Mobil boks yang ditumpangi Martha baru keluar dari jalan tol. Walau tidurnya beberapa malam ini tak nyenyak, sepanjang perjalanan ia terus terjaga. Di sebelah kirinya, terbentang tanggul tinggi yang membendung luapan lumpur. Andai saja ada tanggul yang cukup kuat untuk menahan rasa cemasnya sekarang.

Satu minggu yang sangat melelahkan. Belum juga ada kabar dari John. Martha tahu pasti pacarnya itu sedang marah. Biasanya ketika mereka ribut, John yang paling tidak tahan dan segera mengambil langkah pertama. Mungkinkah kali ini dia sudah menyerah dan tak ingin mencari Martha lagi?

Bagaimana mungkin mereka akan bicara tentang kelanjutan relasi ini dalam ketiadaan komunikasi? Ming sudah wanti-wanti, ia harus menghubungi John. Jari-jarinya selalu menegang tiap kali akan menekan nomor telepon yang sangat dia hafal. Rasanya ia juga ingin menyerah saja.

Belum selesai urusan dengan John, kukunya menelepon setiap hari, masih berusaha menggagalkan rencana keberangkatannya. Malahan kemarin, Lanny datang ke rumah mereka dan memberi banyak nasihat. Martha sudah lupa apa saja yang kukunya katakan.

Yang dia ingat, Lanny menyelipkan sebuah amplop merah ke saku celananya. “Sangu*, buat kamu,” begitu katanya. Martha jadi merasa seperti akan pergi study tour.

Ia tersenyum mengingat kejadian itu. Juga kejadian semalam di dapur. Karena sulit tidur, ia harus menyogok perutnya dengan semangkuk mie instan di tengah malam.

“Bikinin Koko juga donk.” Bisikan tiba-tiba yang mampir di telinganya membuat Martha berjingkat. Untung saja dia tidak menyentuh panci panas yang ada di hadapannya.

“Koko, ah, kirain apa!” Martha mengusap tengkuknya yang meremang.

Ming hanya menyeringai.

“Tunggu di meja makan aja sana!”

“Tambahin telor ceplok ya, Dek,” goda Ming sebelum beranjak.

Cepat-cepat Martha memasak lalu membawa dua mangkuk hangat ke dalam. Ming hanya duduk termenung di sana.

“Ngelamun aja, Bang? Nih, pesanan spesial pake telor.”

Ming tersenyum lebar dan segera menikmati makanannya.

“Saosao sudah tidur?” Martha bertanya, memecah keheningan.

“Sudah. Tadi nonton teve, terus ketiduran. Kayaknya kecapekan.”

“Ampun, Ko. Istri hamil mesti dimanja gitu loh. Ojo* disuruh meladeni Koko terus. Dasar ga perhatian!”

“Heh, ngawur! Arek cilik* ngomong sembarangan,” Ming menoyor Martha. “Hari ini jadwal lesnya padat. Banyak murid. Koko yang cuma nganter aja ngerasa capek, apalagi dia.”

“Kenapa ga suruh Saosao berhenti, Ko? Kasihan. Koko ga kasih uang ya? Medit* ini!”

“Ya kasihlah! Uang Koko dia yang pegang semua.”

“Terus?”

“Ya, Koko yang ga bolehin dia berhenti. I love seeing sparks in her eyes when she teaches. Pas dia cerita soal murid yang challenging, yang maju pesat, yang iseng, yang nangis, wajahnya itu … her twinkling eyes warms my heart.”

Martha melihat mata kokonya ikut berbinar.

“Koko ingin melihat itu terus. Jadi, Koko akan mendukung dia melakukan apa yang membuat dia bahagia. I’ll do anything for her.”

Anything?”

“Iyalah! I’ve given her my heart. Kalau cuma nganter dia keliling Surabaya ngelesin murid, entenglah, enggak berat sama sekali.”

Mobil yang ditumpanginya mendadak berhenti. Macet. Sebuah lagu melankolis terdengar dari radio.

“Pak Yono, sejak kapan dengar siaran lagu Mandarin?” Martha baru menyadari, sejak tadi ada lagu-lagu Mandarin yang menemani perjalanan.

Pegawai kepercayaan papanya, yang sekarang juga masih dipercaya Ming, tersenyum simpul, sembari terus fokus mengemudi.

“Sejak dulu, Non. Kalo pergi sama Kohde, mesti setel* lagu-lagu begini.”

Martha manggut-manggut. Pak Yono sudah bekerja di toko mereka sejak bujang. Pegawai lama lainnya juga memanggil papanya “Kohde”; sebuah panggilan sarat rasa hormat, tetapi juga menyiratkan keakraban.

“Mau kirim barang ke mana, Pak?” Martha bertanya.

“Ke toko langganan, Non. Biasanya tiap bulan kirim. Kalau tokonya rame, kadang minta 2 kali kirim sebulan.”

“Langganan lama?”

Pak Yono tampak sedikit ragu sebelum menjawab, “Ya, ndak terlalu lama, Non. Tapi sudah lumayan, ada 5 tahunan kayak-e* ya.”

Papamu memang bawa hoki. Waktu papamu akhirnya bantu Yeye di toko, enggak pernah enggak cuan, toko untung besar.

Kata-kata Lanny ini langsung mampir di benak Martha. Papanya memang seorang pekerja keras. Toko keluarga mereka masih berjaya hingga sekarang, hingga diwariskan di tangan Ming. Martha tak terkejut mengetahui usaha mereka bahkan merambah ke luar kota.

“Nah! Nah, ini lagu kesukaan Kohde, Non,” Pak Yono berteriak penuh semangat kemudian mengeraskan volume radio.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here