Dalam kurun beberapa hari terakhir, kita disuguhi dua berita yang menggambarkan kisah kasih orang tua pada anaknya yang sangat kontradiktif.
Berita pertama tentang KM Lestari Maju yang tenggelam di perairan Selayar, Sulawesi Selatan. Seorang ibu yang sedang hamil lima bulan berusaha menyelamatkan sekaligus tiga nyawa. Nyawanya, nyawa janinnya, dan nyawa anaknya yang masih berusia dua tahun dengan satu pelampung. Kisah berakhir pilu ketika mereka ditemukan meninggal, tak kuasa melawan alam yang ganas.
Pada waktu yang berdekatan, ada berita tentang seorang yang tega meninggalkan anaknya yang terluka akibat bom yang dirakitnya sendiri. Pria – saya enggan memakai kata ‘ayah’ karena perilakunya sama sekali tidak sesuai dengan sebutan tersebut – itu juga meninggalkan istrinya begitu saja. Pria tersebut diduga kuat merencanakan aksi teror bom di rumah kontrakannya. Bom tersebut meledak sendiri, melukai dirinya dan anaknya. Bukannya berusaha menolong, dia malah kabur sambil membawa bom lainnya.
Sebagai seorang ayah, saya sungguh tidak habis pikir dengan tindakan pria yang dengan tega meninggalkan anak dan istrinya begitu saja. Apakah karena takut ditangkap polisi? Ataukah begitu kuatnya ideologi yang dianut sehingga mengalahkan peran dan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah terhadap keluarganya?
Sebagai seorang ayah pula, saya bisa memahami dan sangat salut dengan sang ibu yang berusaha menyelamatkan anaknya di peristiwa tenggelamnya kapal di atas. Kasih seorang ibu mengalahkan rasa takut, yang ada di benaknya hanyalah mencari cara untuk menyelamatkan anak-anaknya.
Syair lagu ini pun kembali terngiang di telinga saya,
“Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali. Bagai sang surya menyinari dunia.”
Dari dua kisah kontradiktif diatas, setidaknya ada dua hal yang perlu kita renungkan dan jadikan pelajaran:
1. Kenalkan, Ajar, dan Beri Contoh Nilai-Nilai Kebenaran
Tidak cukup sekadar mengenalkan keluarga tentang agama, yang lebih penting adalah nilai-nilai kebenaran di dalamnya.
Agama saja tidak dapat membuat hidup lebih baik. Akan tetapi, pengenalan, pemahaman, dan pengamalan nilai-nilai kebenaran yang ada di dalamnya akan membuat kita memahami esensi yang tidak akan basi.
Nilai–nilai kebenaran ini akan memerdekakan dan membebaskan kita dari cara berpikir yang picik dan sempit.
2. Jaga Keluarga dari Pergaulan Tidak Sehat
Sebagian besar waktu kita dan anggota keluarga yang lain dihabiskan di luar rumah. Oleh karena itu, kita perlu menjaga diri dari pengaruh buruk pergaulan.
“Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik.”
Kebiasaan dan didikan baik yang diberikan dan diajarkan di rumah bisa menjadi sia-sia karena pergaulan yang buruk di luar rumah.
Kenali dengan siapa anak-anak kita bergaul, bukan hanya di dunia nyata tapi juga di dunia maya. Apa yang mereka tonton, apa yang mereka mainkan, perlu menjadi perhatian orang tua.
Jangan berhenti mengajar anak-anak kita tentang kebenaran, jagalah mereka juga dalam kebenaran. Niscaya sampai masa tua pun mereka tidak akan menyimpang dari jalan itu.