Ia mati-matian belajar. Berharap dengan semua prestasi yang dia capai, akan ada sebuah nama yang mengisi bagian itu. Nyatanya ia harus menelan kecewa, sekeras apapun ia berusaha, sebaik apapun pencapaiannya, pengakuan itu tak pernah hadir. Kolom itu tetap kosong.

Di bawah air terjun ini, Bayu bertekad. Dia bisa. Dia mampu. Persetan dengan sebuah nama. Dia harus berdiri dengan kakinya sendiri. Tanpa Papa. Tanpa Kohde. Tanpa bantuan siapapun.

Ironisnya, hari ini dia kembali, dengan seorang gadis yang mengingatkannya pada hasrat terdalamnya, yang tak akan pernah terwujud. Apakah takdir sedang mencoba mempermainkannya lagi?

Kedatangan Martha membuat Bayu menyadari, sepanjang hidupnya ia bergantung pada belas kasihan keluarga yang dengan rapi menyembunyikan keberadaannya. Bahkan setelah ia mendapat gelar sarjananya, ketika ia berpikir dapat hidup dengan keringatnya sendiri, ia malah bekerja karena Kohde sudah menyiapkan semua untuknya.

“Aku ….” Bayu tercekat, tak mampu melanjutkan.

“Gak apa, Mas,” sahut Martha lembut. “Kalau Mas Bayu enggak nyaman, nggak usah dilanjutkan … Maaf.”

Kata itu. Seperti ada magnet yang menarik Bayu menatap gadis di sampingnya, yang menunduk dan tak berani menatapnya. Ia menyadari, gadis ini juga korban. Sama seperti dirinya. Mereka tak pernah punya kesempatan memilih, tapi ikut menanggung konsekuensi.

Ia memang terluka. Tapi … Martha juga.

Martha tidak tahu apa yang membuatnya mengatakan maaf. Bayu yang biasa keras dan galak padanya, tiba-tiba kehabisan kata.

Bayu berdeham. “Dari dulu … pertanyaan paling sulit buat aku jawab itu, ‘Kamu anaknya siapa?’”

Martha mengangguk kecil mendengar kata-kata Bayu. Iya juga. Sebagai anak yang disembunyikan, pasti sulit baginya untuk menjawab pertanyaan seperti itu.

“Sulit, bukan karena aku ga tahu jawabannya. Sulit, karena aku kepingin soro (ingin sekali) bisa bilang dengan bangga bahwa aku anak Papa.”

Martha menelan ludah susah payah. Ia seperti ditampar.

Ia selalu merasa jengah tiap kali orang mengenalinya sebagai anak papanya.

Oh, kamu anaknya Engkoh yang punya toko di sebelah gang itu, ya?

Ealah, anak e Ah Lung tho? Kenal aku sama papamu.

Kalimat-kalimat itu membuatnya merasa tidak nyaman. Martha ya Martha. Ia ingin dikenal sebagai dirinya, bukan sebagai anak papanya.

Ia selalu ingin menunjukkan ia bisa, bukan karena papanya tapi karena ia bekerja keras. Ia ingin membuktikan bahwa ia bisa berhasil, karena ia mampu, bukan karena papanya orang hebat seperti yang dikenal banyak orang. Ia ingin lepas dari bayang-bayang nama besar papanya.

Dan sekarang … ia mendengar sendiri, hal yang menyebalkan baginya adalah sesuatu yang diimpikan Bayu, sesuatu yang tak akan pernah Bayu alami. Sementara dia … she took that privilege for granted. Dia sudah menyia-nyiakan sesuatu yang berharga.

Beberapa fragmen hidupnya muncul satu per satu. Ia bertengkar hebat dengan Ah Lung karena jurusan kuliah yang dipilihnya. Ia membuka mata perlahan, mengintip papanya yang menyetir, menjemputnya pulang dari kampus. Pernikahan Ming, momen pertama kali ia menyaksikan mata papanya basah, saat Ming dan Santi bersimpuh di hadapan beliau, menghaturkan hormat dan terima kasih.

Wajah bahagia papanya saat mereka makan bersama merayakan ulang tahunnya, dan senyumnya yang makin lebar ketika Ming memberi kabar bahwa beliau akan menjadi seorang kakek. Ulang tahun terakhir papanya.

Tubuh papanya yang terbujur kaku di dalam peti mati dan lengan kokoh yang Martha harap masih bisa ia sandari.

Ia menghapus titik-titik air yang mengalir di pipinya.

Papamu orang baik. Kata-kata Lia menggema di benaknya.

Kisah yang dituturkan Ida, toko Dwiputra, Bayu. Pasti tak mudah buat papanya menghadapi kenyataan, tetapi beliau membuat pilihannya.

Tiba-tiba tangan Bayu menepuk bahunya. Lembut. Seperti tepukan yang sering Ming berikan padanya.

“Maaf, ya.”

Bayu tak perlu melanjutkan kata-katanya. Tatapan mereka bersirobok, dan Martha tahu pintu menuju hati Bayu sudah dibuka baginya.

Tepukan itu … hangat. Melegakan. Sepertinya si kakek dalam legenda sesungguhnya tidak bodoh. Di dekat air terjun ini, mereka belajar membuka hati, membasuh kepahitan dari dalamnya, dan mulai melepaskan beban kehidupan.

“Mas, boleh tanya nggak?” tanya Martha ketika mereka berjalan menuju tempat motor Bayu diparkir.

“Hehm,” jawab Bayu sambil mengangguk.

Martha berdeham, melicinkan tenggorokan sebelum bertanya, “Mas Bayu, punya pacar?”

“Berapa waktu kamu tinggal di rumah, lihat aku pernah bawa cewek pulang?”

“Ya, kali aja, Mas. Pacarnya nggak dibawa ke rumah karena ada aku. Takut pacarnya cemburu.”

Bayu terbahak. Suara tawanya serenyah rengginang yang baru ditiriskan dari wajan dengan minyak panas.

“Nggak punya.”

“Kenapa?”

Martha melihat Bayu menendang beberapa kerikil kecil. Kedua tangannya bersembunyi dalam saku celananya.

“Siapa juga yang mau pacaran sama orang kayak aku?”

“Orang kayak Mas Bayu? Yang ganteng, pekerja keras, sayang orang tua. Banyaklah, Mas, yang cari pacar kayak gitu.”

“Jadi, menurutmu aku ganteng, ya?” goda Bayu.

“Lumayan sih … tapi masih lebih ganteng pacarku,” sahut Martha.

Yang mungkin sudah jadi mantan. Martha jadi teringat, urusan yang satu ini masih belum ia selesaikan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here