Januari 2013, tiga tahun kemudian ….
John memandangi foto Ah Lung. Entah sudah beratus atau beribu kali ia duduk di tempat ini dan menatap pigura di dinding itu.
“Babe, tolong pasangin donk.”
Permintaan Martha membangunkan John dari lamunannya.
John segera berdiri, menerima kalung dari Martha dan mengaitkannya di belakang leher Martha.
“Loh, kalung yang dikasih Mami minggu lalu kok ga dipake, Babe?”
“Duh, berat itu, Babe. Lagian masak kalung itu dipake sembarangan? Ini juga bagus, ‘kan?”
John memutar badan Martha lalu memindai penampilannya, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rambut panjang Martha sudah ditata menjadi sanggul gantung. Wajahnya dirias dengan polesan lembut. Kebaya peach dan rok batik membalut anggun tubuh Martha.
“Cantik,” puji John sambil mengusap lengan Martha.
Selama hampir tiga tahun ini, John merasa dirinya laki-laki paling beruntung. Ia menyaksikan sendiri Martha menyelesaikan studi dengan hasil yang amat baik, kemudian memperoleh pekerjaan dan membangun karier. His perfect girlfriend sudah tiada, berganti menjadi partner yang cakap dalam hidupnya.
“Kok, kayaknya tahu liontin ini?” John mengernyit melihat bentuk jantung hati dengan berlian kecil manis yang tergantung tepat di bawah tulang selangka Martha. “Hadiah dari cowok mana, Babe?”
Martha mencubit pinggang John, “Dari cowok paling mbencekno (nyebelin) sedunia.”
Sembari berusaha memegang tangan Martha, John terkekeh. Dan ketika berhasil menghentikan serangan itu, John memeluk pinggang Martha dari samping.
“Are you happy?”
Martha setengah mendongak menatap John, dan menjawab, “Very. Enggak nyangka juga Mas Bayu jadinya sama temen seangkatanmu ya, John. What a small world.”
“Waktu kuliah dulu, aku udah curiga Bayu tuh suka sama si Vera. Tapi sampe dia lulus, enggak ada lanjutannya. Emang kalo jodoh itu bakal ketemu lagi ya.”
Martha mengangguk. Sejak semua rahasia keluarganya terbongkar, Lingga dan Lanny sering mengundang Bayu dan Ida hadir dalam acara keluarga. Kerja sama pengembangan bisnis dengan Ming juga membuat Bayu sering bertandang ke Surabaya.
Tingginya frekuensi kunjungan ke Surabaya, membuat Bayu terhubung kembali dengan teman-teman lamanya. Dan ketika perempuan pujaan itu muncul lagi dalam hidupnya, Bayu dengan yakin melepaskan statusnya sebagai secret admirer.
Martha tersenyum mengingat percakapan mereka kala itu, sepulang dari air terjun.
“Siapa juga yang mau pacaran sama orang kayak aku?”
“Orang kayak Mas Bayu? Yang ganteng, pekerja keras, sayang orang tua. Banyaklah, Mas, yang cari pacar kayak gitu.”
Sejenak Martha melirik pada foto papanya. Siapa sangka, sejak kematian Ah Lung, mereka telah mengalami getir dan manisnya hidup. Duka dan kehilangan telah digantikan dengan datangnya banyak hal baik bagi masing-masing anggota keluarga.
Martha menyandarkan kepalanya ke bahu John. “I’m happy seeing him happy.”
John mengeratkan pelukannya, tanda menyetujui pernyataan Martha.
Deham keras Ming menarik perhatian mereka berdua, membuat pelukan John terurai.
“Pagi-pagi udah berduaan aja. Belum bener-bener resmi jangan deket-deket. Gak baik!” tegur Ming sembari menuruni tangga, ia melirik tajam pada John dan Martha. “Nih, nitip Caleb bentar,” Ming menyodorkan anak laki-lakinya yang berusia 2 tahun pada Martha.
“Aku aja yang gendong, Ko,” John menjawab sigap. Ia mengulurkan tangan pada Caleb, “Sini ikut Suksuk.”
“Kuchang*! Udah bukan Suksuk lagi,” koreksi Ming. (Kuchang = suami Kuku)
“Eh, iya, belum biasa, Ko.” John menyeringai.
Pintu kamar Lingga terbuka, tiga perempuan keluar berurutan. Lanny dan Lingga mengenakan kebaya merah, sedangkan Santi mengenakan kebaya peach yang identik dengan milik Martha. Semua dipadankan dengan bawahan batik yang sama.
“Semua sudah siap?” Lanny bertanya sembari menginspeksi penampilan para keponakannya. Ia tersenyum melihat mereka sekeluarga tampil selaras, termasuk Ming, John, dan si kecil Caleb yang mengenakan batik lengan panjang dengan motif yang sama dengan bawahan para perempuan.
“Ngapain pagi-pagi udah berangkat, Ku? ‘Kan acaranya jam 10?” Ming bertanya penasaran, sembari mengancingkan lengan batiknya.
“Kita ‘kan bukan tamu, Ming. Keluarga yang punya gawe ya harus siap dari pagi. Kayak ndak pernah jadi manten aja lu,” jawab Lanny.
“Bayu bilang acara di gereja memang jam 10, tapi ada prosesi temu manten. Kita mesti ada di hotel jam 7. Pas kalo sekarang kita berangkat,” imbuh Lingga.
Ming mengangguk. Kemudian ia sibuk bicara dengan Santi. Sementara itu, Lanny dan Lingga masih asyik berdiskusi.
“Bulan depan, giliran kita,” bisik John sambil mengerling pada Martha.
“Don’t remind me. Udah pusing ngurusin hal kecil-kecil. Bayangin hampir tiap hari aku ke Pasar Atom, Babe,” keluh Martha memutar bola matanya, sembari mencubit ringan pinggang John. “Hari ini, kita fokus sama acara Mas Bayu aja ya.”
“Oh, I will definitely remind you. I’m really looking forward for that day. Caleb juga ga sabar ‘kan, ya?” John menggoda Caleb yang menarik-narik kerah kemejanya.
Martha tersenyum menatap John yang dengan gembira bermain dengan Caleb yang ada di gendongannya.
Seakan belum cukup dimanjakan, sepanjang hari itu Martha menyaksikan sendiri berbagai peristiwa yang menghangatkan hatinya. Ida yang dengan bangga memakaikan jas pengantin pada Bayu. Lanny dan Lingga yang semringah menerima cangkir teh dari mempelai saat upacara teapai.
Tak ada mata yang kering ketika upacara pemberkatan dilaksanakan. Tiga perempuan berkebaya merah yang duduk di barisan terdepan sibuk mengusap mata. Ketika Bayu mengucapkan janji nikahnya, Lanny dengan sigap menyodorkan tisu pada Ida.
Santi sibuk menepuk-nepuk lengan Ming. Sejak pagi Martha melihat Ming begitu gugup, padahal sang mempelai pria terlihat tenang-tenang saja. Sementara itu, tangan John terus menggenggam tangannya, seakan ada dua kutub magnet yang tarik-menarik dengan sangat kuat.
“John, Papa pasti seneng ya kalo lihat kita semua hari ini?” bisik Martha.
“Without doubt, Babe. He must be smiling from up there,” John meremas tangannya.
Martha menutup lembaran buklet susunan acara pemberkatan yang dipegangnya, dan menemukan kata-kata mutiara yang tercetak di sampul belakang. Ia tersenyum dan membacanya dalam hati.
“Give the ones you love wings to fly, roots to come back, and reasons to stay.” -Dalai Lama.