Jika dunia internasional mengenang 11 September sebagai hari perkabungan atas tragedi World Trade Center, Indonesia berduka atas berpulangnya presiden ketiga, Bapak B.J. Habibie. Bendera setengah tiang akan dikibarkan selama tiga hari, sebagai tanda perkabungan nasional.

Sebagai rakyat biasa, saya pun ikut berduka dan bersimpati terhadap sosok ini. Bagi saya, beliau adalah tokoh sarat keteladanan dan sikap hati yang benar.

Setidaknya, ada tiga hal yang membuat Habibie pantas dikenang sebagai salah satu tokoh yang menginspirasi Indonesia:

1. Setia pada Panggilannya

Barangkali, hanya Habibie (dan mungkin alm. Gus Dur) yang tidak akan mengambil tawaran untuk mencalonkan diri kembali sebagai presiden pada pemilihan umum. Beliau dikenal sebagai tokoh besar negara yang tidak memiliki ambisi politik. Saat itu, ia kembali ke Indonesia karena ingin mengabdikan diri sepenuhnya pada dunia penerbangan Nusantara.

Habibie berkata bahwa ia menjadi presiden karena faktor murni ketidaksengajaan. Masih teringat dalam benak saya, betapa rusuhnya keadaan Indonesia saat tahun 1998. Habibie kena getahnya karena Soeharto mengundurkan diri. Beliau menjadi presiden dalam masa transisi, sebuah fase berat bagi negara Indonesia. Masa pemerintahannya pun sangat singkat, hanya 517 hari.

Melalui tangan beliau, lahirlah kebijakan penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Habibie menepatai janjinya, bahwa ia tidak mencalonkan diri kembali. Baginya, kekuasaan itu bukan sebuah hal untuk dimiliki.

“Saya lebih suka bikin pesawat. Semua rasional dan tidak ada pikiran yang tidak jujur dan tidak transparan. Karena jikalau ada manipulasi, pesawat terbang akan jatuh,” sebagaimana dikutip Fachmy Casofa dalam buku Habibie: Tak Boleh Lelah dan Kalah.

Nyatanya dunia politik memang tidak mengacaukan panggilan awalnya sebagai teknokrat. Sebuah pilihan yang sungguh tidak populer. Itulah mengapa, Habibie menjadi sosok presiden unik yang pernah dimiliki oleh Indonesia.

2. Setia pada Cinta Sejatinya

Publik justru semakin menghormati Habibie setelah ia tidak menjadi presiden. Saat itu mata seluruh rakyat Indonesia terbuka, banyak yang berdecak kagum menyaksikan kesetiaan dan kasih Habibie pada istrinya. Beliau selalu mendampingi almarhumah Ibu Ainun hingga tutup usia.

Betapa mengharukan melihat sosok lelaki pandai dan bergelimang prestasi ini memilih setia pada istrinya. Dalam masa dukanya, Habibie memperlihatkan kerapuhan sebagai manusia biasa yang mengalami dukacita mendalam pasca kepergian istrinya. Depresi berat melandanya, hingga ia mampu mengalahkannya dengan menuliskan catatan perjalanan cintanya dengan sang kekasih hati.

Buku Ainun dan Habibie menjadi monumen cinta sang teknokrat yang tidak lekang oleh waktu. Bahkan saat difilmkan, respons masyarakat sangat antusias. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada, Habibie layak menyandang gelar kehormatan sebagai pria setia. Ah, lagi-lagi sebuah hal yang sangat jarang ditemukan di masa kini.

Yang paling menggetarkan hati adalah saat Habibie berkata bahwa kematian bukanlah hal yang menakutkan lagi, karena ia tahu bahwa sosok yang akan ditemuinya pertama kali di keabadian adalah istri tercinta.

Baca Juga: Menemui Cinta di Keabadian, Habibie dan Kepulangan yang telah Lama Dinantikan

3. Setia pada Visinya

Saya tidak bisa membayangkan kesedihan hati Habibie saat IPTN kebanggaannya ditutup karena krisis moneter 1998. Beliau mengatakan bahwa kepedihan itu dianalogikan seperti membersarkan anak yang kemudian dibunuh secara paksa. IPTN harus mengalah karena masalah perut jutaan rakyat Indonesia.

Sungguh menyedihkan, karena ditutupnya IPTN berimbas pada nasib ribuan para pekerja, yang semuanya adalah putra terbaik bangsa dalam bidang teknologi. Habibie memanggil mereka pulang dari peraduannya yang nyaman di luar negeri, untuk membangun negerinya. Ironis sekali, akhirnya negara “membuang” para ahli teknologi tersebut. Padahal Habibie sudah menjamin, bahwa Indonesia akan sangat tertolong jika berhasil memproduksi pesawat sendiri.

Meskipun IPTN tinggal nama, Habibie tetap optimis bahwa Indonesia akan bisa dipandang dunia jika serius mengembangkan aspek dirgantara. Sebelum meninggal, beliau meminta pemerintahan Joko Widodo untuk membiayai proyek pesawat R 80. Pesawat ini digadang-gadang sebagai alat canggih yang tidak kalah dari Boeing 777. Pemegang 46 hak paten ini telah menanam lagi bibit unggul, yang hasilnya kelak akan dinikmati seluruh rakyat Indonesia.

Habibie telah membuktikan janji awalnya, mencurahkan segala daya upaya untuk membangun Indonesia dari sisi teknologi. Meskipun raganya semakin rapuh, semangatnya tetap besar untuk berbakti pada bumi pertiwi.

Kini sang teknokrat jenius nan romantis ini telah terbang tinggi menuju keabadian. Siap menjadi penjelajah di langit kasih tanpa batas milik Illahi.

Selamat jalan, Pak Habibie. Damai kekal menyertaimu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here