Tahukah kau impian terbesar orang tuamu untuk dirimu? Impian Heni untuk Lisbeth berganti-ganti sesuai dengan umur Lisbeth. Satu impian terpenuhi, waktunya untuk membuat target, eh impian, yang lain.

Heni menyambut Lisbeth yang baru pulang dari butik dengan serangkaian perintah, “Ganti baju, lalu makan.” Lisbeth mengangguk lalu berjalan menaiki tangga. Heni mengikuti Lisbeth sambil menanyakan hari Lisbeth. Diam-diam, Heni bangga menyaksikan putrinya yang tumbuh sehat dan cantik. 

Di dinding kamar Lisbeth, terpasang foto Lisbeth kecil memakai toga berfoto dengan Heni dan Wim. Di SLB Lisbeth dan Liona, ketika mereka lulus SD, kepala sekolah mengadakan wisuda dengan menggunakan toga. Bruder kepsek menjelaskan itu bukan untuk gaya-gayaan, tetapi karena banyak anak Tuli terlambat masuk SD, sehingga mereka baru lulus SD umur 15-16 tahun. Bagi mereka, wisuda SD satu-satunya kesempatan mereka memakai toga. Heni ingat ia pun menangis membayangkan masa depan Lisbeth yang suram.

Di sebelah foto itu, terpajang pigura lain. Lisbeth mengenakan toga sarjana dengan membawa buket bunga mawar pink. Heni, Wim, Livi, dan Liona ikut berpose bersama. Ternyata, masa depan tetap ada bagi anak Tuli.

“Ini buat butik?” tanya Heni mengambil sehelai sketsa yang berserakan di tempat tidur. Model di dalam sketsa itu mengenakan kebaya batik dengan motif lurik.

“Bukan, itu untuk lomba desain. Lisbeth ikut supaya lebih banyak pelanggan.” Lisbeth menunjukkan gambar-gambar lainnya yang sudah ia buat. Dua sketsa gaun malam dengan motif batik, satu sketsa kebaya kutubaru dipadukan dengan celana jeans, dan tiga desain busana santai dengan motif batik mega mendung. 

“Kenapa memilih batik?” Heni bertanya bak dewan juri.

“Batik—traditional wearable art. Seni yang bisa dipakai.” Lisbeth lalu menunjukkan beberapa foto di ponselnya. “Ini plat kuningan untuk membuat batik cap. Setiap pattern harus diukir di plat.” 

Heni tersenyum cerah. Tahun-tahunnya yang penuh air mata, perlahan mulai berakhir. Dahulu, ketika pertama mendengar Lisbeth Tuli, hanya tangisan yang Heni tahu. Setiap ia datang ke toko Mak Kintan untuk bekerja, Heni terus menangis, membuat Mak Kintan kesal.

“Kau nangis seperti itu, memang anak-anakmu jadi bisa mendengar?” gerutu Mak Kintan. Heni diam saja. Ia terduduk di kursi kayu di pojok toko. Toko adalah satu-satunya tempat ia bebas menangis. Ia tidak berani menangis di rumah. Mertuanya terus-menerus menyindirnya. Jika mertuanya melihat ia menangis, makin tajam lagi kritikan yang ia terima.

“Sudah dikasih seperti itu, ya terima. Pasti ada jalannya,” kata Mak Kintan sambil menghitung di sempoanya.

Heni sedih mendengar kata-kata mamanya. Kenapa tak ada yang mengerti kepedihan hatinya? Anaknya tiga, semua perempuan. Itu saja sudah aib di keluarga Chinese. Dua orang Tuli pula. Ia mendengar mertuanya sering meminta suaminya untuk mencari istri kedua. Namun, ia tidak pernah mengadukan hal itu kepada mamanya. Biar ia menangis sendiri.

“Jalan bagaimana, Ma? Tuli berat.” Heni menangis lagi. Dokter spesialis mengabarkan hasil tes Lisbeth, Tuli berat. Berdasarkan hasil tes, Lisbeth hanya bisa mendengar suara guntur dan pesawat terbang, suara-suara di atas seratus desibel. Heni khawatir akan masa depan anaknya. Liona sedikit lebih baik. Ia bisa mendengar suara mesin cuci (sekitar 70 desibel), klakson mobil (80-85 desibel), dan sepeda motor (95 desibel). Dua anak perempuannya Tuli. Adakah orang yang lebih malang daripada dirinya?

“Ya, kita belum tahu, tapi Tuhan itu adil. God is rechtvaardig[2],” kata Mak Kintan menggunakan istilah bahasa Belanda yang ia tahu. Mak Kintan sangat memercayai bahwa Tuhan itu adil. “Nanti kita cari tahu. Lisbeth itu pintar,” sambung Mak Kintan berusaha menyemangati Heni.

Heni masih terisak. “Pintar dari mana, Ma? Sudah enam tahun bicara tidak lancar ….”

Mak Kintan mulai tidak sabar, “Matanya, Heni! Lihat mata Lisbeth! Mata anak pintar itu beda! Lisbeth TULI? Ya. Bodoh? TIDAK! Makanya dia perlu sekolah,” tegur Mak Kintan keras. “Kita cari tahu anak ini jalannya di mana. Kalau pintar dagang, kita kasih toko. Kalau pintar sekolah, kita sekolahkan! Kalau Wim tak mau sekolahkan, Mama yang sekolahkan,” ujar Mak Kintan mantap. “Mama pernah sekolah di sekolah Belanda! Semua anak harus sekolah. Dengar itu, Heni?”

“Iya, Ma.” Heni menghapus air matanya. Segudang pertanyaan memenuhi otaknya. Apa bisa Lisbeth bertahan? Apa bisa Lisbeth sekolah? Siapa pula yang mau menikah dengan anaknya kelak? Padahal, nasib dan kebahagiaan perempuan Tionghoa ditentukan oleh menikah dengan siapa dan … punya mertua yang seperti apa.

Tahun-tahun penuh tangisan berlalu. Lisbeth dan Liona tumbuh sehat dan aktif. Heni memandang bangga ke foto wisuda Lisbeth. Ia teringat pada spot kosong di sebelah foto pernikahan Livi.

“Jimmy apa kabar?” tanya Heni sambil tersenyum cerah. “Kapan mau diajak ke rumah?” Mungkin itu hanya perasaan Heni, tetapi wajah Lisbeth terlihat sedikit kaku.

“Baik, Mi. Kerja sibuk.”

“Biasa laki-laki kerja sibuk. Tapi pacaran perlu sering-sering bertemu.” Heni menasihati.

Lisbeth mengangguk pelan. Di antara ketiga anaknya, Lisbeth paling pendiam, ia tidak suka pesta-pesta, lebih sering di rumah menjahit atau membaca majalah. Liona masih sering kelayapan untuk main basket, main tenis, sedangkan Lisbeth lebih memilih makan di rumah dengan orang tuanya. Heni lega bukan kepalang ketika Lisbeth mengatakan (akhirnya) ia punya pacar. Samar-samar ia ingat Jimmy, pemuda tinggi yang suka menjadi fotografer di acara-acara sekolah SLB. Ia tak masalah jika menantunya juga Tuli, mungkin malah lebih baik karena Lisbeth tidak akan digencet oleh mertuanya. Tiba-tiba ide cemerlang muncul di benak Heni.

“Bagaimana kalau mengundang Jimmy datang ke ulang tahun Papi?” tanya Heni cerah. Dengan bersemangat, Heni membeberkan rencananya merayakan ulang tahun Wim, mengundang geng golf, dan memamerkan bahwa Lisbeth sudah punya pacar. Sempurna! Ia terlalu gembira dengan rencananya sampai tidak menyadari bahwa Lisbeth tidak menjawab sama sekali.

***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here