Maneken-maneken yang berdiri bagaikan prajurit yang menjaga ruangan, membuat Bryan merasa gelisah. Siang tadi, ketika Lisbeth memberitahunya kalau Om Wim ingin bertemu, ia langsung menggeser semua jadwalnya.

Bryan buru-buru berdiri saat melihat Om Wim menuruni tangga. Ia selalu segan kepada Om Wim. Jantungnya berdebar cemas. Apakah Om Wim akan menyetujui hubungannya dengan Lisbeth? Selama ini, Om Wim baik-baik saja dengannya, walaupun ia yakin Om Wim pasti mengetahui masa lalunya.

“Sore, Om,” sapa Bryan.

“Duduk, Bryan,” kata Om Wim. “Gimana bisnis di F&B?” Nada suara Wim datar, seperti menanyakan cuaca hari ini.  

“Yah begitulah, Om,” tawa Bryan sedikit gugup.

“Menurut kamu, apa tantangan bisnis F&B?” Wim bertanya lagi. Bryan tiba-tiba merasa seperti anak SMP yang dipanggil ke ruang kepala sekolah karena melakukan kenakalan.

Bryan berdeham sebelum menjawab, “Menurut saya, yang pertama bagaimana supaya tetap relevan di tengah trend yang selalu berubah. Bagaimana supaya pembeli tetap datang sekalipun ada banyak outlet bubble tea baru. Loyal customer based.” Bryan berhenti memperhatikan Wim. Wim malah asyik membuka sebungkus kuaci.

Sekarang, Bryan mengerti mengapa Ah Liong mengatakan Wim adalah teman yang baik, tetapi rekan bisnis yang mengerikan. Mudah untuk membaca ketika Ah Liong marah atau gembira. Namun, Wim wajahnya selalu datar, poker face. Sangat sulit untuk menebak apakah Wim setuju, tidak setuju, atau diam-diam mentertawaimu.

“Kedua, bagaimana membangun perusahaan with good corporate value. Saya lagi baca bukunya Howard Schutlz, bagaimana ia menjadi Starbucks.”

“Om pikir kamu tidak suka baca.” Senyum tipis terkulum di bibir Wim yang sibuk mengunyah kuaci.

Bryan benar-benar mati kutu. Wim tahu lebih banyak tentang dirinya daripada yang ia kira. Benaknya berputar kembali ke masa-masa ia di Taiwan, ketika ia benar-benar melihat dirinya di tengah para pelaku bisnis dan menyadari apa yang Benny kerap katakan bahwa ia tidak punya kualifikasi sangat benar.

“Saya baru sadar … saya perlu belajar banyak untuk mengejar ketinggalan saya.”

“Ada lagi?” gumam Wim.

“Saya juga berpikir untuk memperhatikan kesejahteraan karyawan. Membuat mereka bangga menjual bubble tea. Mungkin kelihatan konyol, tapi saya rasa jika para karyawan sadar mereka bukan menjual minuman, but they sells sparks of joy, hasilnya bisa luar biasa. Saya juga punya ide—” Bryan berhenti. Ia sadar Dimas mentertawakan idenya.

“Ide apa?”

“Seperti Starbucks, menawarkan asuransi kesehatan dan pendidikan. Yang ingin kuliah, kami bantu. Tapi kita belum sebesar Starbucks, Om.” Bryan tertawa kecil.

Bryan tak pernah sadar bahwa pendidikan sepenting itu hingga ia duduk bersama orang-orang cerdas dan mereka berdiskusi tentang hal yang tidak ia ketahui. Tiba-tiba, ia membayangkan Benny. Jika kakaknya ada di sana, ia pasti sudah memimpin diskusi, memberikan banyak masukan. Penyesalan selalu datang terlambat. Orang tuanya mampu menyekolahkannya di luar negeri dan Bryan menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia tak ingin orang lain seperti dirinya.

Bryan duduk dengan gelisah. Kausnya mulai terasa gatal. Wim masih sibuk makan kuaci, seolah-olah tidak menyadari kegelisahan pemuda di hadapannya. Setelah beberapa menit, baru Wim berbicara lagi.

“Sudah berapa lama kamu pacaran sama Lisbeth?” tanya Wim dengan nada yang sama ketika ia menanyakan harga jus buah naga.

Bryan terbatuk-batuk. “Baru, Om.”

“Jadi, kamu pikir bisa pacaran sama anak Om tanpa minta izin sama Om?” tanya Wim.

Damn it! Bryan buru-buru berpikir, jika ia berkata ia tidak merasa itu penting, Om Wim bisa tersinggung. Jika ia mengatakan ia lupa, ia kelihatan seperti pria tanpa rencana.

“Maaf, Om, Saya harusnya minta izin dulu.” Bryan menelan egonya. Wim tetap membisu. Ia membuka kantong kuaci kedua.

“Om ada kedai kopi tua di Kota. Punya teman lama. Sejak dia enggak ada, anaknya enggak bisa urus. Lokasinya bagus. Sayang.” Wim menggelengkan kepalanya.

Bryan berusaha menebak apa kaitan kedai kopi dengan hubungannya dan Lisbeth?

“Kamu mau coba jalanin?”

“Saya?” tanya Bryan terkejut. Wim menawarkan bisnis seperti menawarkan sebungkus kuaci. Dengan gugup, Bryan menggaruk lehernya.

“Om pikir, kamu punya rencana besar,” gumam Wim sambil membereskan kuacinya dan bersiap untuk beranjak pergi.

Okay, Om,” jawab Bryan tanpa berpikir. Sh*t!

Senyum tipis tiba-tiba meluncur dari mulut Wim, senyum yang cepat lenyap. Ia lalu menghilang di ujung tangga.

“Bryan?” panggil Lisbeth yang baru menuruni tangga. “Kata Papi sudah selesai?”

“Iya,” angguk Bryan.

“Gimana?” Wajah Lisbeth tampak waswas.

“Papi kamu punya kedai kopi yang mau diberesin.”

Mulut Lisbeth membuat huruf O. “Susah, ya?”

“Belum pernah bikin. Tapi dicoba dulu.” Bryan melihat ada beberapa ART yang hilir mudik. “Kita keluar, yuk.”

“Sudah malam,” tolak Lisbeth.

“Ke teras saja,” bujuk Bryan.

Lisbeth setuju. Halaman rumah Lisbeth seperti biasa sepi. Begitu sampai di luar, Bryan langsung memeluk Lisbeth dan menciumnya.

I missed you. Rencana usaha sama Nala gimana?”

Pattern sudah selesai. Baru coba bordir. Mau lihat?” tanya Lisbeth. Bryan mengangguk. Di meja border, terhampar berbagai kain warna warni; ungu muda, biru, abu-abu dan hitam. Di atas tiap kain ada bordir bunga mei hwaberwarna putih dan pink, beberapa kelopak bunga tampak berjatuhan.

“Kurang bagus.” Lisbeth memberi penilaian. “Kaku.”

“Kenapa pilih plum blossom?”

Rona merah muda muncul di pipi Lisbeth. “Bunga bagus.”

“Mawar juga bagus, kenapa harus mei hwa?” Bryan mengulum senyum. .

“Mau coba kalau dijadikan batik apakah bisa.” Lisbeth mengalihkan pembicaraan.

Mei Hwa kayaknya namanya kenal.” Bryan tak berhenti menggoda Lisbeth.

 Lisbeth mencubit pinggangnya. “Apa sih Bryan. Malu.” Semakin merah muka Lisbeth, semakin Bryan senang menggodanya. Jika Om Wim mau kedai kopi dibereskan, asal restu untuk Lisbeth bisa didapatkan, apa pun akan ia lakukan.

***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here