Hari ini, tanggal 23 Juli, kita sebagai bangsa memperingati Hari Anak Nasional.
Perayaan setahun sekali ini diharapkan bisa membawa perhatian dan kepedulian bangsa kepada kebutuhan masa depan Indonesia, kepada setiap anak Indonesia, agar bisa tumbuh dan berkembang secara optimal.
Menjadi menarik bahwa fokus utama dari perayaan ini bukanlah kepada berbagai instansi sekolah, kursus-kursus, atau pusat-pusat pelatihan, tetapi kepada keluarga.
Pemerintah sadar bahwa keluarga adalah lembaga pertama dan utama dalam memberikan perlindungan kepada anak. Pemerintah sadar bahwa mimpi untuk menghasilkan sebuah generasi penerus bangsa yang sehat, cerdas, ceria, berakhlak mulia, dan cinta tanah air itu dimulai dari keluarga.
Pada tahun 2018, data pemerintah mencatat jumlah anak Indonesia sebanyak 79,6 juta. Itulah juga besarnya kekuatan dan kebanggaan bangsa Indonesia. Kepada merekalah investasi terpenting dan terutama perlu dilakukan oleh setiap orang dewasa, khususnya para ayah dan ibu.
Sebagai “orang rumah”, terkadang kita tidak menyadari keistimewaan dan kekuatan yang dimiliki oleh bangsa kita sendiri.
Setiap kali berbicara tentang membesarkan anak, tidak sedikit di antara kita yang membandingkan bangsa sendiri yang penuh kekurangan ini dengan potret bangsa lain yang terlihat sempurna, jauh lebih baik, dan jauh lebih efektif.
Kebiasaan ini menghasilkan suami-istri yang, begitu memiliki anak, memutuskan untuk meninggalkan kebiasaan dan budaya ketika mereka dibesarkan (dan diajarkan oleh kakek nenek yang sudah kuno itu), untuk memilih dan mencoba berbagai metode parenting lain yang (katanya) telah berhasil di berbagai belahan dunia lain.
Tanpa sadar, mereka melupakan bahwa
“it takes a village to raise a child”.
Dibutuhkan orang sekampung untuk membesarkan seorang anak.
Sehebat apa pun teori dan metode membesarkan anak yang kita miliki, pengaruh dari lingkungan tempat anak dibesarkan tetap akan memainkan peran yang sangat besar.
Seorang anak dengan potensi yang sama akan bertumbuh menjadi seorang dewasa yang berbeda, tergantung pada kondisi dan lingkungan di mana ia bertumbuh.
Bila sejak kecil ia diajarkan untuk melihat lingkungan sekitar sebagai ancaman yang berbahaya, maka mudah sekali baginya untuk menumbuhkan rasa tidak percaya terhadap sesama.
Sebaliknya, sebuah kehidupan bertetangga dan interaksi yang dipenuhi dengan kesalahan dan pengampunan, kegagalan dan dorongan untuk tidak berputus asa, serta berbagai rasa dalam persahabatan, akan membentuk anak yang sama untuk tumbuh dalam kebesaran hati yang percaya bahwa hari esok bisa lebih baik.