Apa ketakutan terbesarmu? Tiap orang punya ketakutan berbeda, ada ketakutan yang bagi orang lain juga menakutkan, tetapi ada ketakutan yang dianggap sepele. Kalau Lisbeth, ia takut dimarahi.
Lisbeth menatap mobil Bryan membaur dengan mobil-mobil lain. Hatinya lega bukan kepalang. Ia tidak dimarahi hari ini. Ia sedikit panik mendapati rahang Bryan menegang, setengah hatinya sudah bersiap mendengar omelan. Ketika ia bertanya apakah Bryan marah, tiba-tiba mata pria itu berubah. Pupilnya membesar, bibirnya bergetar lalu ada bayang kesedihan di sana. Sesuatu di mata Bryan membuat Lisbeth iba. Buru-buru Lisbeth menggelengkan kepalanya, untuk apa iba kepada cowok dengar?
Ia bersandar di kursi dan menenggak habis segelas air. Harinya usai. Beban berat terlepas dari punggungnya. Setiap pagi, ia bertanya, akankah ada pelanggan yang mengomel hari ini? Lisbeth, harus semangat!
Lisbeth berpikir untuk membuat koleksi baru untuk seri Mother of the Bride. Ia membolak-balik majalah Fashion mencari inspirasi. Sepertinya tahun ini ada banyak yang memakai baju Dusty Blue, biru muda lembut. Lisbeth mulai membayangkan payet-payet, kristal transparan, atau mungkin lebih bagus dengan mutiara? Lisbeth memainkan pensilnya. Ia baru membuka buku sketsa ketika ponsel Lisbeth berpendar. Panggilan video call dari Livi.
“Lisbeth!” Livi melambaikan tangan. “Minggu depan open house, undangan sudah dibagi?”
Lisbeth mengangguk dan memberi tanda jempol.
“Ada masalah?” tanya Livi.
Masalah? Tidak, hanya ditolak satpam sekali, ditolak sekretaris dua kali, dikejar anjing Doberman sekali. Lisbeth mendongkol dalam hatinya.
“Pak Dicky janji akan datang. Ibu Susi juga.” Lisbeth hanya melaporkan berita baik dan menelan pengalaman buruknya.
Livi menghela napas lega. Wajahnya yang tegang mulai tampak santai.
“Bagaimana butik? Lihat dong!” pinta Livi.. Dengan gembira, Lisbeth bangkit dan menunjukkan seisi butiknya kepada Livi.
“Nala gimana?” tanya Livi setelah puas menyaksikan butik Lisbeth.
Lisbeth terdiam sejenak sebelum ia mengangkat bahunya.
“Masih nangis?”
“Ya,” jawab Lisbeth pendek. Sesaat, keduanya terdiam.
“Suaminya?” tanya Livi hati-hati. Lisbeth menghela napas panjang. Wajahnya cemberut dan ia lagi-lagi mengedikkan bahunya.
“Tak ada kabar. Cowok dengar semua begitu!”
Giliran Livi yang menarik napas. “Tidak semua cowok—”
Lisbeth mengangkat tangannya memberi isyarat supaya Livi berhenti, “Aku benci cowok dengar. Cici tahu.”
Mata Livi dan Lisbeth bertemu, Livi membuka mulut. Lisbeth berpikir Livi akan menceramahinya, tetapi yang muncul malah sebuah senyuman. Tangan Livi bergerak. Lisbeth -ada – Jimmy.
Tanpa komando, bibirnya yang tadi cemberut sekarang tersenyum. Jika Livi di hadapannya, ia pasti sudah menggelitik pinggang Livi hingga keduanya terkikik atau tenggelam dalam perang bantal. Lisbeth meraih Bibi dan memeluknya.
***
Pukul 9 pagi, Bryan baru tiba di Bubbly Tea yang terletak di sebuah ruko di pinggir jalan besar. Ada delapan meja di lantai bawah dan ada lebih banyak meja lagi di lantai dua. Pemandangan lantai dua lebih menjual karena menghadap langsung ke danau buatan dengan pepohonan hijau di sekelilingnya.
“Jeli mangga perlu dibikin lagi, Yu,” perintah Bryan setelah memeriksa persediaan aneka jeli.
Ayu yang sedang sibuk mengaduk bulatan-bulatan hitam boba mengangguk. “Siap, Koh Bos. Rusdi, esnya mana?” Ayu memanggil Rusdi yang baru mulai memasang celemeknya.
Bekerja di F&B, Bryan harus datang 2 jam sebelum kafe buka dan baru pulang 2 jam setelah tutup.
“Koh Bos, dicari Pak Dimas,” panggil Rusdi dari balik kasir.
Bryan keluar dapur dan menemukan Dimas dengan senyum pepsodent-nya berdiri di counter.
“Tumben pagi ke sini, Bro?” sapa Bryan sambil mengelap tangannya ke celemek cokelat yang ia pakai.
“Mantan-mantan lo bisa ketawa ngakak lihat lo pakai celemek,” gelak Dimas.
“Sialan lo!” Muka Bryan memerah.
“Kemarin gue dinner sama Johnny.” Dimas menyebutkan nama pemegang franchise pusat Bubbly Tea di Indonesia. Bryan mengernyitkan kening. Sepertinya ini hal penting. “Dia lihat foto lo bareng sama Lisbeth. Ngobrol punya ngobrol, kita jadi ada ide untuk bikin inclusive cafe. Kita pekerjakan anak Tuli di sini.”
Mulut Bryan mengganga. “Lo gila!”
“Sekarang lagi ngetren, Bro. Johnny suka banget, dia setuju kalau kafe kita dijadiin percobaan.”
“Tren, mbah lo!” Bryan bangkit dan meninggalkan Dimas. Inclusive cafe? Barista Tuli? Over my dead body! Ia berusaha mati-matian supaya rating bagus, pelayanan cepat, hingga tak jarang ia turun tangan menjadi barista supaya mereka cepat break even dan ia bisa memamerkan keberhasilannya. Sinting! Ia tidak menghiraukan ocehan Dimas tentang bagaimana ini bisa jadi strategi yang bagus blah blah blah.
Bagi Dimas, Bubbly Tea hanya satu di antara banyak usaha yang ia pegang. Kalau rugi, tinggal tutup dan ia bisa meloncat ke usaha lainnya. Dimas punya banyak backup plan. Namun, Bryan tak punya yang lain.
“Kalau lo nggak setuju, gue bisa tolak, sih. Palingan entar Ko Benny yang tanya. Kenapa—”
“Ngapain lo bawa-bawa engko gue?” geram Bryan.
“Kemaren ada Ko Benny juga. Lo tahu kan, mereka buddies from Stanford? Enggak rencana ketemu. Papasan trus jadi happy hour.” Dimas memasang senyum lebar tanpa ada rasa bersalah. Bryan ingin meninju tembok.
“Enggak susah. Kita cari 1-2 pegawai yang Tuli, kita latih, kita pasang iklan bahwa kafe kita ramah terhadap disabilitas. Nanti detailnya tim marketing yang pikirin. Tugas lo cuma ngelatih sama ngawasin aja.”
“Saja?” Bryan melirik kompor tempat ia biasa merebus boba dan berpikir bagaimana jika ia memukul kepala Dimas dengan panci 10 L supaya ia sadar idenya gila.
Dimas mengeluarkan undangan dari saku kemejanya. “Sabtu besok kebetulan ada open house Yayasan Sahabat Tuli di Sentul. Lo dateng gih.”
Bryan mengambil bungkusan besar berisi black tea, menuangkannya ke dalam mesin pembuat teh. Ia lalu mengeluarkan beberapa botol sirop dan menatanya di tempat yang seharusnya tanpa memedulikan Dimas sedikit pun. Ia lebih baik berdiri di kasir selama 2 sif 2 bulan berturut-turut daripada bertemu dengan Lisbeth lagi.
“Bro, Sabtu jam 10, ya,” kejar Dimas pantang menyerah.
Bryan membisu, sibuk menuang oolong tea.
“Gue ada meeting wedding adik gue, yang kemarin gaun nyokap loe ambil,” kata Dimas seolah-olah ia sibuk dengan tugas maha penting. Menyadari Bryan terang-terangan tidak memedulikannya, Dimas bersandar ke meja kasir dan dengan nada serius menjelaskan. “Soal Yayasan. Lo tahu, sejak … you know … you know who ….”
“Sejak Livi married dan pindah ke Singapur. Apa susahnya sih lo nyebut nama Livi? Lo kira gue anak SMA?” Bryan mengambil susu dan membanting pintu kulkas.
“Well, buktinya tiap kali ada yang berhubungan sama Livi, lo langsung sewot, Bro!” cengir Dimas. “Sejak Livi pindah, Lisbeth yang pegang. Nissa khawatir. Karena lo tahu … Lisbeth—”
“Tuli,” potong Bryan ketus. “Kalau Anissa yang khawatir, suruh dia yang pergi!” Bryan membesarkan volume musik, lagu We are Bulletproof BTS memenuhi ruangan.
“Lisbeth koneksinya enggak sekenceng Livi. Cari sponsor lebih susah. Anissa maunya pergi. But her pregnancy really made her tired.”
“Tired tapi bisa jalan-jalan ke Santorini.”
Tanpa menghiraukan nada Bryan yang makin sinis, Dimas memaparkan rencananya, “Sabtu lo ke Sentul, datang open house sekalian ngomongin teknis buat cari 1-2 barista buat outlet kita, deal?”
“Selamat pagi, selamat datang di Bubbly Tea!” Suara riang Ayu terdengar menyambut dua orang yang masuk. Bryan segera memberi kode supaya Rusdi bersiap di kasir. Ia melirik ke arah pintu, 3 orang gadis muda masuk dan tampak kegirangan melihat ada Bryan di situ. Bryan menghela napas, rencana Dimas membuatnya hampir gila!
“Alamatnya gue kirim, Bro. Gue cabut dulu ya, mau antar The Queen ke dokter kandungan,” pamit Dimas. Bryan pura-pura tak mendengar kalimat terakhir Dimas. Ia mencopot celemeknya lalu dengan langkah panjang menaiki tangga.
Cewek bawa sial! Ia mencoba menghilangkan bayangan Lisbeth dari pikirannya Namun, wajah Lisbeth justru berubah menjadi wajah gadis kecil dengan pipi seperti bakpao putih. Sepertinya tak seorang pun ingat kejadian itu. Tentu saja tak ada yang ingat, karena Bryan korbannya, bukan yang lain.