“Martha?”
Ada suara ketukan yang memaksa Martha membuka mata. Berkas cahaya yang menyelinap masuk dari luar tak dapat menghalau gelap di kamar itu. Ia mengeratkan pelukan pada lututnya, tak ingin diganggu. Hanya ingin sendiri, di ruangan yang gelap bersama hati yang suram.
Ketukan itu terdengar lagi. Lebih memaksa.
“Ta? Ibu masuk, ya? Martha?”
Martha menghela napas, ia terpaksa harus bangun dari sudut ini. Tak mungkin ia membiarkan Ida melihatnya dalam kondisi seperti ini. Ia berdeham perlahan, sebelum membukakan pintu untuk Ida.
Martha memicingkan mata ketika cahaya dari luar menyerbu masuk. Wajah khawatir Ida ditemuinya saat pintu terbuka lebih lebar.
“Kamu sakit?”
Martha menggeleng. Iya, sakit hati, karena anak Ibu. Ia kemudian menghirup udara keras, merasa tidak nyaman dengan cairan yang ada di pangkal hidungnya.
“Makan dulu ya?”
Lagi-lagi Martha menggeleng.
“Demam?” Ida menaruh punggung tangannya di dahi Martha. “Lumayan anget loh, Ta.”
Martha hanya bisa merapatkan jaket yang ia kenakan. Gara-gara anak Ibu yang dingin kayak es itu. Ia sedang tak ingin berkata-kata, ingin masuk kembali dalam gua hibernasi emosinya.
“Kamu rebahan aja. Ibu buatin wedang jahe mau? Atau mau dikerokin aja?”
Martha merasa tak enak terus menjawab dengan gelengan. Ia akhirnya mengangguk, entah pertanyaan mana yang ia iyakan. Ia berjalan masuk dan duduk di atas tempat tidur. Matanya terpejam, pikirannya kalut.
Rasanya ia ingin menelepon Ming, minta dijemput, kembali ke tempat amannya. Tak lagi berurusan dengan Bayu dan mulut tajamnya. Risikonya, ia akan berhadapan dengan omelan kukunya yang sepanjang rangkaian gerbong kereta api selama beberapa waktu. Atau mendengar sindiran kokonya setiap mereka bertatap muka di rumah.
Mungkin begitu lebih baik. Keluar dari mulut harimau dan masuk ke mulut buaya ompong.
Kamar itu mendadak terang, Ida menyodorkan sebuah mug pada Martha. Kedua tangannya menangkup mug panas itu dan merasakan uap hangatnya menyelimuti wajahnya.
“Diminum sedikit dulu. Habis ini Ibu kerokin ya.”
Martha mengangguk patuh.
Tak lama Ida kembali dengan piring kecil, sebotol minyak kayu putih, dan koin logam.
Martha meletakkan wedang jahe di atas meja, lalu duduk bersila di atas kasur tanpa perlu diperintah.
“Rambutnya naikin dulu, Ta.”
Tanpa protes, Martha mengikat rambutnya menjadi sebuah cepol di ubun-ubun.
“Kalau sakit banget, bilang ya.” Ida mulai mengolesi bagian belakang leher Martha dengan minyak.
Ruangan itu hening, tetapi harum minyak kayu putih menguar di udara. Sesekali Martha mendesis, menahan sakit.
“Dulu, waktu muda, Ibu ga suka minum jamu, lebih enak dikerok sama si Mbok,” tutur Ida sembari terus menggosokkan logam itu ke leher Martha.
Martha terdiam, bingung bagaimana harus menimpali. Selain denyut nyeri di kepala yang makin menjadi, ia benar-benar tak ingin bicara.
“Kalau sekarang, ya harus kerokin diri sendiri,” ujar Ida sambil terkekeh pelan.
Rasa ingin tahu Martha tiba-tiba muncul.
“Si Mboknya Ibu ada di mana?”
Ida mengoles minyak lagi dan meneruskan kerokannya.
“Sudah meninggal, waktu Ibu 17 tahun.”
Mata Martha terbuka lebar. Tiba-tiba kantuknya hilang.
“Maaf, Bu. Martha ga bermak–“
“Gak apa, Ta,” Ida memotong dengan suara lembutnya. “Sudah lama kejadiannya. Sudah lama juga Ibu nggak pernah cerita soal si Mbok.”
Ida lanjut mengerok leher, bahu, dan punggung atas Martha, dan cerita terus mengalir dari mulutnya.
Bapaknya meninggal saat ia berusia 12 tahun, Mbok menyusul 5 tahun kemudian. Sebagai bungsu dari 8 bersaudara, ia hanya turut kata kakak tertuanya, mengerjakan kebun atau memasak di dapur.
Hingga suatu hari, kakaknya memberi pilihan yang mengguncang dunianya. Seorang tuan tanah beristri dua ingin meminangnya. Kali itu, dia menolak mati-matian. Ia rela bekerja keras di kebun. Ia tak keberatan membantu mengasuh anak-anak kakaknya yang masih kecil-kecil. Apa saja. Asal bukan menikah, asal bukan menjadi istri ketiga.
Penolakan itu berujung pada pengusiran. Ida tak punya pilihan selain pergi dari rumah. Pergi sejauh-jauhnya.
Martha meringis menahan nyeri, tetapi ia tahu nyeri yang sebenarnya bukan akibat kerokan di punggungnya. Rasa itu datang dari dalam hatinya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Ida saat itu. Ida, gadis lembut yang hanya berusia 17 tahun, dipaksa menjalani hidup yang begitu rumit dan sulit.
“Ibu nggak takut, pergi sendiri?” tanya Martha sembari berbalik, menghadap Ida yang sedang membereskan peralatan kerokan.
“Lebih takut dipaksa kawin. Jadi, ya … nekat. Pergi, ke mana aja. Ibu naik bus pertama yang Ibu lihat di terminal. Dan … bus itu bawa Ibu ke sini.”
“Kok Ibu bisa … ketemu …,” pertanyaan Martha terpotong ragu.