Jika manusia bisa tahu bahwa ada hal buruk yang akan terjadi, apakah ia akan berusaha membelokkan takdir?

Mobil Bryan baru masuk ke lapangan parkir ketika ia menyadari ada sosok lain berdiri di lapangan parkir. Jantung Bryan sedikit berdebar melihat sosok tinggi dengan sedikit uban di kepalanya.

“Siang Om,” sapa Bryan seraya menghampiri Om Wim. Penampilan Om Wim dari dulu tidak berubah. Ia selalu mengenakan kaus polo berkerah dengan celana kain.

“Bryan! Apa kabar? Sudah lama kita tidak ketemu,” sapa Om Wim sambil menyambut tangan Bryan.

“Iya, Om,” jawab Bryan berusaha bersikap wajar. “Lagi lihat-lihat, Om?”

“Iya, nih. Sudah lama tidak nengok sekolah. Mumpung hari ini kosong,” ujar Om Wim terkekeh. “Kamu sendiri ngapain?”

Pertanyaan wajar. Bryan berusaha tetap tenang. “Nganter sembako, Om.” Ia menunjuk sopirnya yang sedang sibuk menurunkan sembako.

“Wah, makasih, ya!” Om Wim menepuk bahu Bryan dengan hangat. “Kamu sering ke sini?”

“Iya, Om. Awalnya diminta sama Dimas buat gantiin. Kan … erhm … kami … nyumbang buat YST juga. Danar juga magang di Kafe.” 

“Oo, iya, iya, betul. Lisbeth sering cerita.”

Tunggu … Lisbeth cerita? Cerita apa dia? Muka Bryan sedikit memerah.

“Ayo masuk,” ajak Wim.

Pintu terbuka, lalu Kintan kecil berlari ke arah Bryan. Wajahnya tampak ceria. Begitu sampai di hadapan Bryan, Kintan langsung mengulurkan tangannya meminta gendong.

“Wah kamu benar-benar sering ke sini?” tanya Wim sambil tertawa.

“Ah … enggak juga Om. Kintan yang nggak takut sama orang asing,” sergah Bryan. Ia tiba-tiba penasaran mengenai sosok ayah Kintan.

“Om tahu papanya Kintan?”

Wajah Wim tiba-tiba mengeras. “Kenapa?”

“Nggak … saya cuma penasaran. Kok tega ….”

Wimharja menatap Bryan lekat-lekat. “Banyak pria seperti itu, Bryan.” Suara Wim terdengar berat. “Laki-laki … yang tidak bisa membela istri yang dipilihnya sendiri … bukan laki-laki,” gumam Wim pelan.

Bryan tak pernah menyaksikan Om Wim semuram itu. Ia hanya mengangguk dan mengikuti Wim masuk gedung sekolah. Setelah rapat dengan Bu Euis, sebelum makan siang, Wim kembali ke Jakarta.

Sorenya, Bryan baru selesai mengajari anak-anak main basket di lapangan, ketika sebuah Jip berplat nomor D parkir di halaman. Seorang pria gagah berambut cepak keluar dari mobil. Ia mengenakan kaus ketat berwarna abu-abu tua. Tubuhnya kekar. Bu Euis menyambutnya, pria itu mencium tangan Bu Euis. Lalu mereka berbincang sejenak.

Namun, Bryan tak siap dengan adegan selanjutnya. Lisbeth berlari ke arah pria itu dan memeluknya. 

Sesuatu mencengkeram hati Bryan. Ia berusaha menembakkan bola basket ke dalam ring. Mental. Berbagai pertanyaan muncul di benak Bryan. Siapa pria itu?

“Bryan … minum dulu, Nak.” Suara Bu Euis memecah lamunan Bryan.

Di teras dekat lapangan, Bu Euis menaruh nampan berisi gelas, satu teko air dingin dan sepiring pisang goreng.

“Panas. Kamu jangan kurang minum.” Bu Euis menuang air untuk Bryan.

“Anak-anak cowok pada senang kamu datang ngajarin basket. Mereka bosen gurunya cewek semua,” puji Bu Euis.

“Cuma gini aja, Bu.” Ia terdiam sejenak, lalu memutuskan untuk bertanya, “Eh, itu tadi ….” Bryan melirik ke arah jip.

“Itu Jimmy. Pacar Lisbeth.”

Pacar? Mikir apa gue? Yah, jelas Lisbeth punya pacar. Dia cakep gitu.

“Oo, pacarnya Lisbeth.” Bryan berusaha santai sekalipun ada gumpalan di tenggorokannya.

“Mereka semua murid Ibu dulu. Jimmy itu satu kelas di bawah Lisbeth, tapi umurnya dua tahun lebih tua.”

“Pacaran dari sekolah?”

“Tidak. Sehabis Lisbeth balik dari Australia, ada reuni. Ngobrol-ngobrol, tidak lama mereka jadian. Jimmy tulinya tidak seberat Lisbeth. Makanya dia pakai hearing aid membantu, bisa nyetir mobil. Bicaranya juga lebih jelas. Sekarang dia jadi fotografer. Hari ini mungkin tidak ada klien.”

Bryan menatap lapangan basket di depannya sambil terus mengunyah pisang goreng. Pikirannya berkelana. Ternyata selama ini ….

Bryan merasa ini ironis. Ia baru 3 minggu mengikuti kelas Bisindo, berusaha masuk ke dalam dunianya Lisbeth. Ia baru bisa menghafal abjad Bisindo. Ia baru mengajak Lisbeth menonton dan Lisbeth bilang ia baik. Harapannya sudah melambung … ternyata Lisbeth sudah punya pacar. Bryan mentertawakan dirinya. Mungkin lebih baik ia berhenti saja. Tak ada gunanya. Ia tetap kalah. No matter how hard he tries, he’s never good enough.

***

Lisbeth gembira karena Jimmy datang menemuinya hari ini. Sebulan belum tentu mereka sekali bertemu. Tangannya terus bergerak-gerak. Dengan Jimmy dan di lingkungan Tuli, Lisbeth seperti ikan berenang dalam air.

“Buat Jimmy.” Lisbeth menyodorkan kemeja batik sutra bernuansa merah emas yang dijahitnya sendiri. Lisbeth juga sudah menjahit blus dengan bahan yang sama untuk dirinya sendiri. Menjahit batik sutra sulit. Bahannya halus, lembut, harus dijahit dengan sepatu jahit khusus. “Bahannya dingin. Tangan pendek. Jimmy tidak suka yang panas-panas, kan?”

Lisbeth hafal semua pakaian Jimmy. Ia tahu sebagai fotografer, Jimmy banyak menggunakan kaus atau baju lengan pendek. Jimmy tidak suka bahan yang gatal, keras, atau kaku. Jimmy tidak suka tangan panjang. Semua Lisbeth tahu.

“Terima kasih!” Jimmy mengambil plastik baju itu dan menaruhnya di kursi. Lisbeth terdiam. Ia merasa seolah-olah hatinya dibanting ke lantai.

“Tidak dicoba dulu?” tanya Lisbeth. “Siapa tahu ada yang tidak pas?”

Jimmy hanya tersenyum. “Tidak usah. Di rumah saja. Kalau Lisbeth yang jahit pasti bagus.”

“Kujahit juga tops buat aku. Batiknya sama.”

“Wah.” Jimmy mengacungkan jempol. Lalu diam.

“Dua bulan lagi, Papi ulang tahun. Jimmy bisa datang?” Lisbeth tahu Jimmy sibuk. Jadi, ia berusaha memberi tahu Jimmy jauh-jauh hari. Dua bulan di muka.

“Ada acara?”

“Di Kempinski. Bisa? Nanti kita pakai baju kembaran.”

“Bisa.”

“Jimmy tidak tanya tanggal berapa? Yakin bisa? Jimmy sibuk,” tanya Lisbeth ragu-ragu.

“Kalau buat Lisbeth pasti bisa. Kasih tahu ya tanggalnya.” Jimmy tersenyum. Entah mengapa senyuman itu terlihat palsu bagi Lisbeth.

Siti dan Dodo masuk ke dalam ruangan. Dodo langsung menepuk punggung Jimmy. “Jimmy!”

“Do! Sibuk apa sekarang?” Mata Jimmy bersinar memandang Dodo.

“Sedang membuat lemari baru. Mau lihat?” jawab Dodo antusias.

“Ayo-ayo!” Jimmy bangkit mengikuti Dodo. Lisbeth menatap bungkus plastik batik yang ditinggal Jimmy di sebelah kursinya.

Kenapa berbeda sekali? batin Lisbeth. Ingatannya kembali ke kemarin. Ia membuatkan kemeja yang sama untuk Bryan. Reaksi Bryan ketika menerimanya sungguh berbeda.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here