Martha tak tahu harus merasa lega atau marah. Jawaban yang Ida berikan melepaskan sebuah beban berat yang beberapa waktu ini dia tanggung. Kemarahan dan kekecewaan terhadap almarhum papanya, kegamangan akan identitas dan integritas dirinya; semua tekanan itu tiba-tiba lenyap seperti uap jahe yang tak lagi tampak dari cangkirnya.
Bayu bukan anak papanya.
Lalu … kalung lamaran itu, dan satu set perhiasan untuk sangjit; mengapa papanya menyiapkan semua itu untuk Bayu? Katanya ada darah Tionghoa yang mengalir di dalam diri Bayu. Darah siapa? Apa hubungan Bayu dengan keluarga mereka?
“Tapi, Bu … waktu itu Ibu sendiri pernah bilang Papa mau terima, masih kasih nafkah … itu, maksudnya gimana, Bu? Martha masih enggak ngerti.”
Ida tersenyum pada Martha. “Awalnya Ah Lung marah besar, ketika tahu Papa berhubungan dengan Ibu. Ya … siapa juga yang nggak marah kalau papanya tiba-tiba punya istri muda yang umurnya masih belum 20 tahun. Ibu bisa paham kalau Ah Lung marah.”
Kepala Martha bertambah pusing. Drama apa lagi yang akan terkuak berikutnya?
“Tapi, setelah Papa meninggal, Ah Lung datang kemari. Dia bilang akan tanggung semua biaya hidup Bayu, sampai dia lulus kuliah.”
“Ibu … sama …,” Martha berhenti sejenak, takut salah menyimpulkan, “sama … Yeye?”
Ida mengangguk yakin.
Martha membeku. Ia hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat dan dengarkan barusan. Pantas saja, wajah dan perawakan Bayu mirip dengan Ah Lung. Mereka … saudara. Kakak dan adik.
Mengapa tak ada seorang pun yang memberitahunya tentang hal sepenting dan sebesar ini? Mama, kuku, dan kokonya pasti tahu soal hal ini, ‘kan?
—
Bayu sedang bersila di atas kasur busa yang digelar di lantai, tepat di samping tempat tidur ibunya. Tangannya memegang sebuah buku, tapi pikirannya entah meronda ke mana.
“Belum tidur, Yu?” Ida masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya perlahan.
Bayu mengalihkan pandang dari buku, menatap ibunya, dan menggeleng.
“Mikir apa kamu?” Ida bertanya sembari duduk di pinggir ranjang.
Bayu masih terdiam. Peristiwa di toko siang tadi seperti diputar ulang di kepalanya.
“Kamu apain Martha, sampe gosong semua Ibu kerok tadi?”
“Hah? Sakit, Bu?”
“Iya. Anget badannya. Ibu bujuk juga nggak mau makan. Ada apa tadi?”
“Ah, manja! Tadi ga ada apa-apa kok. Naik motor deket gitu aja udah masuk angin,” dengus Bayu kesal, ingin menutupi rasa bersalah yang merayap di benaknya.
“Kamu tuh, jangan galak sama Martha. Dia itu anaknya Kohdemu, Yu. Kalian itu punya hubungan darah.”
Bayu menutup bukunya kesal. Ia paling tidak suka bila Ida mulai membicarakan soal keluarga. Rasanya ia ingin marah, tetapi ia menahan diri, tak ingin ibunya lebih terluka.
“Keluarga tapi nggak pernah nganggap. Itu keluarga macam apa, Bu? Darah bukan jaminan, Bu. Buktinya, selama ini kita cuma berdua. Mana pernah mereka cari kita?” Nada bicara Bayu meninggi. Luka dalam hatinya berdarah lagi.
Ida beranjak dari duduknya, lalu melantai di samping putra semata wayangnya. Sejenak ia merapikan dasternya, mencari posisi yang nyaman, ingin bercakap lebih dekat dengan Bayu, rindu anaknya mendengar isi hatinya.
“Yu,” Ida mengusap lengan Bayu, “Ibu ini tidak ada hubungan dengan mereka, Ibu ini orang luar. Tapi kamu, Yu … kamu anak Papa, kamu bagian dari keluarga mereka. Ibu ndak kepingin kamu sendirian. Kamu ndak sendiri, Yu. Kamu punya keluarga.”
Bayu menatap Ida lekat. Ia menebak, ujungnya Ida akan bercerita lagi tentang masa lalunya, masa mudanya yang dipenuhi dengan tekanan dan penolakan. Ia sudah mendengar cerita itu berpuluh-puluh kali dari mulut Ida.
Kalau ibunya yang lembut itu bisa berjuang sendiri, tentu dia lebih mampu. Dia bukan gadis 17 tahun yang tak berdaya. Dia laki-laki 27 tahun yang mandiri dan tak takut hidup sendiri. Dia tak butuh keluarga untuk melindunginya. Dia tak butuh ikatan darah untuk survive dalam dunia ini. Dia bisa. Dia mampu.
“Tanpa mereka, aku bisa, Bu. Aku … bisa,” cicit Bayu tertunduk.
Mati-matian Bayu menahan air mata. Tatapan lembut ibunya, tangan yang terus mengusap lengannya, dan kekhawatiran akan masa depannya. Hati Bayu sudah berlubang, terkikis oleh kasih yang tak terhingga sepanjang masa itu.
“Maafkan Ibu, ya, Yu. Ini semua salah Ibu,” pintanya lirih.
Bayu hanya bisa memegang tangan Ida yang masih ada di lengannya.
“Kalau saja Ibu dulu lebih berani, mungkin kita nggak seperti sekarang ini,” Ida berujar lirih.
Hati Bayu berlubang lagi. Kurang berani apa ibunya? Sendiri menuju tempat yang tidak ia kenal, memperjuangkan kebahagiaan hidupnya. Ibunya perempuan paling berani yang ia pernah kenal. Namun, tetap saja, penyesalan di mata Ida, membuat Bayu menyadari ada pergulatan batin yang tak pernah lenyap.
Benar dan salah tak punya batas. Bahagia dan nestapa selalu bercampur aduk tak mau saling lepas.
“Kalau Ibu lebih berani, mungkin nggak ada aku,” gumam Bayu.