Salah satu daya tarik kuat dari film ini, yang membuat penonton terus menyimak dan berdecak kagum, adalah kepiawaian David untuk menggunakan berbagai akses di dalam internet dan merangkai seluruh informasi yang ia peroleh kepada satu titik temu.

Sebagai orang tua di era digital, saya rasa kita semua perlu mulai belajar melek teknologi, khususnya internet, karena itulah dunia tempat anak-anak kita berada dan berkarya.

Memang, kita mungkin tidak bisa menjadi sefasih anak-anak kita di dalam menggunakannya, tetapi setidaknya kita mengerti dan tahu posisi pintu masuk ke dunia mereka. Jika pintu masuknya saja tidak bisa, atau tidak mau kita temukan, jangan salahkan apabila suatu ketika mereka benar-benar hilang, atau lebih tepatnya kita yang kehilangan mereka.

Baca Juga: Saya Mengizinkan Anak Saya Menggunakan Gadget. Apakah Saya Orang Tua yang Buruk?

 

 

Kedua, berlatihlah untuk membicarakan luka-luka di dalam keluarga.

Luka adalah sebuah hal yang sangat jamak di dalam kehidupan keluarga. Luka-luka itu bisa timbul karena konflik, situasi sulit, kehilangan anggota keluarga, dan sebagainya.

Keluarga adalah lahan yang paling subur untuk menimbulkan luka, tetapi secara bersamaan, keluarga juga bisa menjadi tanah yang paling gembur untuk membicarakan dan memproses luka itu bersama-sama.

Sayangnya, hal yang terakhir disebutkan itu tidak banyak terjadi di dalam keluarga, sebagaimana yang dialami ayah-anak David dan Margot. Keduanya menyimpan luka karena kepergian sang istri dan Ibu, tetapi sama-sama memendamnya dan berpikir bahwa waktu akan menghilangkan luka itu dengan sendirinya. Keengganan untuk membicarakan dan memproses luka itulah yang menurut saya menjadi pangkal bagi masalah yang jauh lebih besar. Seandainya luka-luka bisa dibicarakan dan disembuhkan bersama-sama, saya rasa ada banyak relasi keluarga yang tidak harus menempuh jalan memutar yang menyakitkan sebagaimana yang kerap dikeluhkan.

Baca Juga: Jika Saja Kita Bersedia Membukanya, Sesungguhnya Tersimpan Keindahan di Balik Luka Hati yang Kita Punya

 

 

Ketiga, latihlah anak-anak untuk bertanggung jawab atas kesalahan yang dibuatnya, dan jangan terbiasa menutupinya.

Kata-kata “I would taking care of this,” yang diucapkan oleh salah satu tokoh penting dalam film ini, sekaligus menjadi petunjuk bagi keseluruhan kasus. Kebiasaan orang tua menutupi, atau menanggung akibat yang timbul dari kesalahan anak-anaknya, ternyata sama sekali tidak membawa kepada pertumbuhan dan kebaikan, malah menuntun kepada masalah-masalah dan akibat-akibat yang lebih fatal. Tentu tidak menyenangkan bagi orang tua untuk membiarkan anaknya berhadapan sendiri dengan akibat, hukuman, atau konsekuensi atas kesalahannya. Dengan memposisikan diri sebagai anak, cara seperti ini juga begitu mengerikan bagi saya. Rasanya cara termudah untuk menyelesaikan kesalahan adalah bersembunyi di balik tubuh orang tua. Tetapi pola sehat yang seharusnya dilatih adalah membiarkan setiap individu berhadapan dengan kesalahannya sendiri, meskipun kita tetap bisa mendampingi orang yang bersalah itu dengan tangan yang gemetar karena ketidak-tegaan.

Siapa tahu, tangan kita yang gemetar justru menjadi penguatan mujarab bagi tangan orang bersalah yang juga sedang gemetar ketakutan.

 

 

Menurut saya, setelah Wonder (2017), Searching adalah film keluarga terbaik yang mengandung pesan yang bernas, cerita yang menarik, dan artistik yang kreatif. Saya sangat menyarankan para orang tua, guru, dan pembimbing kaum muda untuk menyaksikan film ini. Lebih baik lagi jika menonton bersama anak-anak atau remaja kita, kemudian mendiskusikannya bersama.

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here