Setelah hari keempat suhu tubuh anak saya telah kembali normal, maka dokter berkata hari kelima adalah masa observasi. Cairan infus telah dilepas, obat antibiotik yang dimasukkan melalui injeksi juga tidak lagi diteruskan. Meskipun demikian, perawat masih terus menerus memeriksa suhu tubuh anak saya, berjaga-jaga jika sampai naik kembali.
Anak saya mulai bisa makan walau tidak lahap seperti ketika ia sehat. Ia juga mulai ceria, apalagi ketika melihat kakek neneknya datang berkunjung. Kehadiran para perawat di kamar juga sudah tidak lagi membuatnya trauma [karena peristiwa cabut-pasang infus hingga tiga kali].
Saya lega. Akhirnya tubuh anak saya bisa melawan virus penyakit yang menyerangnya. Jika hari ini terlalui dengan baik, maka esok sudah pasti kami bisa pulang ke rumah kembali.
Jika melihat ke belakang, ada banyak hal yang patut saya syukuri dan bisa menjadi pelajaran untuk masa yang akan datang.
Pertama: Ibu, Percayalah pada Kata Hatimu
Di hari pertama, ketika anak saya demam dan tidak kunjung turun sekalipun telah diberi obat penurun panas, saya langsung berpikir bahwa saya perlu membawa anak ini ke rumah sakit. Saya sudah mengabari dokter anak kepercayaan kami sebelumnya dan ia menganjurkan agar kami segera membawa anak kami ke UGD bila memang perlu. Saya berpikir, akan sangat berbahaya bagi anak sekecil ini jika sampai panas badannya begitu tinggi lalu mengalami kejang dan hal-hal lain yang tidak kami inginkan.
Saya segera meminta suami saya untuk pulang dan membawa kami ke rumah sakit. Awalnya suami saya menolak, ia enggan langsung membawa putri kami ke rumah sakit hanya karena demam biasa. Namun perasaan saya tidak enak. Saya memaksa untuk ke rumah sakit.
Benar saja, sesampainya di rumah sakit, suhu tubuh anak saya sudah di atas 39 derajat. Bahkan obat penurun panas yang telah dimasukkan lewat dubur tidak berpengaruh apa-apa. Sementara menunggu di UGD, suhu tubuhnya terus meningkat hingga 39.3 derajat. Dokter UGD pun memutuskan putri kami harus diopname.
Suami dan ibu saya masih enggan untuk menginapkan putri kami di rumah sakit. Mereka berkeras. Jika bisa, dibawa pulang saja, kita rawat di rumah. Akan tetapi, perasaan saya semakin tidak enak.
Panik karena suhu tubuhnya yang begitu tinggi bercampur khawatir, bagaimana jika nanti terjadi apa-apa di rumah? Siapa yang bisa menolong? Sementara perjalanan dari rumah ke rumah sakit cukup jauh.
Tidak. Saya putuskan, anak kami harus dirawat di rumah sakit.
Ibu, percayalah pada perasaanmu. Karena dirimu sendirilah yang paling tahu bagaimana kondisi anakmu.
Saya sendiri bersyukur telah mendengarkan kata hati saya saat itu. Walau ketika suami dan ibu saya ngotot membawa pulang Si Kecil, sempat muncul juga keinginan untuk menuruti mereka. Ibu mana yang tega memasukkan anaknya ke rumah sakit?
Untunglah, keputusan sulit yang saya buat itu menyelamatkan nyawa anak saya.
Saya tidak dapat membayangkan apa yang terjadi bila kami terlambat membawanya ke rumah sakit. Jika saja kami menunggu beberapa hari lagi, atau jika kami menyepelekan demam ini dan memaksa untuk merawat sendiri Si Kecil di rumah, mungkin saja virus ini semakin ganas dan putri saya tak dapat disembuhkan lagi.
Kedua: Walau Tak Tega, Percayalah pada Keputusan Dokter
Ketika pertama kali infus dipasang di tubuh kecil anak saya yang baru berusia satu tahun itu, saya benar-benar tak tega. Hingga akhirnya, sewaktu ia mencabut sendiri selang infusnya, kami memutuskan untuk tidak memasangkan kembali selang infus ke tubuhnya. Namun rupanya, keputusan saya waktu itu membuat kami tidak bisa pulang sehari lebih cepat.