The Earl Suite, Hotel Mulia.
Lisbeth berjalan ke arah bridal suite mereka yang terletak di lantai tiga. Pintu masuknya menjorok ke dalam, dengan hiasan kayu bulat di dinding depan pintu. Bryan membuka kunci kamar mereka. Ruangan yang tadi pagi dan siang berantakan kini sudah kembali rapi, spotless. Di hadapan mereka, tampak meja kayu bundar dengan tiga kursi. Di atasnya, tersaji rangkaian buah-buahan dan sebotol wine bertuliskan nama mereka, Mr. & Mrs. Lau.
Mrs. Lau.
Lisbeth harus membiasakan diri dengan nama barunya. Ia bukan lagi Lisbeth Victoria Tanuwihardja. Ia punya nama baru. Mrs. Lisbeth Lau.
Tak jauh dari meja makan, ada sofa di atas karpet hitam dan flat TV 55 inch. Lisbeth bisa melihat bulan bersinar lembut dari pintu kaca yang mengarah ke balkon. Kakinya terasa pegal. Ia berjalan ke arah kanan dan masuk ke kamar tidur. Di atas seprai putih, bertaburan kelopak mawar merah ditata membentuk hati dan berdiri dua handuk yang dibentuk menyerupai angsa.
Lisbeth duduk di atas ranjang empuk dengan jantung berdebar. Apa yang harus ia lakukan? Membuka rambutnya yang ditata dengan puluhan pin? Atau bajunya dulu? Namun, bagaimana ia bisa membuka bajunya sendiri? Otomatis wajahnya memerah.
Tangannya sibuk menggapai kakinya di antara bridal train-nya. Ia baru hendak mencopot stiletto Lurum Velvet Manolo Blahnik ketika Bryan berlutut di hadapannya. Bryan sudah melepas jas, kedua lengan kemejanya sudah tergulung di siku. Sebuah baskom berisi air ada di sebelahnya.
“Bryan?” tanya Lisbeth keheranan. Apa yang hendak ia lakukan? Bryan hanya tersenyum. Ia mengangkat sedikit bagian bawah gaun Lisbeth yang berenda panjang. Tanpa diduga, Bryan mencopot kedua sepatu Lisbeth dengan hati-hati.
Sepanjang ingatan Lisbeth, belum pernah ada orang yang memegang telapak kakinya. Dan kini pria yang baru beberapa jam menjadi suaminya berlutut di hadapannya.
“Kakimu capek, kan?” tanya Bryan seraya mendongak menatap Lisbeth. Lisbeth merasa air hangat membasahi kakinya. Sekujur badannya langsung terasa nyaman. Dengan lembut, Bryan menggosok dan memijat telapak kakinya.
“Enak?” tanya Bryan lagi sambil tersenyum. Lisbeth mengangguk. Bryan mengangkat kedua telapak kaki Lisbeth dan membalutnya dengan handuk.
“Kenapa mencuci kaki Lisbeth? Bukannya seharusnya Lisbeth yang mencuci kaki Bryan?” tanya Lisbeth heran. Setahu Lisbeth, biasanya anak yang mencuci kaki orang tua, istri mencuci kaki suami.
“Ya, kalau menurut orang, seharusnya istri yang melayani, ya, kan? Tapi kita … tidak akan jadi sama dengan yang lain … and that’s okay.” Bryan berganti bicara dalam ASL,
“I promise that I will love you, lead our family, and help you in every way. Things are going to be different for us, please know that I already accept you just the way you are. Don’t feel bad if in the future you need my help. You already gave me more than I can ever ask for. In the future, things might not be perfect. We might have our differences, our clashes in opinion, and we may even dislike each other. But I want you to know that I accept you just the way you are, the bad and the good. So tonight I washed your feet so you know that I love you and am willing to serve you.”
Lisbeth menutup mulutnya dengan jarinya. Matanya basah. “Thank you … I love you too. Bryan … hafalin ASL-nya berapa lama?”
Bryan tertawa. “Few weeks. Bener enggak?” Lisbeth mengangguk cepat.
Seolah-olah teringat sesuatu, Bryan berdiri dan kembali dengan sebuah amplop cokelat. Bryan membukanya dan menyerahkan serangkaian kunci. Itu bukan kunci baru, kelihatan kunci itu sudah terpakai agak lama. Mata Lisbeth menyipit. Bryan tersenyum makin lebar melihat reaksi Lisbeth. Lisbeth mengambil kunci itu dan menatap Bryan. “Ini kunci … butik?” tanyanya heran.
“Ya. Buka amplopnya.”
Lisbeth membuka amplop itu dan mengeluarkan isinya. Sebundel kertas dengan sampul bertuliskan “SERTIPIKAT” berada di tangannya.
“Beli buat Lisbeth.”
Lisbeth tercengang. “Ini … Nanti Lisbeth bayar sewanya.”
Bryan tertawa. “Ya enggak, lah. Kan, kita sudah menikah. Now you’re Lisbeth Lau. All that I have is yours.”
Mata Lisbeth masih menatap kertas di tangannya. Banyak kenangan mereka di situ. Dan sekarang bukan hanya kenangan, tetapi kesempatan membuat kenangan yang baru.
Tidak ada kata yang bisa melukiskan apa yang Lisbeth rasakan. Bahagia, itu kata yang terlalu dangkal. She’s ready to be Mrs. Bryan Lau.
***
Bryan membawa baskom air ke belakang. Ketika ia kembali, tubuhnya serasa disiram air dingin ketika menemukan boneka ITU ada di sana. Boneka kelinci lusuh yang membuat papanya menamparnya ketika ia kecil.
“Bryan mungkin sudah enggak inget,” kata Lisbeth dengan berbinar.
Senyum kecut muncul di wajah Bryan. Ia ingat. Sangat ingat.
“Ketemu sewaktu beres-beres gudang,” jelas Lisbeth. Ia menunjuk telinga kelinci itu, ada bekas jahitan di sana.
Kenapa Lisbeth harus membawa boneka itu ke sini? On their wedding night! Shit. Bryan ingin membuang boneka laknat itu jauh-jauh.
“Dulu waktu kita ke Puncak, boneka jatuh,” Lisbeth mulai bercerita.
Yeah … aku ingat semua, Lisbeth, batin Bryan.
“Waktu kecil, tidak banyak yang Lisbeth ingat. Tapi yang ini, Lisbeth ingat.”
Then why would you remember this? tanya Bryan dalam hati.
“Aku baru ingat beberapa bulan lalu,” suara Lisbeth berubah serius, “ini ingatan pertama tentang Bryan.”
“Huh?”
“Bryan tolong aku, tapi Bryan dipukul oleh papa Bryan.” Lisbeth diam sejenak. “Tahu nggak kenapa aku nangis?”
Bryan menggeleng.
“Waktu itu, aku belum bisa ngomong. Hanya bisa menangis. Tak ada yang mengerti. Padahal aku mau ngomong.” Ia terdiam, mengingat masa ketika tak seorang pun mengerti apa maunya, perasaan frustrasi dan kesal yang dirasakannya. “Lisbeth mau ngomong, kenapa Bryan dipukul? Itu bukan salah Bryan!”
“Kamu nangis kenceng karena itu?” tanya Bryan tidak percaya. Ia pikir, selama ini Lisbeth menangis karena bonekanya rusak dan menyalahkan Bryan. Ia pikir, Lisbeth benci kepadanya.
“Ya. Tapi enggak ada yang ngerti. Yang ada Bryan dipukul makin kencang. Maaf, ya.”
Bryan tersentak.
“Nama boneka … Bibi. Aku baru ingat kenapa nama Bibi.” Kali ini, Lisbeth tersenyum malu-malu “Waktu kecil, aku tidak bisa ngomong Bryan. Bry-ian … susah mengucapkan.”
Mulut Bryan ternganga. “Nama Bibi dari namaku?” Ia menunjuk ke dirinya.
Lisbeth mengangguk malu-malu.
“Aku juga tidak ingat. Minggu lalu, Papi masuk kamar lalu tertawa melihat Bibi. Papi tanya, ingat tidak kenapa kamu kasih nama Bibi? Aku tidak ingat.”
Wim menceritakan ketika ia baru mencetak foto liburan mereka, Lisbeth menunjuk Bryan sambil berkata “Bi bi bi” lalu ia lari mengambil bonekanya dan berkata lagi “Bi bi bi.”
Tak hanya itu, keluar pula rentetan hal kecil yang ia lakukan untuk Lisbeth: mengambil boneka Barbie di rak atas Toys’ R Us, menarik Lisbeth yang tersesat di JC Penny, memberikan kerupuk udang terakhir yang Bryan pegang kepada Lisbeth, dan lain-lain.
Beberapa Bryan ingat samar-samar, beberapa lagi ia sama sekali tidak ingat. Ia merasa melihat putaran film masa kecilnya, tetapi dari sudut pandang yang berbeda. Ia pikir selama ini nobody cares, nobody noticed him. And now, his wife recited some of the moments in their childhood. He was wrong. Someone noticed him.
“Bryan memang baik. Dari dulu paling baik.” Lisbeth menutup ceritanya. “My hero. I’m glad that now, I’m Mrs. Bryan Lau.”
***