Saya menulis ulang sebuah kisah perampokan yang bisa kita jadikan pelajaran untuk hidup.

 

Seorang perampok berteriak kepada semua orang di bank, ”Jangan bergerak! Uang ini milik Negara. Hidup Anda adalah milik Anda.”

Semua orang di bank tiarap.

Dia meneriakkan ini untuk membatalkan niat orang-orang tertentu untuk melawan. Dia seakan berkata, “Apa gunanya engkau melawan, toh ini bukan uangmu!”

Apa yang perampok lakukan ini disebut ‘mind changing concept’, mengubah cara berpikir.

Cara berpikir yang kreatif menentukan sukses tidaknya suatu tindakan.

 

Di situasi paling menegangkan sekalipun, selalu saja ada orang-orang yang entah naif atau cari muka.

Seorang nasabah yang seksi mencoba merayu perampok. Sikapnya itu justru membuat perampok meradang, “Yang sopan, Mbak. Ini perampokan. Bukan perkosaan!”

Kita menyebut perampok ini being professional’. Dia fokus kepada pekerjaannya. Dia melakukan persis seperti Standard Operating Procedure. Awas jangan dibalik. SOP, kali, dibalik tumplek!

 

Saat berada di rumah, perampok yunior yang bergelar MBA lulusan kampus top berkata kepada seniornya yang hanya lulusan SD, “Sudah aman, Bang. Mari kita hitung hasil rampokan kita.”

“Dasar bodoh,” ujar perampok yang lebih tua. “Untuk apa kita capek-capek menghitungnya. Toh tidak lama lagi kita akan mendengar berita jumlah uang yang berhasil kita rampok. Koran, radio, dan televisi tidak lama lagi pasti ramai memberitakannya. Tunggu saja. Ngapain repot-repot?”

Apa yang perampok senior ini ketahui disebut ‘experience’.

Bukankah pengalaman adalah guru yang terbaik, yang sering kali lebih berharga ketimbang selembar ijazah dari kampus top mana pun?

 

Di bank, manajer berkata kepada kepala cabangnya untuk segera melapor ke polisi. “Kita ambil dulu sebagian untuk kita. Sisanya baru kita laporkan.”

Orang semacam ini bisa saja kita sebut ‘opportunist’ sejati yang bisa ‘seizing the opportunity’ dan ‘swim with the tide’ alias berenang mengikuti arus sambil mencuri ikan he-he-he.

 

Keesokan harinya, hampir semua media massa memberitakan: Uang sebesar seratus miliar berhasil dirampok dari sebuah bank.

Karena curiga dengan hasil yang mereka peroleh, para perampok itu menghitung hasil jarahannya dan meradang, “Kurang ajar! Kita yang susah payah merampok dan mempertaruhkan nyawa malah hanya mendapatkan 20 milyar saja, sedangkan yang ongkang-ongkang kaki malah dapat 80%.”

Hal ini mengingatkan kita pada orang bernama Vilfredo Pareto yang memperkenalkan TwentyEighty Principle, yaitu “80% hasil ditentukan oleh 20% sebab.”

Prinsip Pareto ini terjadi di banyak tempat. Penghasilan sebuah perusahaan sering kali justru ditentukan hanya oleh 20% karyawan. Sebaliknya, yang 80% justru kurang produktif. Jika prinsip itu dipikirkan secara mbeling, jadinya, ya, seperti kisah perampokan ini, yang ongkang-ongkang justru dapat uang segudang. Wkwkwk.

Artinya, ‘Knowlede is worth as much as gold.’

Pengetahuan ternyata lebih berharga ketimbang emas.

 

 

Dari kisah perampokan di atas, kita mendapatkan mozaik hikmat yang tiada tara.

 

Pertama,

setiap peristiwa selalu mengandung multidimensi dan multitafsir.

Orang yang melihat dari sisi yang berbeda akan mendapatkan pemahaman yang berbeda pula. Ingat kisah empat orang buta yang terperosok ke sebuah lubang berisi gajah? Karena belum pernah melihat gajah sebelumnya, ada yang mengatakan gajah itu seperti pohon [karena dia memeluk kakinya]. Ada yang menyamakannya dengan tongkat runcing [yang memegang gadingnya]. Ada yang ngotot bahwa gajah itu seperti tembok [karena dia meraba tubuhnya]. Ada pula yang mati-matian menyebut gajah itu seperti ular [karena dia sedang memegang belalainya].

Mozaik yang dipersatukan menghasilkan pemandangan dan hikmat yang begitu indah. Mengapa tidak mau belajar memahami sudut pandang orang lain? Share on X

 

Kedua,

pengalaman sering kali lebih berharga ketimbang pendidikan formal.

Jika kita cerdas, kita tidak akan membenturkan pengalaman dengan pengetahuan. Jauh lebih baik jika mengnyinergikan keduanya. Artinya, jika pendidikan ditambah pengalaman, hasilnya lebih luar biasa.

 

Ketiga,

di setiap peristiwa selalu saja ada yang berperan sebagai pelaku, korban, dan orang yang merasa bisa jadi pahlawan.

Padahal, orang lain, apalagi Sang Khalik, bisa jadi mempunyai pendapat yang berbeda, bahkan berlawanan dengan apa yang selama ini kita pahami.

 

Keempat,

jika kita melihat peristiwa ini dari berbagai sudut pandang, menghayatinya dengan sungguh-sungguh dan mencoba melakukan introspeksi, hikmat yang kita peroleh sungguh luar biasa.

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here