4 tahun kemudian.
Lisbeth merasa tangannya ditarik, pita pink di tangannya bergerak. Ia menggeliat di tempat tidurnya. Kamar tidurnya gelap gulita, ia mengerjap-ngerjapkan mata mencoba melihat bayi keduanya, Efra yang tidur di baby cot persis di sebelah ranjangnya. Efra menggerakkan kedua tangan dan kakinya dengan mulut terbuka. Anak pertama mereka, Esther tidur di ranjang kecil di pojok kamar.
Lisbeth menggendong bayinya dengan lembut, merasakan dada Efra naik turun dengan cepat.
“Drink milk?” Lisbeth bertanya dengan tangannya. Ia membentuk gelas imajinasi dan pura-pura meminumnya, lalu tangan kanannya membuat gerakan memompa. Lisbeth berkata dengan ASL sambil tersenyum dan bersiap menyusui Efra.
Lampu samping ranjang mereka menyala. Bryan menepuk punggung Lisbeth. “Mau ASIP? Kulkas?”
“Bryan tidur saja. Jam berapa sekarang?”
“Jam 4.” Bryan menguap. Matanya setengah terpejam,
“Efra menangis kencang?”
Bryan mengangguk lagi. “Sekarang sudah berhenti.”
Efra mulai tertidur di pelukan Lisbeth. Dengan lembut, ia mencium kening Efra, menghirup bau bayi yang harum. Ia tersenyum. Ia teringat pembicaraannya dengan Bryan ketika ia hamil Esther, 2 bulan setelah pernikahan mereka. Ia bertanya, haruskah ia berdoa meminta bayinya bisa mendengar atau tidak.
Bryan tersenyum. “Dua-dua tidak ada masalah.”
“Kalau anak Tuli … Lisbeth tahu bagaimana menghadapi. Tahu perasaan anak Tuli. Kalau anak bisa dengar bagaimana? Tidak tahu.”
“Lisbeth merasa lebih percaya diri kalau anak juga Tuli?”
Lisbeth mengangkat bahu. “Mungkin. Tapi … masak berdoa supaya anak Tuli? Semua Papa Mama, Papi Mami ingin cucu dengar, kan?”
Bryan memeluk Lisbeth. “Tidak usah pusing. Lihat nanti dikasih seperti apa. Kalau Tuli tidak masalah, dengar juga tidak apa-apa. We’ll find a way.”
Semua kegelisahannya menguap ketika melihat Esther yang lahir dengan rambut hitam lebat menggenggam erat jarinya. Ia sempurna. Efraim, bayi keduanya juga lahir dengan rambut hitam lebat. Bryan memeluk dan mencium keningnya ketika dokter meletakkan Efraim di pelukan Lisbeth. Bryan selalu masuk ke ruang bersalin, memegang tangannya selama ia berjuang.
Bryan pula yang memberi nama anak-anak mereka. Efraim nama yang aneh. Ia sempat bertanya kepada Bryan, kenapa memilih nama yang aneh? Kenapa tidak Michael, David atau James.
“Artinya bagus,” ujar Bryan tersenyum. Ia menuliskan arti namanya. “God made me fruitful in the land of my affliction.”
“Tidak pernah sangka, hidup bisa jadi seperti ini,” jelas Bryan. “Bisa punya keluarga … bisa bahagia.”
Lisbeth pun tidak pernah menyangka. Awalnya Papi Mami, Papa Mama meragukan keputusan mereka untuk benar-benar hanya tinggal berdua di paviliun belakang. Bryan memasang bell door otomatis yang akan mengeluarkan cahaya berkedip-kedip ketika ditekan. Ketika tahu Lisbeth hamil, Bryan langsung membeli dan memasang baby monitor dari Jerman, di tiap ruangan yang tersambung dengan gelang di tangan Lisbeth.
Terkadang, Lisbeth lebih suka memakai tali seperti malam ini. Ia mengikat tali satin di tangan kanannya yang terhubung gelang karet yang dikenakan oleh Efra. Ia juga biasa meletakkan tangannya di atas dada Efra. Merasakan napas dan hangat badan Efra.
“Tidak capek?” tanya Bryan. Lisbeth menggeleng.
“Strings of love. Dulu dalam perut, ada tali plasenta, memberi makan. Ini … penghubung antara Lisbeth dengan Efra. Kalau Efra menangis, Lisbeth tahu. Cinta itu … tidak pakai telinga, tapi pakai hati.”
Bryan juga ayah yang luar biasa baik. Dua minggu lalu, Esther bermain bola di ruang tamu. Bryan yang baru pulang kerja meminta Esther tidak bermain bola di dalam rumah, tetapi Esther tidak mendengarkan dan tanpa sengaja ia menendang bolanya mengenai Vas Dinasti Ming. Vas itu pecah berkeping-keping.
“Aku marah sekali,” tutur Bryan. “Vas harga mahal! Aku sudah hampir bentak-bentak dan pukul Esther. Apalagi ada Papi.”
Lisbeth mengangguk ia tahu persis budaya keluarga Chinese yang kadang memarahi anak untuk menyelamatkan muka orang tua.
“Papi panggil aku. Lalu tanya,” kata Bryan. “Kenapa aku enggak pukul Esther. Aku sudah siap Papi bakal marah, bakal bilang aku enggak bisa didik anak.”
“Kamu jawab apa?”
“Aku jawab, kalau Esther dipukul, aku khawatir bukan hanya vasnya yang pecah.” Mata Bryan berkaca-kaca. “Aku enggak mau anak-anak kita tumbuh seperti aku dulu. Sedikit-sedikit dipukul.”
“Papi bilang apa?”
Lisbeth melihat Bryan bersusah payah menahan air matanya.
“Papi bilang … I’m a good father.”
“You are.” Ia memeluk Bryan erat-erat. Ia tahu Bryan terkadang dikejar rasa takut bahwa ia bukan ayah yang baik, bayang-bayang masa kecilnya membuat Bryan khawatir di bawah sadar ia akan membesarkan anak-anaknya seperti dulu ia dibesarkan.
“You are the best father.”
***
Sambil menggendong Efra, Lisbeth memeriksa tumpukan baju yang akan dibawa ke Singapura untuk mengikuti Boutique Fair, pameran busana bergengsi. Livi mendaftarkan Lis-La sebagai merek di Singapura. Berkat kemampuan diplomasi Livi, marketing Nala, juga keunggulan desain Lisbeth, Lis-La dijual juga di TANGS, Changi Airport dan Design Orchard. Di Indonesia, mereka merambah ke Grand Central Indonesia, Pacific Place, dan PIK Avenue. Nala mengelola IG mereka dengan kemampuan storytelling yang menakjubkan sehingga followers mereka terus bertambah.
Di meja, duduk Rama, teman sekelas Liona sejak kecil di SLB yang membantu Lisbeth membuat website dan fotografi.
“Aku tambahkan fitur. Jika ada yang membeli barang, akan kelihatan di website. Orang yang sedang melihat website bisa tahu jika ada yang membeli barang. Contoh ….”
Rama memasukkan 1 baju ke dalam keranjang. Tak lama keluar 1 tab bertuliskan, Rama dari Jakarta membeli Hana tops. Lisbeth melongo lalu memberi tanda dua jempol.
Livi menaruh sepiring lumpia di atas meja. Dengan cepat, Liona langsung mengulurkan tangan yang segera ditepuk oleh Livi. “Buat Rama, bukan buat kamu!” Liona cemberut.
“Kenapa semua buat Rama?” omel Liona.
“Rama tamu! Kamu sudah makan lima!” Livi mengacungkan lima jari. Liona mencibirkan bibirnya.
“Ci, ini taruh mana?” tanya Tini sambil membawa setumpuk baju yang akan dimasukkan ke dalam plastik. Lisbeth memberi gestur menunjukkan tempat di atas meja.
Dengan sigap, Livi mengambil baju dan mulai memeriksa apakah ada cacat atau tidak sebelum melipatnya dengan rapi, lalu memberikan ke Tini yang memasukkan baju tersebut ke dalam plastik. Ruang tamu rumah mereka yang dulu lapang dan kosong, kini disekat. Bagian depan tetap untuk menerima tamu. Lalu ada satu ruangan berisi rak-rak yang penuh baju-baju yang siap dipasarkan. Garasi tua yang tidak terpakai, diisi beberapa mesin jahit, mesin obras dan satu mesin bordir. Butik yang dibelikan Bryan untuknya, ia sewakan terlebih dahulu. Lisbeth masih bercita-cita membuat butik pesta, tetapi nanti. Sekarang ia ingin membangun nama dan jaringan lewat ready to wear fashion.
Lisbeth sibuk dengan ponselnya. Ia mencatat beberapa pesanan di buku catatan lalu pergi ke gudang. Ia kembali dengan beberapa baju dan bubble wrap. Liona melihat buku catatan Lisbeth lalu membantunya membungkus sesuai dengan pesanan. Nala masuk kemudian menunjukkan wawancara mereka di majalah Mode minggu lalu.
Duo Deaf Designer.
Lisbeth tersenyum. Hatinya terasa hangat. Ia menatap tumpukan baju yang siap dibawa, banner yang didesain oleh Liona, Livi dan Nala yang sibuk mengemas barang, Liona dan Tini yang sibuk memeriksa apakah ada cacat atau tidak, juga Rama yang membantunya dengan teknis IT.
Di awal, ia pikir ia harus berjuang sendiri. Ternyata berjuang bersama … lebih menyenangkan. Seperti kata papinya, ketika semua bersatu dengan tujuan yang sama, mereka menjadi lebih kuat dari tembok kota.
Menjelang pukul 6, Bryan pulang. Bubbly Tea sudah menambah 3 outlet baru. Ia juga masih mengawasi Kedai Kopi Biru, membantu Danar mengembangkan kedai menjadi tempat nongkrong yang inklusif. Dimas dan Bryan membuka perusahaan baru untuk menaungi beberapa franchise yang akan mereka kembangkan.
“Makan makaan … Ayo-ayo semua makan.” Heni menggiring keluarganya ke meja makan. “Kerjanya setop dulu. Livi! Liona! Makan!”
“Yo makan …. Makan ….”
“Lisbeth mau makan?” Setelah melihat anggukan Lisbeth, Bryan mengambil piring lalu menyendokkan nasi untuk istrinya.
TAMAT
[1] qīng méi zhú mǎ:childhood sweetheart.