Kedua, karena mengganggu kenyamanan
Kasus: orangtua pulang kantor setelah satu hari yang penuh drama di kantor. Harapan kita adalah bisa santai slonjor makan pisang goreng hangat sambil menikmati kopi ditemani reels atau short youtube. Namun biasanya harapan hanyalah sia-sia. Faktanya, sampai rumah sudah langsung diributi oleh kakak yang melaporkan keusilan adiknya, disahut oleh adiknya yang fasih membela diri ala pengacara handal. Rengekan dan nada tinggi dari anak-anak, desakan dari mereka untuk kita menjadi hakim yang adil dan bijaksana seketika meruntuhkan bayangan akan pisang goreng, kopi dan reels.
Respon jujur kita adalah? Yap : membentak dan mengancam.
“Udahhhh dieeemmmm! Pusing mama denger kalian yang ributtt aja! Mama tu capek tahu gak? Ga bisa gitu maen yang rukun?? Ribut aja berdua tiap hari kerjaannya!! Lihat ya, mama ambil semua mainan kalian aja kalau main nya ga bisa sharing!!”
Iya, respon alami ketika kenyamanan kita terganggu: ga suka, kesal, dan araghmarah. Yang tentu perlu disalurkan, karena kalau tidak disalurkan nanti jadi penyakit kan katanya?
Ketiga, sarana untuk meluapkan emosi
Kebanyakan kita tumbuh dengan hanya mengenal 2 macam emosi, yaitu : marah dan biasa saja.
Kalau kita menuruti semua peraturan dari orangtua, maka hidup kita akan biasa saja, berjalan dengan semestinya. Sebaliknya, kalau sikap atau perkataan kita dinilai melenceng dari ekspektasi orangtua, maka kita akan mendapatkan amarah (berupa bentakan, ancaman, hingga hukuman fisik).
Kita tumbuh dengan belajar bahwa semua emosi negatif itu harus disimpan di dalam hati, tidak untuk diungkapkan. Merasa sedih? Biasa aja lah! Merasa kecewa? Sudah gitu aja kecewa. Merasa kuatir? Kaya ga punya Tuhan! Merasa malu? Salah sendiri! Merasa tidak disayang? Ahh dasar anak tidak tahu terimakasih!
Padahal menurut hukum kekekalan energi, energi itu tidak pernah hilang, hanya berubah dalam bentuk lain. Semua kesedihan, kekecewaan, kekuatiran yang kita rasakan tidak pernah bisa hilang (kalau tidak disadari dan diolah dengan tepat), namun berubah dalam bentuk yang lain, yaitu kemarahan. Yap. Kemarahan. Karena itu satu-satunya emosi yang fasih kita pelajari sejak masa awal kehidupan kita.
Kita tumbuh terus tanpa mengolah semua perasaan negatif yang pernah atau sedang kita rasakan. Kita anggap semua memang normal, ya begini seharusnya. Kita menikah dengan individu yang membawa luka yang sama, walaupun tidak disadari. Lalu muncullah konflik-konflik rumahtangga pada umumnya. Seputar seks, komunikasi, urusan anak, urusan tagihan. Respon kita dalam menghadapi semua perasaan negatif yang muncul? Marah donk. Ya mau gimana lagi? Kita tidak tahu cara lain untuk merespon.
Iya, kita orangtua sudah begitu lelah membawa beban emosi selama kita bertumbuh dewasa. Tanpa ada kesempatan untuk mengolahnya, baik secara pribadi ataupun berdua bersama pasangan. Hingga akhirnya, beban emosi tersebut kita berikan ke anak-anak kita, dalam bentuk bentakan dan ancaman. Dan sedihnya lagi, kita masih jumawa merasa bahwa kita baik-baik saja. Bahwa hasil bentakan dan ancaman orangtua membuat kita jadi pribadi yang kuat. Bener kuat? Atau merasa kuat? Karena pribadi kuat menurut saya adalah pribadi yang bisa mengendalikan diri untuk tidak selalu membentak dan mengancam anaknya ketika segala sesuatu tidak berjalan sesuai kehendak kita.
Masih ada waktu untuk break the cycle. Dimulai dari diri kita sendiri, lalu bersama pasangan. Untuk bersama-sama belajar merasakan semua jenis emosi yang begitu kaya (bukan hanya marah dan biasa saja). Belajar bersama bagaimana mengolahnya. Belajar bagaimana menyampaikannya secara baik.
Yang tujuan akhirnya adalah memberikan rumah yang aman untuk anak bertumbuh. Menjadi pribadi yang mengenal emosi yang dia rasakan, mampu mengolah dan menyampaikan dengan baik. Menjadi pribadi yang menumbuhkembangkan kecerdasan emosi. “Emotional-social intelligence is an array of interrelated emotional and social competencies and skills that determine how effectively individuals understand and express themselves, understand others and relate with them, and cope with daily demands, challenges and pressures.” Reuven Bar-On
Bagaimana memulainya? Bagaimana caranya praktis supaya kita menjadi orangtua yang tidak mudah membentak dan mengancam?Akan saya bahas di tulisan selanjutnya.
Untuk sementara, jangan ajak anak kita yang masih kecil ke toko barang pecah belah dulu ya.