“Xavier, daddy is coming!” ujar seorang anak balita di suatu musim dingin. Saya memang sedang menemaninya jalan-jalan ke sebuah mal saat papanya datang.

Saya kaget karena baru kali itu ada anak kecil yang berani memanggil nama saya tanpa kata ‘Pak’ di depannya. Namun, kekagetan saya hanya sebentar karena saya sadar orang kulih putih memang biasa memanggil orang tua mereka ‘by names’. Coba kalau anak-anak kecil di Indonesia berani ‘njangkar’ [Jawa=menyebut nama saja] kepada orang dewasa, apalagi yang sudah tua, bakal kena semprot atau bahkan gampar.

 

Saya teringat sebuah kisah yang pernah saya baca.

Seorang ayah marah-marah kepada anaknya setelah melihat hasil ujiannya yang merah menyala. Dengan emosi sang bapak berkata kepada anaknya, “Jika sekali lagi Bapak melihat engkau mendapat nilai buruk, jangan panggil aku ‘Papa’ lagi.”

Seminggu kemudian, anaknya pulang dari ujian. “Bagaimana hasilnya?” tanya papanya.

“Ancur Bro!” sahut anaknya sambil berlari menjauh.

 

Ternyata ada selebriti Indonesia yang tidak tersinggung, bahkan membiasakan anaknya untuk tidak risih memanggilnya ‘Bro’. Adalah Marthino Lio—pemain film yang lagi main Sultan Agung—yang menikahi Birgita Anita Fauziah.

Apa salahnya anak kecil, khususnya anak kita, memanggil kita ‘bro’ atau ‘sis’? Alasan Lio membiarkan anaknya memanggilnya ‘Bro’ agar lebih akrab.

Apa salahnya anak kecil, khususnya anak kita, memanggil kita 'bro' atau 'sis'? Ini 3 hal yang ditunjukkan dengan panggilan akrab seperti itu. Share on X

 

 

1. Kesetaraan

Jika kita bisa menjadi sahabat bagi anak-anak, mereka pun tidak segan-segan untuk curhat kepada kita.

Saya biasa menonton film kartun dan anak-anak untuk menemani anak-anak saya. Kini setelah mereka dewasa dan remaja, saya pun masih sering nonton bareng mereka film-film bertema remaja dan petualangan. Bahkan ada sekelompok anak muda yang senang sekali mengajak saya join menonton bersama mereka.

Coba lihat bagaimana orang bule bicara sama anaknya? Saya sering melihat dengan mata kepala sendiri seorang bapak kulit putih yang berjongkok untuk bicara kepada anaknya yang masih kecil. Bahasa tubuh itu ‘dibaca’ oleh anaknya sebagai kemauan untuk merendahkan diri.

Bukankah kita sebagai orang tua sering kali arogan dan menjaga jarak kepada mereka agar disegani? Untuk apa kita disegani [baca=ditakuti] jika mereka tidak menghormati dan mengasihi kita?

Baca Juga: Bukan Menahan untuk Bersama Selamanya, melainkan Mempersiapkan untuk Meninggalkan pada Waktunya

 

 

2. Kedekatan

Jika jalan-jalan saya senang memeluk punggung anak bungsu saya yang sekarang tingginya sudah sama dengan sama. Saya percaya, tidak lama lagi, saya kesulitan untuk jalan sambil memegang pundaknya. Menggandeng dan memeluk merupakan bahasa tubuh untuk menunjukkan kedekatan, tetapi bukan kepura-puraan karena berada di depan umum.

Untuk apa kita menunjukkan kemesraan di wilayah publik sementara di wilayah privat kita sering berantem?

Panggilan ‘Bro’ menunjukkan kita dekat satu sama lain. Apa kita bisa otomatis memanggil seseorang ‘Bro’ atau ‘Sis’ jika kita tidak dekat?

Baca Juga: Relasi Keluarga Nyata dalam Kelindan Dunia Maya: Review Film “Searching” [Major Spoiler Alert]

 

 

3. Kenyamanan

Kita merasa nyaman berada dengan seseorang yang setara dan dekat dengan kita. Saya dipanggil ‘Bro’ oleh orang-orang yang sudah bergaul dengan saya bertahun-tahun. Demikian juga saya pun memanggil orang-orang dekat dengan ‘Bro’ atau ‘Brother’.

Intinya,

Kenyamanan membuat kita terbuka. Kepercayaan adalah awal keterbukaan. Tanpa dekat, apa kita berani curhat? 

Setuju Bro?

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here