Sabtu berikutnya, Bryan menyetir ke Sentul. Dalam setahun terakhir, ini kali pertama Bryan mengambil cuti di hari Sabtu. Ralat, ini kali pertama ia cuti. Sebenarnya karena ia membeli franchise, Bryan tak harus ada di kafe, pegawai-pegawainya pun cukup bisa dipercaya. Namun, selama ini ia tidak tahu harus ke mana jika bukan ke kafe.
Bagasi mobilnya penuh dengan beras, gula, minyak, telur, dan berbagai macam sayur-mayur. Barang-barang yang ia harapkan memberinya alasan untuk berada di Sentul. Bryan perlu alasan bukan untuk muncul di sana? Alasan yang tidak terlalu mencolok. Alasan yang bisa diterima. Alasan yang semoga mengaburkan fokus dari alasan yang sebenarnya.
Jika alasan itu kurang kuat, tidak apa. Bryan sudah menyiapkan alasan yang lain.
Gila … kayak enggak ada cewek lain. Bryan menggeleng sendiri. Namun, tidak ada yang seperti Lisbeth. Ah, tak apa dicap gila. Toh, dari dulu semua orang juga bilang ia gila.
Diri masa lalunya mungkin mentertawakan dirinya sekarang. Mengambil cuti untuk ke asrama anak Tuli?
Mungkin Bryan baru menemukan candu barunya? Ini mungkin candu baru yang lebih baik. Tidak ada kepala pusing, tidak ada mual, dan muntah. Dan ini membuat Bryan kelihatan baik. Candu yang sempurna.
Mobilnya memasuki pagar hitam. Ketika ia mulai menurunkan barang, Bu Euis dan Dodo muncul lalu membantunya.
“Makasih ya, Bryan.” Bu Euis tersenyum sehangat biasanya.
“Sama-sama, Bu.” Bryan berjalan masuk sementara Pak Tono membawa sembako ke dapur bersama Dodo. “Usul saya tentang relawan bagaimana, Bu?”
“Bagus sekali kalau bisa. Ibu juga sudah bicarakan sepintas dengan Livi.”
Bryan langsung waspada mendengar nama Livi disebut. “Ibu … enggak bilang—”
“Seperti kata Bryan, jangan kasih tahu ini dari Bryan. Ibu tidak bilang sama Livi,” sahut Bu Euis cepat. Bryan mengembuskan napas lega.
Livi, cinta yang menjelma menjadi kesalahan besar. Waktu itu, Bryan berpikir dengan polosnya jika ia pacaran dengan salah satu anak rekan bisnis papanya—seperti yang dilakukan Benny—siapa tahu Papa akan menganggapnya. Ia pikir karena ia dan Livi tumbuh bersama, ini hal mudah. Ternyata, Livi menolaknya mentah-mentah, menjadikannya bahan ejekan. Ia bersumpah dalam hati akan membuktikan bahwa ada banyak perempuan yang mau dengan dirinya. That’s the start of his downfall.
Selepas kecelakaan, lagi-lagi ia mengulangi kesalahan yang sama. Saat menyaksikan bagaimana orang tuanya memuji-muji Benny yang pintar memilih istri, ia kembali mengejar Livi. Dan kembali ditolak. Tak lama, Livi menikah dengan Simon. Baginya, Livi bukan hanya cinta tak terbalas. Livi adalah bukti bahwa di mata banyak orang, ia tak pernah cukup pantas, tak pernah cukup baik.
Lisbeth sebaliknya. Mungkin ia bodoh, tetapi setiap kali Lisbeth mengatakan, “Bryan memang baik.” seperti ada perban yang membebat hatinya. Ia ingin mendengar itu lagi dan lagi. Ia sadar sedang bermain api. Ada kemungkinan Lisbeth akan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Livi, tetapi bodohnya asal ia bisa mendengar pujian Lisbeth hari ini, itu cukup. He’s that pathetic.
Selesai rapat dengan Bu Euis, Bryan berjalan seorang diri ke lapangan basket. Benaknya membayangkan anak-anak bermain dengan gembira di sini. Ia tak pernah mengira, uang sumbangan yang menurutnya tak seberapa bisa membawa banyak tawa. Bryan mencium wangi lavender, jantungnya berdebar. Bahkan wangi lembut dari parfum Lisbeth seperti air yang menyejukkan.
***
“Terima kasih sudah datang.” Lisbeth menatap Bryan dengan matanya yang bulat.
“Sama-sama.”
Matahari sedang tertutup awan sehingga sinarnya tak begitu menyengat sekalipun mereka ada di lapangan basket yang terbuka.
“It’s hard, isn’t it?” ucap Bryan. “Mengurus yayasan sama buka butik.”
It’s hard, isn’t it? Lisbeth tertegun. Lisbeth menatap Bryan lekat-lekat. Tidak banyak orang yang mengakui bahwa ada yang berat, banyak hal yang sulit di hadapannya. Banyak yang khawatir Lisbeth akan patah semangat. Tak heran lebih banyak kata-kata penyemangat yang ia dengar. Kalimat-kalimat macam, “Lisbeth pasti bisa. Lisbeth tidak kalah. Jangan menyerah. Ayo berdoa, Yakin saja. Coba lagi. Memang berat, tetapi Lisbeth pasti bisa.” Tidak ada yang salah dengan semua kalimat itu. Lisbeth tahu maksud mereka semua baik. Namun, Lisbeth merasa ada yang kurang. Kalimat Bryan tadi seperti memberikan potongan puzzle yang hilang.
It’s hard, isn’t it?
Kalimat sederhana yang membuat Lisbeth diam. Kalimat yang memberinya ruang untuk mengakui bahwa, ya, ini berat. Lisbeth tercenung sejenak. Ia mencoba membaca wajah pria tersebut. Apakah Bryan merasa kasihan kepadanya? Tidak. Mata orang yang berkata kasihan, biasanya dagunya sedikit mendongak, hidungnya sedikit terangkat, seolah-olah merasa dirinya lebih tinggi daripada lawan bicaranya. Bryan tidak. Ia menunduk, memosisikan dirinya sejajar dengan Lisbeth.
Senyum kecil merekah di bibir Lisbeth. “Yes it’s hard. Dulu Cici Livi suka bikin acara. Sekarang, donatur hanya memberi uang, tapi tidak datang lagi. Cici Livi punya banyak teman. Aku tidak punya banyak teman dengar.”
“Lisbeth kuliah di luar negeri, kan?” tanya Brian. “Apakah di universitas banyak anak Tuli?”
Lisbeth menggeleng. “Tidak. Universitas biasa. Tapi di Australia banyak kemudahan, aku minta note taker, mahasiswa yang ikut ke kelas-kelas, lalu membantuku mencatat penjelasan dosen. Dosen baik, ramah. Kuliah lancar, tapi teman dekat tak banyak. Aku tak suka pergi satu grup dengan banyak anak dengar. Karena mereka bicara cepat sekali, aku tidak mengerti. Kalau grup kecil 2-3 orang, tidak apa-apa.” Lisbeth mengatakan kalimat itu dengan tenang seolah-olah memberitahukan perkiraan cuaca.
Bryan tampak berpikir. Diam-diam Lisbeth penasaran apa yang berada dalam benak Bryan saat ini? Ia heran mengapa ada orang dengar yang bisa mengeluarkan kalimat yang terasa begitu dekat dengan dirinya. Mengapa ada pria yang bisa memberi nama untuk rasa yang ia pendam?
“Apa Lisbeth pernah ingin bisa mendengar?” tanya Bryan tiba-tiba.
Lisbeth tertawa kecil. Ia tak mengerti mengapa orang dengar suka bertanya seperti itu, seolah-olah dunia kiamat jika tak bisa mendengar.
“Aku Tuli sejak lahir. Mungkin kalau aku bisa mendengar, lalu jadi Tuli, aku sedih. Tapi bagaimana bisa sedih untuk sesuatu yang kamu tidak pernah tahu?” Lisbeth balik bertanya. “Aku suka-suka saja jadi anak Tuli. Yang sebenarnya membuat kondisiku tidak mudah, bukan karena aku Tuli, tapi karena kadang dunia dengar memaksaku menjadi seperti mereka.”
“Karena itu, Lisbeth tidak punya banyak teman dengar?”
Pandangan mereka bertemu. Lisbeth berpikir, tak banyak orang dengar yang berani bertanya seperti ini, berusaha mengerti dunianya. “Mungkin. Orang dengar kadang aneh. Sebagian merasa kasihan sekali dengan hidupku, yang lain mempersulit hidupku.” Lisbeth tertawa. “Tapi tidak semua orang dengar jahat, kok. Dosen-dosenku baik-baik, mau mengerti. Teman-teman juga. Ada 2-3 orang yang suka mengajakku makan siang bersama.”
Lisbeth melirik Bryan dan berkata, “Terima kasih, ya.”
“Untuk?”
“Sudah bertanya dan mau mengerti,” ungkap Lisbeth. Ia terkikik geli melihat rona merah muda di wajah Bryan.
“Kulit Bryan putih sekali. Kalau wajah merah langsung kelihatan,” ujar Lisbeth di sela-sela tawanya tanpa menyadari siapa yang membuat pria di hadapannya tersipu.
***