“Hah?” Bryan menatap Dimas dan hampir tertawa. Dimas yang alim dan kelihatan sebagai anak teladan pernah selingkuh sama cewek lain? “Lo … selingkuh?”

Dimas dan Anissa dari luar tampak sempurna. Di awal-awal Bryan bertobat, Dimas sering mengirimnya kutipan kata-kata bijak untuk penyemangat. Mereka tampak seperti couple goal keluarga ideal yang menghiasi Instagram.

“Itu sebelum married,” bantah Dimas cepat. Matanya menatap langit-langit, tak sekali pun ia berani melihat ke arah Bryan.

“Yang kirimin mantannya Dimas, tepat di hari tunangan gue sama Dimas.” Wajah Anissa menegang. Beberapa kali, ia menggeleng seolah-olah mengusir kenangan pahit. Cerita meluncur tentang bagaimana mantan Dimas mengirimkan video itu.

“Gila!” Bryan menggelengkan kepala.

Bryan mengangkat alis. Cerita Anissa berikutnya membuat punggungnya dingin.

“Om Lucky?” desis Bryan tak percaya. Om Lucky menampar Dimas? Di antara keempat pria di grup golf papanya, Lucky yang selama ini paling happy go lucky. Tidak pernah marah. Selalu tertawa, easy going. Ah Liong menampar dirinya bukan berita baru.

Anissa menguasai dirinya. “Tahu lo dulu maen cewek, sama lihat bukti visual elo MAEN cewek, BOOM … beda banget! Kalo Papa Dimas aja begitu, gimana … Om Wim?”

Wajah Om Wim dengan poker face tanpa senyum muncul di otak Bryan.

“Yang bikin gue paling marah, karena gue tahu dari orang lain,” bisik Anissa penuh geram. “Lo tahu kenapa dulu gue sama Dimas tiba-tiba sering banget ke luar negeri? Kami enggak jalan-jalan. Kami konseling. We spent months … years in tears, Bryan.”

Bryan hampir tidak memercayai apa yang ia dengar. Anissa yang seumur hidupnya tidak pernah menangis, selalu kelihatan in controlbossy, kini tampak rapuh di hadapannya.

Dimas memeluk erat istrinya. “I’m sorry, Babe … So sorry,” bisik Dimas sambil membelai rambut Anissa.

Anissa hanya mengangguk. “I know … I can’t control myself,” gumam Anissa.

That’s not your fault, okay?” Dimas menghapus air mata Anissa. “That’s my fault.

Adegan di hadapannya membuat sekujur Bryan dingin membeku. Ia sama sekali tidak bisa membayangkan Lisbeth yang ada di posisi Anissa. Jika Anissa yang kuat saja hancur, bagaimana dengan kekasihnya?

You have to tell her the truth.

“Sekalipun sekarang … gue udah enggak begitu?” ujar Bryan pelan. “You know, I never do that again.”

“Itu yang dulu gue pikir, Bro,” ujar Dimas. “I was wrong. Your past can haunt you.” Ponsel Dimas berdering, ia membawa ponselnya keluar. 

“Kenapa lo tetep sama Dimas?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Bryan.“Why did you choose this road? Family business?” tanya Bryan lirih. “Mumpung enggak ada Dimas … please, tell me the truth. Did someone force you?”

“No… not at all. Bokap nyokap kasih keputusan ke tangan gue. Kalau gue mau cancelthey wouldn’t be angry. Dimas’ parents also the same.”

“Then why?”

“It’s not because of money … nama baik or things like that ….”

“Then why? Why you choose to torture yourself?”

Anissa menghapus air matanya. “I love him more than his past. And I believe Dimas is a man worth fighting for ….”

Senyum kecut muncul di wajah Bryan. “He’s lucky.” Bryan mengerjap-ngerjapkan mata menahan emosi. Bryan terpejam. Ia memijat keningnya. “That’s the problem, Nis. I don’t think Lisbeth loves me that much,” kata Bryan lirih. “I don’t think she loves me that much …. Lo tahu kenapa gue dulu gonta-ganti cewek. Gue bosen di rumah. Tapi Lisbeth beda.”

Mata Bryan menatap langit-langit dengan nanar. 

Anissa mendekati Bryan. “Bryan … lo hubungin Bu Yuli, dia psikolog keluarga yang dulu bantuin gue sama Dimas di Jakarta,” Anissa memberikan sebuah kartu nama. 

Bryan mengangguk. “Thanks.”

“Remember … This is a long and painful journey. It can take months … It took years in my case.” Anissa menelan ludahnya. “Dan lo harus jujur! Lo kudu cerita. Semua.”

Anissa menaruh tangannya di lengan Bryan. “You’re also worth fighting for ….”

“Gue enggak tahu Lisbeth bakal mikir begitu apa enggak. You know I don’t expect her to love me that much. Just a tiny amount will do. Even my family doesn’t love me. Gimana bisa gue minta orang lain to love me that much?” tanya Bryan pahit.

“Love covers a multitude of sins.”

Bryan mendengus. “I don’t think I’m worthy of that kind of love. Anyway, thanks.”

Anissa menepuk bahu Bryan. “Jia you…”

“Nis … lo tahu, kan… ada kemungkinan Lisbeth … putusin gue kalau dia tahu?”

Anissa menghela napas. Ia menatap mata Bryan. Ada ketakutan di mata pria itu. “Iya. ada kemungkinan Lisbeth enggak bisa terima. But you love her, don’t you?”

“Yes ….”

“And there’s a non-zero probability that she will choose to stay.” Anissa memeluk Bryan. “Have a little faith, Bryan. Go see Bu Yuli. She can help you. ”

***

Bryan melihat ke sekelilingnya, sebuah ruangan kantor nyaman dengan desain minimalis. Suhu AC yang pas, tetapi kenyamanan yang utama justru datang dari Bu Yuli, perempuan berambut pendek dengan kacamata berbingkai tipis. Bryan baru saja menceritakan masa lalunya. Alih-alih memberi pandangan menghakimi, Bu Yuli justru tersenyum hangat. 

“Saya sudah praktik cukup lama, biasanya kasus seperti ini, ceweknya yang minta konseling. Cowoknya datang diam saja. Kalau Bryan beda loh,” pujinya sambil tertawa renyah. 

Bryan hanya tersenyum kecut. Mungkin perempuan itu berkata hal yang sama untuk semua kliennya. 

“Kalau Bryan sudah terbuka, biasanya prosesnya bisa lebih cepat.” 

Secercah harapan muncul di hati Bryan. 

“Kalau boleh tahu, apa sih yang membuat Bryan memutuskan untuk bertobat?” tanya Bu Yuli lagi. 

Ia diam sejenak, sudah beberapa tahun berlalu tetapi kejadian itu serasa baru kemarin. “Saya … enggak tahu Ibu percaya apa tidak, ketika mobil saya tabrakan, mendadak ada kayak di film, Bu. Adegan-adegan hidup saya,” ucap Bryan terbata-bata.

Adegan demi adegan terpampang, perempuan duduk di pangkuannya, wajah Papa yang merah padam, tawa manja perempuan tanpa busana, tawa sinis Benny, botol anggur yang pecah, tangis Mama. Ia seperti melihat dirinya dalam cermin. Menatap matanya yang kosong. Bentakan bo nao. Menyaksikan ia tertawa keras-keras untuk menyembunyikan luka. Ia melihat Livi menudingkan telunjuk dan mengejek. “Idih cowok kayak lo siapa yang mau!” 

Sebelum semuanya gelap, ia mendengar dirinya berbisik, “Kenapa hidup gue sia-sia banget …. why nobody loves me?” Ia melanjutkan bagaimana ia terbangun di rumah sakit dan mengetahui keluarganya sedang berunding untuk mencopot alat bantunya. Suara Bryan makin terbata ketika ia menceritakan betapa terlukanya ia ketika ia tidak tahu apakah keluarganya menginginkan ia hidup atau merasa lebih baik jika ia mati. 

“Begitulah, Bu.” Bryan menunduk dalam-dalam, tak berani menatap mata Bu Yuli. 

“Setelah kamu keluar dari rumah sakit bagaimana?” 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here