Lisbeth mengeringkan rambutnya. Matanya masih merah. Ia heran bisa menangis di pelukan Bryan hingga kemeja laki-laki itu basah. Ia minta maaf lalu kembali ke stan YST dengan terburu-buru. Untung acara hari ini berakhir cukup lancar. Brosur habis tersebar. Stoples kue Siti pun ludes. Ada beberapa nama yang bersedia dihubungi. Bryan membantu hingga selesai, ikut berbenah. Lisbeth bersyukur Bryan tidak mengungkit dan tidak bertanya lagi.
Ia membaca pesan terakhir di ponselnya. Dua centang biru, tetapi tak ada balasan. Ia membuka pesan itu dan lagi-lagi hanya ada kalimatnya di sana.
Babe, bisa vidcall? Miss you.
Tidak ada balasan. She needs Jimmy. Namun, ia tidak terjangkau. Dan ini bukan kali pertama. Saat Lisbeth menaruh handphone, ada notifikasi WhatsApp. Hatinya berdebar.
How ru?
Malah Bryan yang menghubungi dirinya. Kenapa pria yang ia harapkan tidak muncul, justru pria yang tidak terlalu ia harapkan yang muncul?
Bryan tidak akan mengerti. Ia cowok dengar.
Kejadian tadi siang, mau tak mau membuka luka lamanya. Orang-orang dengar yang menganggap anak Tuli kelas dua dan tidak layak menjadi keluarganya. Lisbeth ingin berkata, hanya orang luar yang begitu. Namun, keadaannya tidak demikian. Bahkan, Popo, nenek dari pihak Papi tidak pernah menganggap keberadaannya.
Papi anak laki-laki pertama. Jadi, semestinya Livi, Lisbeth, dan Liona dianggap cucu dalam[2]. Namun, Popo selalu dingin terhadap mereka. Ia jarang memberi mereka hadiah meskipun mereka tinggal serumah. Popo lebih banyak memberi hadiah kepada sepupu-sepupu mereka, sekalipun mereka semua sebenarnya cucu “luar” karena mereka anak adik-adik perempuan Papi, beda marga.
Popo tidak pernah mengatakan itu karena Lisbeth Tuli. Namun, Lisbeth tidak bodoh. Setiap pagi, Mami selalu memaksa mereka pamitan dengan Popo. Pulang sekolah, mereka ke toko Kintan sampai dijemput Papi malam hari. Popo tidak pernah bermain dengan dirinya. Tidak pernah tersenyum kepadanya. Beda sekali dengan Mak Kintan. Sepanjang ingatan Lisbeth, muka Popo selalu masam. Hanya cerah jika cucu-cucunya yang lain datang.
Ketika Popo meninggal, Lisbeth sama sekali tidak menangis. Untuk apa? Dia bahkan tidak pernah merasa dekat dan tidak ada perasaan apa pun. Sebaliknya, ketika Mak Kintan meninggal, Lisbeth menangis berminggu-minggu. Bukan ikatan marga yang membuat hati tertaut, bukan ikatan darah yang membuat kedukaan itu nyata, melainkan ikatan hati, ikatan kenangan yang dibangun bertahun-tahun.
Pesan masuk lagi dari Bryan.
Lisbeth besok datang ke pesta wedding Dinda?
***
Bryan menunggu balasan dari Lisbeth. Wangi sampo Lisbeth dan hangatnya badan Lisbeth lagi-lagi mengganggu benaknya. Sudah dua tahun ia tidak punya pacar, tangannya kini lebih banyak berkutat dengan boba daripada memeluk wanita. Ia lupa seperti apa rasanya ada kulit lembut yang beradu dengan lengannya, ada kepala yang bersandar di dadanya, ada rambut hitam halus yang menggelitik bawah dagunya.
Untung tadi Lisbeth sibuk menangis sehingga tidak sadar bahwa jantung Bryan berdetak dengan kecepatan abnormal.
This is bad. Ia tak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Tidak seharusnya ia jatuh cinta. Apalagi dengan adik Livi. Matanya ia pejamkan erat-erat, tetapi bahkan dalam gelap, wajah Lisbeth terpampang di sana.
***
Hotel JW Marriot
Ballroom Dua Mutiara 1, 2, dan 3 dipenuhi sekitar 2000 tamu. Lisbeth berdecak memperhatikan dekorasi yang supermewah. Tante Lana dan Om Lucky benar-benar habis-habisan untuk pernikahan putri bungsu mereka. Di tengah ruangan, ada panggung dengan grand piano dan orkestra. Dekorasi didominasi warna dusty blue, biru tua, dan perak.
Di panggung, Tante Lana dan besannya menggunakan gaun dusty blue yang dijahit oleh Lisbeth. Hatinya bangga bukan main. Pesta malam ini standing party, tetapi disediakan beberapa meja khusus untuk keluarga dan sahabat dekat. Di meja bundar, duduk orang-orang yang Lisbeth kenal dekat. Acara malam ini lebih terasa seperti reuni. Setelah anak-anak beranjak dewasa dan masing-masing kuliah di luar negeri, mereka jarang berkumpul.
“Lisbeth mau minum? Papi mau ambil minum.” Wim bangkit dari kursinya.
“Tidak. Makasih, Pi.” Lisbeth hanya menggeleng. Ia mengunyah kambing gulingnya dengan perlahan seraya memandang sekeliling. Ia suka datang ke pesta. Mengamati aneka gaun cantik yang berseliweran di sana sini. Ternyata sedang ada acara dansa. Dinda dan suaminya melantai bergerak bersama.
Dengan gesit, Lisbeth mengabadikan foto itu dan mengirimkannya ke Jimmy.
Pengantinnya cantik, ya?
Hatinya sedikit berdebar menemukan tanda Jimmy sedang online. Lisbeth buru-buru berdoa semoga Jimmy cepat menjawab pesannya. Sudah tiga bulan mereka tidak bertemu. Video call pun bisa dihitung dengan sebelah jari tangan. Pekerjaan Jimmy sebagai fotografer membuatnya sering berpindah-pindah lokasi.
Cakepan kamu kok, Yang.
Lisbeth tercenung saat membaca balasan. Seharusnya ia senang dengan pujian langka Jimmy. Namun, kenapa kalimat itu terasa hambar? Ia butuh kekasih yang bisa ada di sampingnya, yang menggenggam tangannya, yang menciumnya. Buru-buru ia mengusir pikirannya. Ini pasti gara-gara ia menyaksikan Dinda dan suaminya sedang berciuman di antara taburan confetti.
Kapan kamu ke Jakarta?
Lisbeth mengirimkan balasannya. Hening. Semenit berlalu, status Jimmy tiba-tiba berubah menjadi offline. Hati Lisbeth seperti dihempas. Pertanyaan Heni kembali berbayang. “Kapan Jimmy diajak ke rumah? Undang Jimmy ke ulang tahun Papi, ya!”
Bagaimana bisa jika baru bicara sebentar, Jimmy sudah menghilang?
“Lisbeth … Papi pergi dulu. Ada masalah di pabrik.” Wim mendadak muncul di depannya.
Lisbeth hanya mengangguk.
“Papi bawa mobil. Nanti Lisbeth sama Mami pesen taksi. Minta panggil di lobi hotel.”
Wim memeluknya, lalu beranjak pergi. Lisbeth kembali menatap pelaminan. Belum sempat pikirannya berkelana, ia merasa seseorang berdiri di depannya.
“Hi, Bryan.” Lisbeth tersenyum melihat Bryan dengan piring berisi puding.
“Kosong?” tanya Bryan ke kursi di sebelah Lisbeth yang tadi ditempati oleh Wim.
“Ya. Papi pulang duluan.”
Lisbeth terbiasa duduk di tengah keramaian sendirian. Biasanya ia melamun atau memperhatikan pakaian-pakaian orang-orang di sekitarnya. Bryan menepuk bahunya. “Piring sudah?” Mata Bryan melirik ke piring Lisbeth yang kosong.
“Sudah.”
“Sini, sekalian dibawa.”
“Ah tidak, Lisbeth saja.” Lisbeth buru-buru berdiri sambil mengambil piring dari tangan Bryan lalu berjalan ke tumpukan piring. Ketika ia kembali, maminya, Tante Mei Hwa dan Bryan sudah bersiap pulang.
“Mami, mau pesan taksi?” tanya Lisbeth sambil menunjuk ke lobi.
“Tidak usah, ini diantar pulang sama Tante Mei Hwa dan Bryan.”
“Om Ah Liong?”
Tante Mei Hwa segera menjawab, “Om lagi pergi sama Benny ke Shang Hai. Malam ini pulang.”
Lisbeth sudah tidak terlalu canggung ketika berada dekat Bryan. Memang kejadian kemarin membuatnya sedikit malu, tetapi Bryan sepertinya biasa saja. Bryan enak diajak bicara. Ketika Lisbeth menunggu pesan Jimmy malam hari, seperti kemarin, yang sering terjadi justru ia berbalas pesan dengan Bryan.
Hanya saja, Lisbeth suka bingung, kenapa Bryan suka memandangnya dengan tatapan aneh. Seperti kemarin, setelah ia minta maaf karena membuat kemeja Bryan basah, pria itu hanya melihatnya dengan tatapan yang tidak biasa. Ia tidak pernah melihat orang lain menatapnya seperti itu. Ketika Lisbeth bertanya ada apa, apakah ada tisu yang menempel di wajahnya, wajah Bryan tiba-tiba memerah seperti tomat. Lucu sekali.
***
Setelah Bryan menerima kunci dari valet parking, ia membukakan pintu penumpang BMW Series 5 miliknya dan mempersilakan Heni masuk.
“Lisbeth di depan saja, Tante mau tunjukin foto sama Mami kamu.” Mei Hwa membukakan pintu depan dan mendorong Lisbeth masuk.
“AC-nya terlalu dingin enggak?” tanya Bryan.
Lisbeth hanya mematung. Matanya sibuk melihat ke depan.
“Lisbeth?” Bryan melambaikan tangan berusaha menarik perhatian Lisbeth tanpa harus menyentuh Lisbeth.
“Bryan, kalau malam di mobil, kan gelap, Lisbeth agak susah baca bibir, harus dicolek.” Tante Heni menerangkan dari belakang.
“Ooo gitu.” Bryan melirik tante Heni lewat kaca spion. Ada banyak hal yang terlihat sederhana seperti mengobrol sambil menyetir yang ternyata mustahil dilakukan dengan Lisbeth. Ia juga teringat ketika Lisbeth menceritakan bahwa ia selalu grogi jika berbicara dengan orang berkumis tebal.“Kumis tebal, bibir tidak kelihatan,” terang Lisbeth. Ia lalu menaruh jari telunjuknya yang ramping di atas bibirnya seolah itu kumis tebal. “Papa … Mama. Susah, kan?”
Senyum kecut muncul di bibir Bryan. Ia bisa membedakan kata Papa dan Mama dengan gampang. “Pakai ABD (alat bantu dengar) apakah membantu?” Bryan selalu penasaran mengapa Lisbeth tidak suka memakai hearing aid. Semestinya itu membantu, kan?
Lisbeth memutar bola matanya, gerakan sederhana yang membuat jantung Bryan selalu berdebar.
“Tidak. ABD hanya membantu aku tahu ada suara atau tidak, tapi aku tidak tahu itu suara apa.”
Bryan mengernyit. Maksudnya apa?
Seolah-olah bisa membaca pikiran Bryan, Lisbeth menjelaskan, “Orang Tuli banyak macam. Aku Tuli berat. Tidak bisa mendengar apa-apa tanpa ABD, hanya suara pesawat terbang. Nala hard of hearing, telinga kiri Nala kalau memakai ABD bisa mendengar sedikit, ABD hanya memperbesar volume, tapi tetap tidak jelas.”
Lisbeth menjelaskan bahwa mendengarkan dengan ABD tanpa belajar wicara seperti mendengar suara orang berbicara dalam bahasa Norwegia. Ada suara tanpa makna. Bryan mendapat kesempatan untuk menguak sedikit tabir dalam dunia yang ingin ia ketahui. Lisbeth lanjut bercerita bagaimana ia sering membanting ABD-nya ketika ia masih kecil. Ia tidak suka memakai ABD, karena ada macam-macam suara bising di telinganya, tanpa ia paham itu suara apa.
“Seram,” kata Lisbeth. “Suara banyak, aku tak tahu itu apa. Liona juga susah disuruh pakai ABD.” Lisbeth tertawa kecil. “Tangan Mami suka digigit Liona ketika mencoba memasang ABD.”
Wajah Lisbeth tiba-tiba berubah. “Banyak orang dengar berpikir kami nakal karena tidak mau memakai ABD. Waktu kecil, aku bingung bagaimana bercerita. ABD membuat kepala pusing. Sekarang, aku, Liona, suka bercerita kepada Bu Euis. Bu Euis minta maaf. Di sekolah, aku tak mau anak dipaksa memakai ABD seperti aku dulu.”
“Tapi sekarang kamu pakai?” tanya Bryan.
“Kadang-kadang. Liona pakai kalau dia menyetir. Di Sydney, kalau nyetir aku juga pakai. Di Jakarta, aku malas menyetir,” cengir Lisbeth. “Jadi aku jarang pakai. Aku lebih suka membaca bibir.”
“Susah tidak membaca bibir?”
“Sulit. Beberapa kata mirip. Papa Mama. Paman Taman. Aku harus pandai bermain detektif.” Tiba-tiba mata Lisbeth berkilat jenaka. “Sambil membaca sambil menebak. Maksud orang apa. Aku belajar macam-macam senyum.”
Mata Bryan melebar. “Maksudnya?”
“Orang senyum terpaksa, ujung mata tidak ikut naik.” Lisbeth lalu memperagakan mulut senyum, tetapi dengan mata datar. “Orang tulus.” Lisbeth tersenyum lagi dengan ujung matanya ikut bergerak naik. Bryan selalu kehabisan kata ketika Lisbeth tersenyum, padahal ia sedang menceritakan kesulitan yang ia alami.
Mendadak, Lisbeth menatapnya lekat-lekat seolah-olah ingin berbagi rahasia. Bryan refleks mencondongkan dirinya ke arah Lisbeth. Jarak mereka begitu dekat hingga Bryan mencium wangi lavender dari tubuh Lisbeth.
“Aku ingin orang dengar tahu, dengan anak Tuli tidak perlu berteriak. Orang berteriak bentuk mulut tidak jelas. Sulit membaca bibir.”
Sebuah perasaan tak dikenal muncul di hatinya. Ia ingin menggenggam tangan itu untuk meyakinkan bahwa Lisbeth akan baik-baik saja.
“Bryan … sakit perut?” tanya Lisbeth tiba-tiba.
“Ha?”
Lisbeth tertawa terbahak-bahak. “Muka Bryan lucu sekali.” Tawa Lisbeth selalu menular. Pertanyaan yang sama muncul, bagaimana Lisbeth tetap bisa tertawa, tetap bisa bercanda, dan membuat Bryan lupa akan deritanya.
***
[1] kǔ dà chóu shēn: kebencian yang mendalam.
[2] Cucu dalam adalah dari cucu anak laki-laki. Dianggap sebagai orang dalam 内人 nei ren karena semarga. Cucu dari anak perempuan disebut sebagai cucu luar, 外人 wai ren karena mengikuti marga ayah mereka.