Judul ini bukan mengada-ada. Saya paling suka nge-date dengan anak sulung saya, Yonatan. Sejak dulu saya suka menghabiskan waktu dengan anak sulung saya. Saya sering mengajaknya jalan-jalan ke Kidz Fun, mini market atau bahkan hanya jalan-jalan di kolam pancing dekat rumah saya.
Rasanya baru kemarin saya memancing bersama si sulung. Tempat pemancingan itu bisa kami datangi dengan berjalan kaki sekalian olahraga. Kadang dia ajak teman-teman sebayanya. Saya ingat benar bagaimana kami memancing ikan yang mirip sekali dengan piranha, menggoreng dan makan bersama-sama. Hanya dengan lauk sambal, kami bisa menghabiskan nasi hangat mengepul yang disiapkan istri.
Tidur Pun Bersama Saya
Begitu dekatnya saya dengan anak sulung saya sehingga tidur pun bersama saya. Ada cerita sedih di baliknya. Waktu Yona—kami panggil dia demikian—lahir, istri saya yang tidak punya pengalaman melahirkan (emangnya siapa yang punya, karena Yona anak sulung? He, he, he), dia tidak tahu cara menyusui dengan baik. Dia neteki (Jawa = menyusui) Yona hanya dengan bagian sebelah payudaranya. Payudara yang lain dibiarkan menganggur. “Nggakenak kalau posisinya digeser ke situ,” ujar Susan.
Akibatnya sungguh fatal. Tidak lama kemudian payudara istri saya bengkak dengan rasa sakit “sampai ke kepala,” ujarnya. Saya bawa ke rumah sakit. Dokter langsung meminta istri saya diinsisi untuk mengeluarkan nanah di dalamnya. “Sakitnya luar biasa,” sambat (Jawa = mengeluh) istri saya.
Karena itu, istri saya berhenti menyusui. Anak sulung saya kami besarkan dengan susu formula. Agar tidak mengganggu kesembuhan Susan pasca operasi, Yona kecil tidur bersama saya. Saya belajar cara membersihkan kotoran, bahkan memandikannya. Jadinya keterusan sampai lumayan besar.
Saya menikmati kebersamaan dengan Yona dalam waktu panjang karena kelahiran adiknya terjadi delapan tahun kemudian. Sampai sekarang, hubungan saya dengan Yona begitu dekat. Dia lebih bisa curhat ke saya ketimbang kepada mamanya.
Justru karena kebersamaan itulah yang membuat saya tidak bisa menahan air mata saat dia harus kuliah di luar negeri. Saat membantu mempersiapkan kopornya, diam-diam saya menangis. Saya sendiri yang antar dia ke Mellbourne. Istri jaga si kecil. Di sana saya antar ke ‘ibu kost’ yang hanya menerima dua anak termasuk Yona. Anak lain itu dari Brasil. Setelah berkenalan dengan Mrs. Ann, single mother keturunan Italia, saya antar Yona ke train station terdekat. Saya ajari dia cara membeli tiket di Vending Machine, memilih rute dan hal-hal lain yang diperlukan untuk hidup di negeri orang.
Setelah saya temani seminggu, saya kembali ke Surabaya. Air mata saya kembali tumpah saat dia memeluk saya dengan erat. Saya tidak tega melepaskannya sendirian di kota terbesar kedua di Australia ini. Saat membayangkan peristiwa itu, bahkan saat mengetik tulisan ini, air mata saya masih menggenang.
Kebersamaan Bersama Si Bungsu
Berbeda dengan kakaknya, si bungsu lebih dekat dengan mamanya. Apalagi di saat Yosafat masih kecil, saya sering sekali bertugas keluar negeri. Saya sempat kehilangan waktu-waktu kebersamaan bersama Yosa—demikian dia biasa saya panggil. Untuk ‘menebus’ waktu yang hilang, setiap kali saya kembali ke Indonesia—waktu itu saya masih di Jogja—saya selalu menyempatkannya mengajaknya membeli ice cream, main kuda-kudaan di mini market dekat rumah, mencari keong emas di sawah, membakar daun kering dengan suryakanta dan sebagainya.