Bukan hanya belajar menyanyikan tentangnya, saya pun belajar dari pengorbanannya. Tentang seekor cicak yang merelakan ekornya, dan seorang ibu yang merelakan dirinya.
Saya melihat cicak itu pagi ini. Cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap. Nah, pada ikutan nyanyi, kan? Tapi, tidak ada nyamuk di situ. Yang menarik perhatian saya, cicak itu tidak lagi mempunyai ekor. “Situasi apa ya yang baru saja dialaminya hingga ia harus merelakan ekornya?” begitu pikir saya.
Saya merenung sembari mencuci tangan. Saya berpikir saya pun kadang mesti seperti cicak itu. Dalam berbagai peran yang saya jalankan sebagai istri dan sebagai seorang mama misalnya, saya belajar melepaskan kepentingan saya demi memupuk relasi dengan orang-orang yang saya cintai. Saya mencoba melepaskan ke-aku-an saya, belajar merelakannya, untuk alasan yang lebih besar dari sekedar “diriku”.
Saya diajar untuk memberi. Memberi dengan rela, dan pada akhirnya saya malah melihat bahwa Tuhan tidak tinggal diam, melainkan turut memelihara juga. Menjagai saya dan orang-orang yang kepadanya saya merelakan hidup saya. Sebab seberapa besar pun saya memberi, pada akhirnya saya sadar, itu takkan pernah cukup baik. Hanya Tuhan yang bisa menyempurnakan pemberian dan diri saya yang memang sangat terbatas.
Memberi memang tidak mudah, apalagi tanpa mengharapkannya kembali. Tak jarang tanpa melihat buahnya. Sebagian orang belajar memberi dari hartanya. Sebagian orang belajar memberi dari waktunya. Sebagian orang belajar memberi dengan merelakan kepentingannya.
Dan masih banyak lagi.
Tapi ada satu pemberian yang kadang kita lupakan: memberikan diri kita untuk terluka. Memberi kesempatan untuk orang lain melihat kita rapuh. Memberi kesempatan bagi orang lain untuk melihat kita sebagai manusia yang tidak sempurna. Bahwa kita juga membutuhkan manusia lainnya. Kita juga ada cela, kadang lelah memberi dan ingin meminta, dan seterusnya.
Saya pun masih belajar. Jadi, kita bisa belajar bersama-sama.
Saya belajar menjadi apa adanya ketika saya sedang ingin dipeluk misalnya. Saya belajar meminta pada pasangan meski ada kemungkinan dijawab “sebentar” atau dijawab “iya” lalu lupa hingga beberapa saat kemudian. Untungnya ngga selalu begini sih.
Apa yang saya rasakan? Kadang “mak jleb” semriwing seperti ada goresan pasir di hati. Ya ampun peluk cuman semenit ga sampe, disuruh ngantri sama kerjaan kantor. Ahahaha..
Lalu apa yang saya lakukan? Saya relakan hati saya terluka lagi dengan meminta kembali, lalu menanti. Pada waktu saya menanti, ada kalanya saya mendapatkan apa yang saya nantikan. Kadang juga tidak. Tidak pada saat itu juga, atau tidak seperti yang saya harapkan. Tapi ngga apa-apa, yang penting belajar memberi. Memberi diri yang apa adanya dan rela terluka.
Kepada anak-anak saya belajar untuk memberi diri yang rapuh dengan meminta maaf padanya, dengan mengatakan bahwa apa yang baru saja mama lakukan itu salah. Ketika ia kemudian balik menegur, saya belajar mengiyakannya dan menerimanya.
Pendeknya belajar memberi diri yang apa adanya, berarti belajar jujur melihat diri dan jujur menyatakan diri.
Oh ya, jangan khawatir, cicak di dinding tidak kehilangan ekornya setiap hari. Kita pun tidak selalu harus melupakan kepentingan-kepentingan setiap waktu. Ada kalanya suami dan anak-anak memberi kepada saya tanpa diminta. Saya sangat menikmati serta mensyukurinya. Tentu mengingat bahwa keberadaan merekalah yang paling berarti, bukan apa yang mereka beri.
Mereka harta paling berharga yang pernah Tuhan anugerahkan pada saya. Meski untuk merawatnya kadang saya mesti merelakan “ekor” saya: merelakan sebagian dari diri saya, kepentingan saya, kebutuhan saya, ke-’aku’an saya, dan semua yang bisa ditambahkan kata “saya” di belakangnya.
Sebuah harga yang sangat layak dibayarkan. Suatu kita akan melihat bahwa dengan memberi, diri kita bukannya habis tak bersisa. Ketika memberi, kita tidak akan kehilangan diri kita, tapi justru semakin bertumbuh karenanya.