Episode 2

“Bos, mau berapa Bagelan dan Susu Coklat atau Kopi?”

“Eh, berikan saja Kopi. Kedai sudah siap dibuka ya?”

“Udah lima menit lalu. Bos aja yang melamun memandang jam dinding.”

Menggigit Bagelan seraya beringsut membawa mug Mickey Mouse menjauh dari meja barista terburu menjawab, “Kalau Winnie sudah datang, kalian  langsung menyusul ke meja tengah ya! “

Tak jelas apa yang digumamkan Yudi, tapi biasanya itu tanda dia paham yang didengarnya. Barista sekaligus pembuat roti andalan kedai itu memang sedikit berucap kecuali saat didera keingin tahuan dalam. 10 menit setelahi menerima Daniel baru ingat  realita bahwa jika dia mantan narapidana maka Yudi mantan siswa seminari. Lelaki bertubuh kekar tersebut jatuh hati dan memutuskan memilih kehidupan tak selibat daripada putus di tengah jalan saat sudah selibat. Yah kami memandang dari sisi yang lain, yaitu at least dia sudah serius belajar ilmu agama lebih khusus beberapa waktu. 

Raut wajah tirus Yudi tak berkerut maupun mengelembung saat Daniel bercerita tentang riwayat hidup. Sikap Yudi juga tak berubah, tetap saja datar seperti nada bicara nya setiap kali bekerja. Hanya sekali terjadi ekspresi di raganya saat pertama kali duduk di bangku tinggi bertahun lalu. Setelah percakapan kamj, maka keesokan harinya dia  sudah menyajikan kopi kepada para pelanggan.

Percakapan tersebut tetap saja terekam di memori tiap kali melihat Yudi lupa mencukur jambangnya. Iya, pertama kali bertemu Yudi memang jambangnya penuh dengan bulu. Malam dengan derasnya hujan seakan penanda kedai kami menerima kru baru.  Tugas sebagai pengantar pesanan sedang tertangani oleh tangan ku sendiri.

“Bunuh diri? Eh maaf, saya tak sengaja melihat! Selamat menikmati kopi!”

Langkah kaki kanan tetiba terhenti saat gendang telinga ini sayup menangkap rintihan dari belakang punggung. Sedetik kemudian saat pungggung berputar kembali menghadap meja pengunjung, tampaklah lelaki tadi bergetar hebat memegang gelas. Sontak kaki melompat mendekati, dua tangkup jemari serentak menggapai gelas kopi yang nyaris membasahi permukaaan meja. 

“Abang, tidak apa-apa?”

“Tolong duduk sebentar di sini. Bisa?”

Nadia aka manajer kedai yang turut mendekat, terlihat memberi kode untuk duduk. Bangku tak berderit saat permukaannya menjadi tempat duduk sementara. Kedai memang sudah mendekati jam penutupan hingga peranku sebagai pengantar pesanan tak terlalu diperlukan lagi. tapi deru perut merintih dipadamkan. Awalnya sesudah mengantar segelas kopi pada lelaki ini,  aku ingin menikmati sekerat roti di dapur kedai.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here