Ting Jing dan Sangjit.
Rumah Lisbeth yang biasanya sepi, luar biasa ramai hari ini. Halaman penuh dengan beberapa mobil. Ada kain merah terpasang di depan pintu masuk rumah, lengkap dengan lambang shuang xi, double happiness.
Ruang tamu ditata dengan banyak kursi. Di sebuah meja di belakang ruangan, tampak beberapa baki berwarna merah menyala berisi buah-buahan, manisan, juga setumpuk angpao untuk para pembawa baki serah-serahan. Salah satu tembok di ruang tamu dihiasi khusus dengan backdrop kain dan mawar segar berwarna merah muda, merah, dan putih. Satu tembok penuh mawar merah putih dan pink dari atas sampai bawah. Semerbak wangi memenuhi seluruh ruangan.
“Lisbeth udah siap?” Heni melongok ke kamar Lisbeth. Ia memandang Lisbeth sedang merapikan hiasan mutiara di rambutnya. Cheongsam merah penuh dengan payet berbentuk burung phoenix menempel di tubuh Lisbeth, menonjolkan lekuk tubuhnya. Rambut Lisbeth dikeriting sedikit dan ditata dengan gaya Shanghai girl tahun ‘50-an.
Heni mengenakan cheongsam yang kembaran dengan Liona dan Livi, berwarna merah dengan aksen bunga peony pink di bagian bawah.
Lisbeth melirik ke arah Liona yang sedang memasang antingnya.
“Ci Lisbeth cantik sekaliii!” puji Liona bersemangat. Wajahnya cerah. Ia satu-satunya yang tampak sangat antusias. Heni masih kesal karena Livi menghilang tidak ada kabar, sementara Lisbeth patah hati karena sampai saat ini tidak ada tanda-tanda kedatangan kakaknya. Sepertinya Livi benar-benar tidak datang.
Ponsel Lisbeth bergetar. Ia berdebar, dari Livikah? Ia membukanya. Ternyata dari Bryan.
Hi, Mrs. Lau, we’ll be a bit late. Macet nih.
Lisbeth tersenyum dan membalas pesan Bryan. Okay. Cu soon. Ia memeriksa pesan dari Livi lagi. Tetap tidak ada balasan. Lisbeth mencoba melakukan video call. Tidak ada sinyal. Ah. Tampaknya Livi benar-benar tidak datang.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka hingga membuat Heni melonjak kaget. Livi masuk sambil menggendong Timmy. Di belakangnya, Simon mengikuti membawa Thomas.
“Sorry, pesawatnya delay,” kata Livi sambil terengah-engah, ia segera mencium mamanya, Liona, dan melihat Lisbeth. Ia terdiam … lalu membuat sign language dengan tangannya, “Lisbeth – cantik.”
Mata Lisbeth sedikit buram. Ia memeluk Livi erat-erat. Lisbeth memperhatikan bahwa Livi sudah mengenakan makeup lengkap.
“Aduh … maskara gue! Entar luntur.” Livi tampak panik ketika matanya mulai berair juga. “Sapa suruh enggak datang dari kemaren!” omel Heni. “Bikin semua orang ribut aja!” Ia sibuk memarahi Livi sedangkan tangan-tangannya sigap mengganti baju cucu-cucunya dan memberikan dasi ke Simon.
“Mami! Udah bagus aku dateng!” balas Livi.
“Thanks for coming, Ci,” kata Lisbeth.
“Masa Cici enggak dateng!” timpal Livi.
Liona berdiri di sebelahnya dan memberikan cheongsam yang sudah dijahit Lisbeth. Livi memeluk Liona dengan tangan kirinya dan Lisbeth dengan tangan kanannya.
***
Acara ting jing berjalan dengan lancar. Mulai dari lamaran sampai pernikahan, harus melalui tiga tahapan. Ting jing, ting hun, dan sangjit. Namun, karena jarak antara ting jing dan hari pernikahan tidak jauh, Ah Liong dan Wim memutuskan untuk menggabungkan ketiganya.
Sepupu-sepupu Bryan yang belum menikah datang membawa dua belas baki berwarna merah. Baki pertama berisi dua batang lilin merah bergambarkan phoenix dan naga, dua botol wine, dan dua buah angpao berisi uang susu dan uang mahar, disusul dengan dua baki berisi sejumlah pakaian perempuan untuk Lisbeth, sepatu, jam tangan, peralatan makeup dan parfum. Sisanya adalah baki berisi misoa, manisan, buah apel dan pir, enting-enting, dan kue bolu. Di akhir barisan, Bryan berdiri dengan membawa satu set perhiasan emas.
Barisan pengantar serah-serahan diterima oleh keluarga Lisbeth yang sudah menikah.
Setelah acara serah terima selesai, salah seorang om Bryan mewakili keluarga Bryan meminta izin untuk melamar Lisbeth yang diterima oleh kakak laki-laki mami Lisbeth.
“Panggil Lisbeth,” ujar Wim kepada Heni setelah lamaran diterima oleh keluarganya. Heni datang ke kamar untuk menjemput Lisbeth dan membawa Lisbeth keluar.
Lisbeth berjalan keluar dari kamarnya. Napas Bryan terhenti. Biasanya Lisbeth mengenakan makeup natural dengan lipstik pink, nude, atau peach. Kali ini, Lisbeth tampil glamor dengan dandanan ala Shanghai girl, rambut sedikit dikeriting dan lipstik merah menyala yang tampak kontras dengan kulitnya yang putih. She looks so classy.Makeup-nya sangat serasi dengan cheongsam body fit berwarna merah yang penuh dengan payet burung phoenix.
“Bryan, mulutnya ditutup dulu,” goda Tante Lana yang merangkap sebagai MC siang itu, “Jangan bengong, cepetan dikalungin.”
Buru-buru Bryan berdiri dan membuka kotak perhiasan, memperlihatkan seuntai kalung emas kuning seberat 65 gram berbentuk naga dan burung phoenix yang mengelilingi lambang shuang xi, double happiness. Mei Hwa mengalungkan kalung tersebut ke leher Lisbeth. Jepretan kamera berpendar mengabadikan momen penting ini. Bryan membantu mamanya menyematkan kait di belakang leher Lisbeth. Kalung sebagai simbol bahwa Lisbeth sudah “diikat” dengan keluarga Bryan.
“Sekarang, Bryan panggil Wim, ‘Papi’, dong,” ujar Lana lagi. Bryan memeluk Om Wim serta Tante Heni. Berikutnya giliran Lisbeth memeluk Ah Liong dan Mei Hwa serta memanggil mereka “Papa” dan “Mama”.
“Nah, karena sudah dikalungin,” Lana melirik ke arah Lisbeth, “Lisbeth harus sering main ke rumah Bryan, ya … belajar masak dari … Mama Mei Hwa. Tanya Bryan suka makan apa.” Lisbeth mengangguk malu-malu.
“Bryan yang sabar,” seloroh Tante Lana lagi. “Ini baru tunangan, belum sah jadi istri kamu. Jangan dibawa kabur dulu.” Lagi-lagi celoteh Lana mengundang tawa seisi ruangan.
Setelah kalung, Bryan dan Lisbeth saling memasangkan cincin di tangan kiri masing-masing. Acara ditutup dengan makan-makan.
Ah Liong melihat makanan yang disiapkan oleh keluarga Wim, dibuka dengan sup asparagus kepiting, bakso babi kuah, lalu hidangan utama: salad lobster, asinan pengantin, cingkong kepiting, tauco udang, ikan asam manis, leng hong kien capcai, ayam rebus minyak jahe, nasi goreng Thailand, dan burung dara goreng kering. Ada tiga pondokan di pojok, bihun bebek, ci chong pan, dan bebek Peking. Ditutup dengan dessert stall, mango sticky rice, red ruby, danpancake durian. Sebagian besar dari menu yang disajikan adalah makanan kesukaan Ah Liong. Ia menggeleng sambil tersenyum tipis, batin Ah Liong, Wim, Wim … Lihai memang dirimu.
“Hen, uang susu sama uang mahar dari Mei Hwa, jangan lupa lo balikin, ya,” seloroh Siska. “Kalo enggak dibalikin, Lisbeth udah lo kasih ke Mei Hwa. Rugi di elo!” Mereka berempat sedang duduk sambil menikmati hidangan yang disiapkan oleh Executive Chef Din Tai Fung yang khusus didatangkan untuk hari itu.
Livi sedang sibuk menidurkan si kembar di halaman dengan stroller ketika ia mendapati Bryan berjalan ke arahnya.
“Vi,” panggil Bryan. Livi membuang muka. “Makasih, ya, udah datang,” kata Bryan tidak memedulikan sikap Livi yang masih dingin.
“Jangan ge-er lo. Gue dateng buat Lisbeth, bukan buat elo,” semprot Livi.
“Yang penting lo dateng. Lisbeth udah seneng banget,” ujar Bryan seraya tersenyum.
“Ngapain lo senyam-senyum? Gue masih enggak terima lo bakal married sama dede gue.”
“Too bad.” Bryan tersenyum menunjukkan cincin emas di tangan kirinya.
***
Lisbeth berjalan melintasi ruang tamu, tampak beberapa pekerja sedang sibuk membereskan backdrop, mengangkut bunga, membawa meja buffet dan peralatan makan. Pesta sudah usai. Ia dan Bryan berjalan ke belakang, ingin mengecek renovasi paviliun.
Ketika melewati jalan setapak batu, langkah Lisbeth melambat.
Bryan menoleh. “Kenapa?”
“Tidak apa-apa … hanya … Lisbeth dulu tidak suka jalan ini.”
“Oo kenapa?”
“Tiap pagi sebelum berangkat sekolah, sama Mami pasti dibawa ke sini, untuk pamit sama Popo. Lisbeth tidak pernah suka. Kadang nangis kalau lewat sini,” kenang Lisbeth sambil menggeleng. Tidak menyangka bahwa jalan setapak batu yang dulu ia benci kini justru jalan menuju tempat tinggal barunya.
“Sekarang sudah enggak, kan?”
“Enggak,” jawab Lisbeth. Mereka sampai ke depan paviliun. Minggu lalu, keramik lantainya baru diganti dengan keramik putih. Di lantai satu, ada ruang makan, dapur, dan kamar mandi. Lisbeth naik ke lantai dua. Satu kamar dan satu ruang menonton TV yang dulu ada di sana telah diganti menjadi satu kamar master dan satu kamar anak-anak. Bau cat baru menusuk hidung Lisbeth.
“Kamar anak-anak sudah jadi?” tanya Bryan. Muka Lisbeth langsung memerah mendengar kata anak-anak.
“Hayo … kenapa kok mukanya merah?” goda Bryan. Lisbeth hanya menunduk lalu berjalan turun. Ia masih harus membiasakan diri bahwa sebentar lagi statusnya berganti. Sesampainya di bawah, Bryan menarik tangannya, “Tunggu. Dari tadi ramai, banyak orang.” Lengan Bryan melingkar di pinggang Lisbeth dan dengan lembut Bryan melumat bibirnya. Entah sudah berapa puluh kali Bryan mengecupnya, tetapi Lisbeth tidak pernah bosan dibuatnya. Ia mengalungkan kedua lengannya di leher Bryan, supaya kakinya tetap menjejak ke tanah dan tidak ikut terbang ke langit ke tujuh.
***
[1] yī xīn yī yì: memfokuskan perhatian dan usaha pada satu tujuan.