Apa yang bisa didapat dari film Thailand? Paling film bergenre horor. Mungkin begitu komentar sebagian dari Anda. Bagi yang punya pikiran semacam ini kayaknya perlu deh nonton fillm berjudul ‘Suddenly 20’. Film Thai yang satu ini sungguh layak dinikmati bersama keluarga, seperti yang saya lakukan bersama isteri dan anak sulung saya. Intinya, bagaimana seorang nenek yang sudah ditinggal wafat suami tercinta saat membuat foto diri di sebuah studio foto retro tiba-tiba mendapati dirinya kembali ke usia 20 tahun. Tentu banyak kekonyolan yang terjadi.
Film bertema seperti itu bertebaran misalnya saja sesuai kronologi waktu ‘17 Again’ (AS, 2009), ‘Miss Grinny’ (Korsel, 2014), ‘Suddenly 20’ (Thailand, 2016), ‘Sweet 20’ (Indonesia, 2017), dan ’18 Again’ (Korsel, 2020). Tidak semua saya tonton. Namun, ’17 Again’ dan ‘Suddenly 20’ sungguh saya rekomendasikan. Apa yang bisa kita pelajari dari film ini sebagai keluarga atau anggota dalam keluarga?
Kembali ke Usia Muda Sungguh Penuh Kejutan, Ketegangan dan Tantangan Sekaligus Euforia
Bagaimana tidak? Kita mau tidak mau menyesuaikan pandangan, sikap, gaya bicara dari seorang berusia 60-70-an untuk ‘tinggal’ di tubuh berumur belasan tahun. Meskipun tubuh kita kembali muda, bukan berarti pola pikir kita secara otomatis menjadi muda pula. Benturan yang sering kita sebut ‘generation gap’ itu secara terjadi di dalam diri kita sendiri.
Bagaimana misalnya, seorang bapak harus satu sekolah dengan anaknya sendiri (17 Again, 18 Again) atau seorang nenek menjadi vokalis di band besutan cucu laki-lakinya sendiri (Miss Grinny, Suddenly 20, Sweet 20). Tentu terjadi kekacauan bukan? Bagaimana pula seorang bapak harus menghindari kejaran anak gadisnya sendiri yang tergila-gila dengan kedewasaan yang ‘melebihi umurnya’ (17 Again).
Kembali ke Usia Muda Jadi Lebih Mengerti Pergumulan Anak-Anak Muda
Sebagai oma/opa atau ibu/bapak, tanpa kita sadari seringkali kita terlalu cepat mengambil keputusan yang tidak saja tidak dipahami anak/cucu kita, melainkan juga kehilangan rasa empati karena tidak berada di sepatu mereka. Baru saat kita kembali muda, di usia tua, kita merasakan betapa beratnya tekanan generasi muda untuk bisa diterima masyarakat sekaligus berprestasi di bidangnya.