Jakarta, malam hari.
Oleh sekretarisnya, saya diberitahu bahwa Pak Ci bisa saya temui esok pagi. “Sekalian makan pagi bersama di rumah saya,” begitu pesan yang saya dapat.
Rencana awal, pagi itu saya mau terbang balik. Namun, karena undangan sarapan pagi bersama Pak Ci itu, saya tunda kepulangan saya. Ternyata itulah satu-satunya kesempatan saya bersama Pak Ci. Seandainya saya tidak bisa mengikuti jadwalnya sampai hari Pak Ci tutup mata, saya tidak akan pernah bertemu dengannya secara pribadi. Begitu pribadi sehingga diajak sarapan bersama. Di rumah pribadinya lagi.
Saat mengikuti seminar pendidikan di Kuala Lumpur, saya mendapat kabar Pak Ci dipanggil Tuhan. Jari ini sudah gatal untuk menulis kenangan saya bersama begawan property ini. Namun, urung saya kerjakan karena acara seminar yang diadakan bersamaan dengan Hari Guru Nasional itu begitu padat. Saya hanya mampir makan sebentar dan kembali ke hotel untuk istirahat.
Kini saat berangkat kerja di pagi hari, saya membaca berita bahwa Pak Ci dikuburkan hari ini. Saya membaca ribuan karangan bunga—yang kalau dideretkan lebih dari 4 km jauhnya—mengiringi kepergian pendiri Universitas Ciputra ini. Sudah bisa diduga, banyak orang yang kehilangan sosok inspirasional ini.
Lalu, apa yang Pak Ci tinggalkan khususnya buat saya pribadi dan saya percaya dirasakan oleh banyak orang?
Satu hal ini sangat membekas di hati: Kerendahan Hatinya
Siapa yang tidak kenal Ciputra? Saat diminta untuk mewawancarai beliau untuk meminta pandangannya terhadap ekonomi dan masa depan Indonesia, saya bertanya dalam hati: “Apa beliau bersedia?”