Bisakah bangkai masa lalu disimpan selamanya?
Livi menunggu hingga si kembar tertidur sebelum menghubungi Lisbeth. Ia butuh ketenangan untuk bicara dengan adiknya. Tanpa menunggu lama, Lisbeth mengangkat video call dari Livi.
“Hi Ci!” sapa Lisbeth, tangan Lisbeth melambai dengan gembira.
Livi memaksakan senyum. “Lagi sibuk?”
“Enggak. Ini mau tidur.” Lisbeth memamerkan piama satinnya. Livi menelan ludah melihat tubuh Lisbeth yang ramping, Ia sama sekali tak bisa membayangkan tangan Bryan merangkul pinggang langsing adiknya. Darah Livi menggelegak.
“Do you ….”
“Yes?” Lisbeth menaikkan alisnya sambil tersenyum lebar.
“Do you have a boyfriend now?” pancing Livi.
Seketika juga wajah Lisbeth memerah. Jantung Livi terasa mau copot. Ia masih berharap Ko Benny salah. Itu hanya gosip. Tak mungkin Bryan jadian dengan Lisbeth. Namun, dari wajah Lisbeth tampak malu-malu, Livi tahu informasi itu benar.
“Ya.”
Keduanya hening.
“Kenapa enggak cerita sama Cici?” Livi berusaha tenang.
Lisbeth hanya diam saja. Jika mereka bersama, Livi pasti sudah mengguncang badan Lisbeth dan berteriak, “Are you crazy? I’ve told you! Do not go near Bryan!”
“Lisbeth ….”
Bryan – loves – me. Tangan Lisbeth mengeja nama Bryan dalam American Sign Language yang mereka kuasai sejak kecil.
Hati Livi menjerit. Abjad itu milik mereka! Kenapa harus nama bajingan itu yang dieja oleh abjad yang dulu mereka pakai untuk berbagi rahasia?
Dia- bukan – orang – baik.
Wajah Lisbeth langsung cemberut. “Bryan baik! Baik sekali,” bantah Lisbeth.
Livi berusaha tenang meskipun badannya bergetar karena panik.
“Do you trust me, Lisbeth?” tanya Livi.
Lisbeth terdiam.
“Do you trust me, Lisbeth?” tanya Livi lagi. Ia hampir menangis. Kenapa Lisbeth jadi begini? Dulu mereka begitu dekat. Sejak ada bangsat itu, Lisbeth berubah. Bryan sialan!
“Lisbeth ngantuk. Bye.” Tanpa menunggu jawaban Livi, Lisbeth memutuskan hubungan telepon.
Livi memandang layar hitam tak tahu harus bagaimana. Rasa marah memenuhi hatinya. Bryan sialan! Namun, setelah beberapa saat, rasa marah berganti dengan rasa takut. Ia takut Bryan mencelakakan Lisbeth, menyakiti hati adiknya. Banyak temannya menikah dengan cowok baik-baik tetapi kemudian diselingkuhi, dijadikan sasaran tinju. Apalagi Bryan bukan pria baik-baik!
I won’t let Bryan marry her Lisbeth. Never!
Bagaimana mungkin ia membiarkan Lisbeth menikah dengan pria yang punya puluhan mantan. Ia jijik ketika di pesta-pesta atau after party menyaksikan beberapa perempuan merayu Bryan. Di pesta berikutnya, Bryan merangkul perempuan lain. Lalu bulan berikutnya, ada perempuan lain yang duduk di pangkuan Bryan, tertawa manja menyandarkan kepalanya di dada Bryan. Dasar cewek bodoh! Bulan depan, ceweknya sudah ganti tahu! Dan memang bulan depannya, Bryan sudah berfoto dengan gadis berbikini di Maldives.
Livi bisa menebak mereka ngapain di resort Maldives, tidak mungkin mengisi TTS sambil berpakaian lengkap, kan?
Ia dan Anissa pernah datang ke wedding di Four Season Bali. Bryan dan pacarnya—entah pacar ke-51 atau 69–juga hadir. Anissa yang kenal dengan pacar Bryan saat itu mampir ke kamar hotel mereka untuk mengambil barang.
“Gila, Vi. Kondom bekas di mana-mana. Mampus!” keluh Anissa.
“Salah lo mau diajak ke kamar mereka. Gue sih nehi-nehi,” gerutu Livi.
“Gue kasian sama Tante Mei Hwa,” desah Anissa. “Beda banget sama Ko Ben.”
Livi mengangguk. Sungguh mati, ia heran kenapa masih banyak gadis yang rela menyerahkan diri mereka ke Bryan? Dasar cewek bodoh semuanya.
Semua ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri, jadi bagaimana mungkin ia percaya ketika Bryan mendatangi dan berkata ia sudah bertobat? Ia tak mau masuk jajaran cewek bodoh yang terhipnotis oleh pesona Bryan.
Cewek bodoh? Lisbeth juga bukan cewek bodoh. Napas Livi memburu.
***