang menonton video porno di kamarnya.

Sang ayah kemudian memarahi anak itu habis-habisan. Kemarahan sang ayah bertambah besar setelah mendapati bahwa hampir seluruh isi laptop anaknya adalah video porno.

Setelah diinterogasi, anak itu mengaku bahwa sebagian besar video itu adalah hasil unduhannya sendiri dari internet, sebagian lagi hasil berbagi dengan teman di sekolah. Ia berkata sudah lama suka menonton video porno. Bahkan, hampir setiap hari ia melakukannya. Sebelum tidur, setiap malam, itulah waktunya menonton. Ia bilang, tidak bisa tidur tanpa menonton video porno lebih dulu.

Ayahnya marah. “Mau jadi apa kau kalau tiap hari isi otakmu hanya film porno?”

Dengan berani, sang anak menjawab, “Ayah juga dulu begitu, kan? Karena susah dapetnya aja, jadi seolah-olah ga kecanduan!”

 

Dunia yang Telanjang

Mungkin jawaban anak itu terkesan tidak sopan. Akan tetapi, bukankah itu adalah pengakuan yang jujur mewakili pergumulan anak di zaman ini?

Saya tidak yakin, tetapi bisa jadi benar, bahwa

pada era sebelum anak-anak kita, masalah pornografi bukan masalah besar karena keadaan yang tidak memungkinkan.

Video porno tidak mudah menyebar. Orang-orang harus rela berjalan jauh dan dengan sembunyi-sembunyi membeli untuk dapat menyaksikan video-video seperti itu.

Namun, hari ini, orang-orang tidak perlu mencarinya jauh-jauh di tempat-tempat tersembunyi. Tayangan porno dapat diperoleh secara gratis. Malahan, tidak perlu dicari juga. Tayangan itu datang sendiri memperkenalkan dirinya begitu seseorang masuk ke dalam dunia internet. Iklan-iklan berbau seks menawarkan diri tanpa diminta. Dan, hanya dengan sekali klik, seseorang dapat menjelajahinya dengan puas.

Dunia hari ini adalah dunia yang telanjang. Film-film bioskop, iklan-iklan TV dan cerita-cerita sinetron dan tayangan acara hiburan yang beredar di masyarakat adalah konten-konten vulgar bermuatan seks.

Billy Graham pernah bercerita tentang seorang penulis Amerika yang pernah menulis artikel berjudul “Saya Muak dengan Seks”. Di artikelnya, penulis itu menyatakan rasa muaknya dengan konten seks yang terpampang di koran, televisi. Di mana-mana.

Namun, yang mengejutkan, banyak orang tidak setuju, bahkan tidak suka dengan pendapatnya itu. Bahkan, seorang dewan redaksi mengatakan bahwa agar sebuah majalah laris, seks harus dipamerkan di sampul depannya.

 

Memarahi seorang anak yang kecanduan pornografi adalah respons alamiah orang tua yang kecewa. Namun, yang lebih perlu dilakukan adalah memahami kondisi zaman di mana anak-anak kita lahir dan bertumbuh.

Mungkin saja awalnya anak-anak kita tidak pernah berniat untuk menjadi pecandu pornografi. Namun, keadaan dan situasi memerangkapnya. Dan ia pun terjebak dalam dunia pornografi yang amat merusak.

Inilah yang bisa lakukan untuk menolong anak-anak kita, generasi yang hidup di zaman di mana pornografi dianggap sebagai sebuah kewajaran:

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here