Sentul
Hamparan sayur-sayur hidroponik yang siap dipanen menyambut Wim. Mata tajam Wim terasa sejuk memandang daun-daun hijau menari ditiup angin. Sudah lama ia tidak berkunjung ke YST. Pelan-pelan, ia menghirup udara segar yang jarang ia hirup di tengah polusi Jakarta.
Dari kejauhan, Wim menatap Nala sedang menggendong Kintan, bermain di bawah mentari. Tawa Nala justru membuat Wim merasa ngilu. Semestinya ketika pria itu datang melamar, Wim bicara lebih keras, bertanya lebih banyak. Instingnya sudah mengatakan ia bukan pria baik-baik. Pria itu berusaha menyakinkan Wim bahwa orang tuanya tidak masalah kalau Nala Tuli. Bukankah banyak yang seperti itu? Semua awalnya selalu manis. Selalu setuju. Namun, nanti ketika masalah mulai muncul … apakah sikap itu masih sama?
Ia sering bertemu dengan orang seperti ini, dāng miàn shì rén bèi hòu shi gui[2]. Di depan baik, di belakang seperti setan.
Wim mencoba bicara dengan Nala, tetapi Nala bersikeras ingin menikah. Dengan berat hati, Wim memberi restu. Di hari pernikahan, Wim menjabat tangan pria itu dan berkata, “Om titip Nala. Jaga Nala baik-baik.”
Ketika Lisbeth mengatakan Nala datang ke Sentul sambil membawa bayinya, Wim geran. Ia benci ketika firasatnya benar. Diam-diam, Wim berharap suami Nala memang pria baik-baik. Namun, ia sadar memang tak mudah menerima anak Tuli. Dahulu, ia pun hampir terjerumus ke lubang yang sama, jika bukan karena mertuanya, Mak Kintan.
Wim awalnya tak sadar ada yang salah dengan Heni sejak kelahiran Liona dan mendapat diagnosis dokter bahwa Liona juga Tuli.
Ketika Lisbeth lahir, mereka sama sekali tak menduga. Paras Lisbeth cantik dan manis. Ia pun jarang menangis membuat semua orang memujinya sebagai anak baik. Jika ditaruh, Lisbeth asyik bermain sendiri tanpa rewel. Hingga berusia 1 tahun, Lisbeth tetap pendiam. Mereka lagi-lagi berpikir ia anak yang tidak merepotkan. Ia pandai berjalan dan berlari, tetapi tetap belum bisa bicara. Wim baru menduga ada yang salah ketika hampir 15 bulan Lisbeth masih tidak bicara sama sekali. Diagnosis dokter spesialis THT membawa mimpi buruk bagi mereka. Tuli berat. Profoundly Deaf. Tak ada yang mengira maupun menyangka.
Wim dan Heni butuh waktu untuk menerima kenyataan bahwa Lisbeth Tuli. Dokter demi dokter, sinshe, hingga tukang pijat pun mereka datangi. Hasilnya sia-sia. Saat itu, Heni kerap menangis dan Wim selalu menghiburnya.
Takdir membawa mereka berkunjung ke SLB B tempat Lisbeth akhirnya bersekolah. Kepala sekolah SLB tersebut, seorang Romo Katolik dengan tegas dan jelas menyatakan tak ada yang salah dengan Lisbeth. Lisbeth hanya membutuhkan orang tua yang menerimanya dan memberinya pendidikan. Kala itu, Lisbeth sudah hampir 3 tahun, ia duduk manis sambil tersenyum di ruang Kepala Sekolah. Wim masih ingat baju yang Lisbeth pakai, baju berenda berwarna kuning dengan pita senada. Matanya yang bulat mengikuti percakapan orang dewasa seolah-olah ia mengerti apa yang mereka perbincangkan.
“Bapak Ibu Wimharja harus menerima Lisbeth apa adanya. Tak perlu membawa dia ke sinshe ini dan itu. Lisbeth seumpama mutiara yang sedang dibentuk, nanti hasilnya pasti cantik,” ujar Romo. Kalimat yang Wim pegang erat-erat. Ia mendaftarkan Lisbeth bersekolah di situ dan mencurahkan seluruh perhatiannya kepada bisnisnya. Ia bertekad lebih keras lagi untuk sukses. Otak bisnis Wim berputar. Jika anak bukan Tuli, butuh 2 miliar untuk sukses. Lisbeth pasti butuh lebih. Itu tanggung jawabnya untuk memberi Lisbeth kesempatan, kesempatan menjadi mutiara.
Liona dideteksi lebih cepat. Ketika ia sama pendiamnya di usia 6 bulan, Wim langsung membawanya ke dokter THT dan meminta tes. Dugaannya tepat, Liona juga Tuli. Otak bisnis Wim kembali berputar, kini ada 2 anak Tuli yang perlu ia biayai. Buat Wim, kelahiran Liona lebih mudah, karena jalannya sudah ketemu. Liona hanya perlu mengikuti jejak Lisbeth. Karena Wim bisa menerima, Wim pikir Heni juga biasa-biasa saja.
Hingga suatu sore ketika ia menjemput Heni dan anak-anak, Mak Kintan memanggilnya untuk bicara. Ia masih ingat ruangan kecil tempat Mak Kintan melakukan semua pembukuan. Ia menebak mertuanya ingin bicara soal bisnis. Ternyata bukan.
“Wim, Mama mengizinkan kamu menikah dengan Heni, bukan supaya Heni nangis-nangis terus seperti ini,” ujar Mak Kintan tajam.
“Maksud Mama?”
“Heni itu bukan anak yang suka ngadu. Waktu mau menikah sama kamu, Mama sudah pesan, tidak boleh dikit-dikit ngadu sama Mama. Sudah menikah, harus hadapi semua risiko. Mertua galak itu biasa. Jia jia you yi ben nan nian de jing. Tiap keluarga punya boroknya sendiri. Makanya Mama bilang enggak boleh jiā chǒu bù kě wài yáng,[3] borok keluarga tidak boleh tersiar keluar. Tapi sejak Liona lahir, mata Heni suka bengkak. Kerja enggak konsen. Mama tanya, selalu bilang semua baik-baik. Mama itu yang mengandung Heni. Enggak mungkin Mama enggak bisa lihat kalau Heni bohong!” kata Mak Kintan.
Wim terdiam.
“Apa pantas laki-laki tidak tahu apa yang terjadi di dalam rumahnya sendiri?” potong Mak Kintan dengan suara tajam.
“Wim … kalau mama kamu enggak mau terima Liona dan Lisbeth, enggak perlu hina-hina Heni seperti itu. Sembilan bulan Mama mengandung Heni, susah payah banting tulang untuk membesarkan Heni, bukan untuk dihina sama mama kamu, tahu? Lebih baik miskin daripada menanggung malu dihina mama kamu.”
Wim mengerti sudah permasalahannya. Heni tidak pernah cerita kepadanya. Ia bukannya tidak tahu kadang Heni menangis malam-malam. Namun, ia tidak tahu situasinya separah itu.
“Lalu, mengapa hanya Heni yang salah? Lima puluh persen juga dari kamu toh? Kenapa hanya perempuan yang disalahkan? Kamu bisa jamin di keluargamu tak ada yang Tuli? Tak ada pincang? Tak ada yang buta? Tak ada yang bisu, ha? Enggak masuk akal!” Suara Mak Kintan melengking lebih tinggi.
“Kenapa anak yang dilahirkan baik pintar cerdas, itu ikut papanya. Namun, jika ada masalah maka itu pasti salah mamanya. Logika dari mana itu?” sembur Mak Kintan lagi.
“Kalau Wim tidak bisa atau tidak mau lagi sama Heni, Mama jemput Heni sekarang.” Suara Mak Kintan meninggi. Ia menunjuk bon-bon di mejanya. “Mama masih kuat biayain Heni sama cucu-cucu Mama! Toko rame. Mama masih punya kios juga di Tanah Abang. Jangan kau anggap remeh Mama. Daripada harga diri Heni diinjak oleh mamamu, lebih terhormat Heni jadi janda.”
“Bukan begitu, Ma ….”
“Pikir baik-baik! Sampai Mama lihat Heni dihina lagi, kapan pun Mama siap jemput Heni dan cucu-cucu Mama!”
“Saya masih mau sama Heni, Ma ….” Wajah Wim pucat menyadari mertuanya tidak main-main.
“Kamu bereskan kalau begitu!” Mak Kintan memalingkan muka. Wim sekilas melihat ada air mata di situ.
“Ya, Ma. Saya permisi.” Wim bangkit dan berjalan ke luar.
“Wim.” Suara Mak Kintan kembali naik, “laki-laki yang tidak bisa menghargai istri … yang dipilihnya sendiri… bukan laki laki. Potong saja burungmu!” seru Mak Kintan geram.
***