Martha menunggu tak sabar di sofa ruangan dosen. Kakinya bergerak, dihentak lembut seakan mengikuti irama sebuah lagu. Ia hadir lebih awal dari waktu yang disepakati dengan dosen pembimbingnya. Masih ada 10 menit sebelum waktu pertemuan.

Pintu ruangan terbuka, Tasia, teman dekatnya selama kuliah muncul.

“Ibu belum ada ya, Ta?” tanyanya sambil duduk di sebelah Martha.

“Belum. Kayaknya masih ada kelas.”

“Sepi ya? Dosen-dosen ngajar semua?”

Martha hanya menjawab dengan mengangkat alis.

“Kamu sudah sampai bab berapa?”

“Ini mau konsul bab 3, sih. Semoga bisa segera ambil data.”

“Kamu jadi garap kuanti, Ta? Enak ya. Kuali ini ternyata abot, berat banget.”

Martha melirik setumpuk tebal kertas yang dibawa Tasia.

“EGP!”

“Hah, apa, Ta?”

“Emang gua pikirin.”

“Asem!” Tasia menimpuk Martha dengan bundel kertas tebal yang dibawanya.

Pintu ruangan terbuka lagi. Kali ini, sosok yang mereka nantikan memasuki ruangan dengan senyum lebar. Martha dan Tasia langsung berdiri, menyambut dosen pembimbing mereka sopan.

“Pagi, Bu,” sapa mereka serentak.

“Wah, ini nih, mahasiswa rajin, bikin saya semangat.”

Martha segera mengikuti langkah beliau menuju kubikel kerja di ujung ruangan.

Sementara Bu Rahayu meletakkan map yang dibawanya di meja dan membereskan beberapa berkas, Martha berdiri menanti.

“Nah, ini.” Bu Rahayu meletakkan berkas skripsi Martha di meja.

Martha hanya mengangguk, lalu segera duduk di hadapan pembimbingnya.

Menit-menit berikutnya mereka habiskan dengan membahas beberapa revisi penting yang harus Martha kerjakan. Sekalipun matanya mengikuti jari-jari Bu Rahayu yang memberi tanda pada kalimat-kalimat di atas kertas itu, Martha sibuk menyusun kata di kepalanya.

“Jadi, begitu ya, Ta? Dua minggu lagi bisa ambil data?”

“Eh, iya, Bu.”

“Kamu kenapa?” Bu Rahayu meletakkan penanya di meja, lalu menatap Martha dengan pandangan yang sangat meneduhkan.

Martha ingat pandangan itu, pertemuan pertama dengan dosen yang menginspirasi dirinya.

“Martha Tjandra. Maju ke depan juga.”

Martha yang masih sibuk menuliskan beberapa catatan di diktat kuliahnya sontak menatap ke depan kelas. Ia tak menyangka sang dosen memanggil namanya.

Tasia, yang selalu duduk bersama Martha di berbagai kelas perkuliahan, segera mendorongnya untuk maju ke depan, mengambil tempat bersama dengan dua mahasiswa lain.

Kata kakak tingkat yang menjadi asisten dosen di kelas ini, mata kuliah ini tak mudah. Banyak mahasiswa yang harus mengulang. Martha tak takut dengan peringatan itu. Bukannya sombong, tetapi ketakutan sudah ditenggelamkan dengan ombak rasa ingin tahu. Ia tertarik mempelajari berbagai alat tes kepribadian dan cara interpretasinya.

Minggu lalu, di pertemuan pertama, mahasiswa peserta kelas ini harus menjalani berbagai tes yang akan mereka pelajari. Rasa penasaran Martha langsung berlipat ratusan kali. Dia sangat bersemangat mengerjakan seluruh tes yang disodorkan.

Martha tak suka menggambar, hasil karyanya jelek. Nilai pelajaran seni rupanya tak pernah lewat dari angka 6. Namun, hari itu, dia begitu bangga melihat hasil gambar yang dikerjakannya dengan sungguh-sungguh.

“Sekarang tolong kalian gambar satu garis lurus di papan tulis.” Bu Rahayu sudah memberikan perintah.

Dua mahasiswa yang lain sudah mulai membuka penutup spidol dan bersiap menggambar di papan. Martha masih tertegun. Dia berpikir keras, garis seperti apa yang diinginkan oleh dosennya. Apakah dia harus menggambar garis vertikal? Atau sebaiknya horisontal saja?

“Maaf, Bu. Garisnya tegak atau mendatar ya?” Martha ingin memastikan.

“Terserah kamu,” jawab Bu Rahayu sambil tersenyum.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here