Anak manusia pun perlu jatuh berkali-kali sebelum mampu berjalan sendiri. Itu pun terkadang masih tertatih-tatih. Dalam penelitian terhadap 130 balita (12 dan 19 bulan), peneliti menemukan bahwa kelompok balita tersebut rata-rata terjatuh 17 kali dalam satu jam.
Jangan Manjakan Anak
Anthony Witham—salah seorang pakar parenting—pernah berkata, “Too much love never spoils children. Children become spoiled when we substitute presents for presence.”
Kita tidak pernah kelebihan dalam mencurahkan cinta. Anak tidak menjadi manja karena curahan kasih, tetapi sering kali karena kita menggantikan kehadiran dengan kado.
Saat bertugas bicara di luar negeri, begitu selesai membawa sesi saya di acara ibu-ibu, saya mendapat telepon. Seorang ibu yang anaknya baru diberi hadiah mobil sport mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Ibu itu mengalami stress berkepanjangan. Dia menyesal mengapa mau membelikan anaknya –yang belum cukup umur– mobil yang kecepatannya gila.
Didik Anak supaya Mandiri
Sejak kecil, saya mendidik anak-anak saya agar mencuci peralatan makan dan minumnya sendiri, meskipun ada ART. Terbukti ketika mereka berdua kuliah di luar negeri, didikan saya itu ternyata berguna untuk mereka. Saat mereka pulang liburan, tiba-tiba saja mereka bisa memasak lauk sendiri.
“Kalau beli di luar terus, mahal, Pa,” ujar anak saya.
Anak yang terlalu dimanja bisa gagal di dunia kerja. Iklan lowongan kerja pun sudah menulis begini: “Dicari karyawan. Diutamakan yang sudah berpengalaman dan bisa bekerja di bawah tekanan.”
Nah, bisa kerja di bawah tekanan berarti bukan anak mama atau anak papa yang sebentar-sebentar minta bantuan dan sulit mandiri.
Calon Menantu yang Baik
Ketika seorang penyiar mewawancarai saya, apa kriteria menantu yang baik, saya menjawab bahwa salah satunya adalah kemandirian dari orang tua. Tidak peduli orang tuanya kaya atau pas-pasan, kalau mereka tidak bisa bekerja mandiri, apalagi mau berjuang, mereka bukan menantu idaman bagi saya.
Jadi, saat anak saya berkata bahwa dia bekerja di luar negeri untuk menambah uang sakunya, saya menyambutnya dengan gembira dengan catatan, “Tetap utamakan kuliahmu.”
Dengan demikian saat mereka nanti membentuk rumah tangga sendiri, mereka tidak gampang menyanyikan lagu, “Pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku.”
Sebaliknya, saya berkata, “Kalau ada sesuatu yang membutuhkan uang yang memang diperlukan, let me know.” Saya memberi mereka rasa aman, bukan rasa nyaman yang akhirnya membuat mereka mati di comfort zone.