Vina memandang Bryan dengan antusias. “Tanyain apa?”

“Tanyain … keberatan enggak kalo dia punya laki enggak lulus kuliah.”

Suasana hening seketika. Bryan sadar fakta bahwa ia sama sekali tak pernah lulus kuliah itu memalukan bagi orang tuanya. A is for Asian, there’s no B-sian. Itu kata meme yang bertebaran di Internet. Sayangnya Bryan tak pernah tertawa. Dirinya bahkan tak pernah mendapat B. Berbeda dengan Benny yang selalu A. Benny sang anak teladan, Bryan si tukang bawa sial.

“Enggak perlu tanya! Sekarang mah yang penting cowok itu bisa cuan lui, cari duit,” protes Mei Hwa.

“Ma, kalo Aso enggak tanya, terus dia tahu belakangan, kasihan Aso disalahin. Mendingan ngomong di awal. Kalo dia keberatan, ya enggak usah ketemu,” jawab Bryan santai. Ia asyik makan burung dara porsi kedua. Vina memandang mertuanya, mencari jawaban.

“Tanyain,” pungkas Ah Liong.

Vina buru-buru mengirim pesan.

“Kalau sampai dia enggak masalah, awas kalau kamu enggak mau ketemu,” ancam Ah Liong. Untuk kali pertama sejak Bryan masuk, Ah Liong memandangnya dengan mata sipit yang penuh amarah.

“Ya,” jawab Bryan singkat.

Muka Vina cerah ketika membaca pesan yang masuk. “Katanya enggak apa apa. Zaman sekarang ijazah tidak penting. Yang penting bisa kerja.”

Mei Hwa mengembuskan napas lega. “Wah, lihai, pintar anaknya,” puji Mei Hwa semringah.

“Mintain nomornya. Bryan ajakin ketemu,” perintah Ah Liong lagi-lagi tanpa melihat Bryan. Tangan, mata, dan bibir Ah Liong sibuk dengan kepiting soka. Sembilu itu kembali mengiris hati Bryan. Kepiting soka lebih layak mendapat perhatian penuh dari Papa.

“Umur berapa anaknya?” Mei Hwa kembali melakukan jurus interogasi.

“Tahun ini 28, Ma,” jawab Vina. 

“Ooo udah tua, ya. Pantes. Mau milih-milih juga udah susah. Kamu ketemuin dulu lah Bryan. Kayaknya anaknya baik,” putus Mei Hwa.

Bryan tak menyahut. Ia tak mungkin memberi tahu mereka, kalau ada perempuan lain yang menarik hatinya. Lisbeth. Ah, lebih baik temui saja. Hanya bertemu, kan?

***

Lisbeth kembali ke lantai atas setelah mengantar Bryan pulang. Ia sangat menikmati waktu bicara dengan Bryan. Rasa bangga membuncah di hati Lisbeth. Ia jarang bisa bicara sebebas itu, sedalam itu dengan orang dengar. Bryan memang istimewa.

Lisbeth duduk dan membuka e-mail di laptop. Ada surel baru dari panitia lomba desain. Jantung Lisbeth berdebar saat dia mengeklik surel tersebut. Apakah ia masuk semifinal?

Tubuhnya melorot ketika membaca e-mail itu. Ia gagal masuk semifinal lomba desain. Cepat-cepat, ia menutup laptopnya, berusaha menghilangkan rasa sesak. Lisbeth termenung cukup lama. Ia berharap banyak pada kompetisi ini. Bermalam-malam, Lisbeth lembur sampai tengah malam untuk membuat konsep dan sketsa.

Desainku jelek … enggak sebagus yang lain …. Lisbeth menatap sekelilingnya. Dapatkah ia mempertahankan butiknya? Klien baru tidak sebanyak yang ia harapkan. Dia masih baru, tak punya nama. Ada beberapa tamu yang datang, tetapi begitu sadar ia Tuli, mereka pindah ke butik lain. Lisbeth menatap sekelilingnya lagi. Bisakah ia bertahan?

“Lisbeth belajar dulu … jangan langsung buka butik sendiri,” saran Papi terngiang di benaknya.

“Tapi … aku bisa, Pi! Pengalaman dicari sambil jalan. Papi ingat yang Papi bilang, kan? Shì shàng wú nán shì,zhǐ pà yǒu xīn rén. Tidak ada yang susah di dunia ini, kalau tidak menyerah.”

Namun, Lisbeth ragu kali ini. Bagaimana jika Papi benar? Bagaimana jika ia salah langkah?

***

Malam sudah larut ketika Bryan sampai di rumah. Ia baru saja menemui Clara. Not bad. Mamanya perlu periksa mata. Clara cantik, kenapa dibilang be bai, biasa saja? Tugasnya selesai. Bryan baru membuka pintu rumah ketika suara mamanya mengagetkan dirinya.

“Jadi gimana? Anaknya gimana?” berondong Mei Hwa bahkan sebelum Bryan menutup pintu.

“Mama kenapa belum tidur?” tanya Bryan mengalihkan pembicaraan.

“Mama kan sengaja nungguin kamu. Gimana?” cecar Mei Hwa tanpa ampun.

Not bad.” Bryan mencopot sepatunya.

“Terus gimana?”

“Baru juga ketemu sekali.” Bryan berjalan naik tangga menuju kamarnya.

Sayup-sayup, ia mendengar suara mamanya berbicara dengan seseorang di telepon.

“Iya, Vin … baru balik … hm hm … katanya lumayan … anaknya manis. Coba kamu tanyain temen kamu … ya ya … oke. Kabari Ma nanti. Oke. Thanks.”

Bryan menghela napas. Jika ia dengan Clara, semuanya akan diatur oleh keluarganya. Kapan mereka menikah, di mana mereka menikah, undang siapa, pakai katering apa, beli rumah di mana. Tidak hanya itu, mau punya anak berapa, jaraknya berapa tahun … nanti sekolah di mana, sampai nanti ambil les apa, di mana, semua pasti diatur. Ia sudah menyaksikan kehidupan Benny. Ia tidak ingin seperti itu.

Sembari menaiki tangga, Bryan memperhatikan sosok mamanya dari atas tangga. Rambut mamanya yang hitam lebat mulai memutih. Mamanya sudah tidak muda lagi.

Masih inget janji lo dulu, kan? Pikiran Bryan kembali ke saat itu, ketika ia terbangun di rumah sakit.

Malam sebelum ia masuk rumah sakit, seperti biasa ia berpesta hingga subuh tentu saja dengan menenggak minuman keras. Semuanya seperti biasa, tampak wajar. Jalanan sedang kosong. Kepalanya yang sedikit berputar. Ia tak ingat betul apa yang terjadi selain tiba-tiba sinar lampu benderang, entakan keras bersamaan dengan bunyi klakson mobil. Lalu sesaat sebelum semuanya gelap, tiba-tiba Bryan melihat kembali hidupnya seperti ia sedang menonton film. Sejak ia kecil, sekolah, hingga remaja. Ia yang menangis, dipukul oleh papanya, dibentak Ko Ben, lalu berlanjut ke masa-masa ia di Singapura, ketika ia mulai mabuk-mabukan, sleeping around, putus sekolah, hingga ia ditarik kembali ke Jakarta.

“Ini hidup gue? Sia-sia banget … If only I can make things right … I DON’T want to die. Not like this!”

Lalu Bryan tak ingat apa-apa lagi. Ketika ia terbangun, ia ada di kamar rumah sakit yang serbaputih dengan bau obat yang menusuk. Sosok pertama yang ia lihat adalah mamanya yang tidur di sofa di pojok ruangan. Mamanya. Ini kali pertama Bryan benar-benar mengamati wajah mamanya. Entah sudah berapa tahun, ia selalu membuang muka, jarang mau menatap mata mamanya. Berusaha menghindar. Wajah mamanya mulai berkeriput. Rambutnya mulai memutih. Mamanya yang biasanya tidak bisa tidur jika bukan di kasur mahal, sedang meringkuk di sofa dengan selimut dan bantal tipis.

Entah sudah berapa banyak air mata tercurah untuk dirinya. Sudah berulang kali mamanya berusaha bicara dengannya yang selalu ia anggap tidak ada. Rasa bersalah memenuhi dirinya. Kini, ia punya kesempatan. Kesempatan untuk berubah.

***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here