Sayangnya, banyak orang terlambat menyadari hal itu.
Mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk pekerjaan, bisnis, atau kegiatan keagamaan, sehingga hanya tersisa sedikit waktu saja bagi keluarga. Tidak mengherankan jika di antara mereka banyak yang menyesal, saat anak-anak meninggalkan mereka untuk kuliah, berkarier, atau menikah.
Waktu yang hilang tidak bisa diputar kembali, yang tertinggal hanya penyesalan.
Meski begitu, kita masih harus bersyukur kalau masih diberi kesempatan menyesal dan menyadari kekeliruan. Karena ternyata, banyak yang hingga akhir hidup tidak pernah menyesali waktu yang terhilang sia-sia dalam kehidupan, terutama waktu untuk keluarga.
Mereka melakukan itu mungkin karena tidak memahami betapa pentingnya keluarga.
Tuhan memberikan kepada kita keluarga bukan tanpa tujuan.
Kita menikah bukan sekadar meneruskan keturunan. Lebih dari itu, kita bertanggung jawab kepada Ia yang memberikan keluarga.
Saya sangat sedih melihat begitu banyak suami-istri membentuk rumah tangga tanpa tahu apa misi Tuhan bagi rumah tangga mereka. Tidak heran, mereka menyia-nyiakan begitu saja kesempatan saat dikaruniai keturunan.
Mereka orang tua yang mungkin bisa mencukupi – bahkan melimpahi – kehidupan hidup anak-anak dengan uang dan harta. Akan tetapi, anak-anak mereka tidak pernah merasa bahagia.
Orang tua yang hidup untuk diri sendiri akan membesarkan anak-anak yang juga hidup untuk diri sendiri.
Anak-anak yang, ketika harus berpisah ke luar kota, luar pulau, bahkan luar negeri, tidak merasa rindu sama sekali terhadap orang tuanya. Bahkan lebih ekstrim, justru lebih suka untuk berpisah dengan orang tua, karena dengan begitu bisa bebas melakukan kehendak hatinya.







So true!