Saat keluarga kami masih lengkap berlima, rasanya sangat menyenangkan. Rumah terasa ramai, jalan-jalan bisa bersama-sama, pergi beribadah pun bisa sama-sama.
Sekarang di rumah, kami hanya tinggal bertiga. Jalan-jalan bertiga, beribadah bertiga.
Rumah terasa begitu sepi.
Apalagi kalau saya harus bertugas ke luar kota atau pulau, meninggalkan istri dan anak kami yang bungsu. Memang masih ada anggota keluarga lainnya, yaitu ayah saya, serta asisten rumah tangga dan sopir.
Kadang kala, saya sendiri pun harus berada seorang diri di rumah, sewaktu istri menengok anak kedua di Bali, dan anak bungsu pergi beribadah.
Berada sendirian di kamar tentunya sangatlah tidak menyenangkan, apalagi di hari Sabtu.
Saya membayangkan bagaimana kelak kalau anak ketiga kami, karena pilihan kuliahnya, harus meninggalkan kami lagi.
Tinggal saya dan istri berdua. Dan kesempatan berkumpul kembali dengan anak-anak mungkin hanya bisa dilakukan satu tahun sekali.
Saya dan istri kerap bergurau, “Di usia yang semakin tua, kita pacaran lagi, ya.”
Sebagai orang tua,
kita memang harus sedini mungkin mempersiapkan diri untuk perpisahan.
Perpisahan demi studi dan karier anak-anak, demikian juga perpisahan karena mereka menikah. Kenyataan ini tidak bisa kita hindari. Pasti akan terjadi dan dialami oleh semua orang tua.
Mereka yang telah mendahului kita sudah merasakan bagaimana menjalani kehidupan hanya berdua saja, suami dengan istri. Bahkan, ada yang karena lebih dahulu ditinggal pulang pasangan, hidup seorang diri saja.
Waktu berjalan begitu cepat, sampai satu kondisi membuat kita menyadari bahwa ketika Tuhan masih memberikan waktu untuk bisa berkumpul dengan keluarga, betapa berharganya waktu itu.







So true!