Petak Sembilan, Glodok.

“Hwa … nih keranjangnya cakep-cakep.” Heni menunjuk beberapa keranjang merah yang terpasang. Mereka sedang belanja persiapan acara sangjit/serah-serahan.

“Yang itu bagus tuh, Hen. Ada tutupnya. Jadi rapi gitu.” Mei Hwa menunjuk beberapa nampan merah dengan tutup plastik kaku transparan.

“Ini berapa, Ci? Harga pas, yak?” tanya Heni sambil menunjuk kotak nampan merah yang ditunjuk Mei Hwa.

“Yang itu pekgo. Seratus lima puluh ribu.”

“Ah mahal banget si Daci. Di depan kayak begini cuman cepek, seratus ribu,” balas Heni sambil sibuk melihat keranjang lain. “Ini saya udah langganan lho, pas anak saya yang gede, saya juga ke sini. Kasih murah, Ci.”

Cepek buatannya enggak halus kayak gini. Plastiknya juga merot-merot. Pekgo udah paling murah, Ci.”

“Kita mau beli banyak. Dua belas. Kasih pasnya berapa dah,” tawar Mei Hwa.

“Isinya ambil di kita juga enggak, Ci? Mending sekalian ambil di sini. Entar kita kasih gratis udah ditata. Di atasnya pake bunga, ditempelin shuang xi Double Happiness juga. Enciknya tahu beres, deh.”

Lagi-lagi Mei Hwa dan Heni terlibat dalam perang harga, rasanya tak puas jika sebelumnya tidak menawar terlebih dahulu. Tentunya dengan jurus-jurus andalan, “Toko sebelah lebih murah.” Dan jurus maut lain, “Kita ambil banyak.” Menurut adat Chinese, untuk acara serah-serahan semuanya harus genap, 2,6,8,10,12 tetapi tidak boleh 4. Karena angka 4 bunyinya mirip dengan kata mati. Setelah perdebatan alot, akhirnya si pemilik toko setuju.

“Kasih dah. Dipilih, Ci, dalamnya mau apa? Lilin pasti kan, ya? Lilinnya cakep nih udah ada naga sama phoenix-nya. Anggurnya mau yang sparkling wine apa arak beneran?” Pemilik toko menunjukkan barang-barang dagangannya.

Sparkling Wine aja. Eh lilin itu buat apa sih, Ci?” tanya Heni penasaran, banyak tradisi yang ia lakukan tanpa ia pernah benar-benar tahu apa artinya. 

“Lilin itu buat nerangin jalannya calon penganten. Biar terang, lancar semua. Kalau manisan, enting-enting, biar penganten baru lengket dan hidupnya manis,” jelas pemilik toko sambil terkekeh.

“Ntar ditempelin stiker shuang xi juga, kan?” tanya Mei Hwa memastikan.

“Iya, Ci, semua ditempelin. Enting-enting sekalian, Ci, biar tian tian mi mi, yang manis-manis,” ujar Mei Hwa.

Setelah urusan beres, mereka berjalan menyusuri Petak Sembilan, gang dengan banyak toko di kanan-kiri. Beberapa toko menjual perlengkapan sangjit. Toko lain menjual aneka makanan dan peralatan sembahyang. Heni masuk Gang Gloria ke kedai Kopi Tak Kie.

“Hwa, kita ngaso dulu di sini. Siomainya yang di depan enak tuh.” Heni duduk di satu meja tua di pojokan. Dinding yang mengelupas penuh dengan foto-foto kuno. Heni memesan dua gelas es kopi dan seporsi siomai.

“Ntar wa yang bayar, ya,” kata Mei Hwa cepat.

“Hehehe, iya, iya.”

Keduanya terdiam sesaat. Heni mengaduk kopinya. Mereka sudah berteman lama, tapi sama sekali tak menyangka mereka sebentar lagi akan … besanan.

“Hwa ….”

“Hen ….”

Mereka membuka mulutnya bersamaan. Keduanya tertawa canggung.

“Lo duluan deh, Hen.”

“Enggak lo duluan aja,” sergah Heni buru-buru.

Wa duluan, ya. Ini … nanti kalau Bryan, hmm … ada salah-salah pas di tempat lo, kasih tau aja, ntar wa tegur. Itu anak kan adatnya jelek. Teng thao, kepala batu.”

“Ah, enggak lah, Hwa. Bryan udah baik kok sekarang.”

Mereka tertawa canggung lagi.

“Kalo Lisbeth, yah lo tahu lah ya, dari dulu kagak bisa masak. Alasannya banyak banget. Panas lah, capek lah, takut minyak lah. Yah tolong diajarin pelan-pelan, ya. Gue udah bilangin biar belajar masak dari lo.”

“Masak mah gampang. Lisbeth pinter. Entar pelan-pelan juga bisa. Kapan hari kue lobaknya lumayan, tuh,” komentar Mei Hwa.

“Enggak nyangka ya, Hwa,” ujar Heni pelan.

“Iya,” jawab Mei Hwa, “tapi wa lega, nanti mereka tinggal bareng lo orang. Ah Liong waktu itu udah mau protes, wa liat mukanya udah merah aja. Pulang-pulang wa kasih tahu. Kalau tinggal bareng kita, entar pasti bawaannya Ah Liong sama Bryan berantem mulu. Kalau sama lo orang, enggak papa lah.”

“Gue udah bilang sama Lisbeth, entar barang sebulan sekali, dua kali, nginep lah di rumah kalian. Gue juga kaget Wim ngusulin kayak begitu.”

“Udah paling bener itu, Hen. Bryan … wa harap udah beneran tobat, ya.” Mei Hwa menghela napas.

“Hwa … gue mau bilang … Kamsia lo mau terima Lisbeth.” Suara Heni bergetar. “Gue dari dulu udah khawatir Lisbeth bisa married apa enggak. Udah siap gue kalo Lisbeth enggak married …. Mertua mana mau punya mantu Tuli? Gue paling takut kalo Lisbeth dapat mertua kayak … lo tau Hwa maksud gue.” Suara Heni terputus.

Heni mengambil tisu dari tasnya. “Banyak orang muji gue sama Wim. Bilang kita hebat lah, sabar lah, tabah lah. Lisbeth pinter lah, cakep lah, tapi kalo ditanya … apa mau punya mantu Lisbeth? Gue rasa … pada kabur semua, Hwa ….” Heni mengusap air matanya. “Yah mau gimana. Wim enggak pernah ngomong, tapi gue tahu, kenapa dia kerja keras mati-matian buat usaha kita orang. Wim dulu orangnya enggak ambisius. Tapi gue tahu, Wim begitu, kalau-kalau entar Lisbeth, Liona enggak married … kalo kita udah enggak ada … Wim udah siapin semua. Biar mereka enggak idup susah.”

Mei Hwa memegang tangan Heni. “Enggak sampe begitunya, kali.”

“Hwa … mamanya mantannya Livi aja, enggak setuju Livi sama anaknya … takut entar direcokin sama Lisbeth sama Liona. Untung akhirnya dapat Simon,” ujar Heni pelan. “Gue bener-bener kamsia sama lo, sama Ah Liong.” Heni memegang tangan Mei Hwa erat-erat.

“Bryan juga bukan malaikat,” sergah Mei Hwa cepat-cepat.

“Beda Hwa … lo tahu sendiri, keluarga Chinese. Yang namanya cowok waktu muda maen cewek itu biasa,” gumam Heni pelan. “Beda sama anak Tuli. Biar anak baik-baik, Tuli yah Tuli.”

Keduanya terdiam. Ini fakta pahit. Namun, apakah fakta berarti kebenaran? Mei Hwa mulai berpikir, adilkah pandangan-pandangan itu? Apakah adil hanya karena anaknya dianggap tidak cacat, maka seberengsek apa pun tetap lebih baik daripada yang Tuli? Apakah adil anak-anak Tuli yang berprestasi, yang hidup mandiri, yang tidak menjadi parasit, selamanya dipinggirkan? Apakah adil satu kelemahan menghapus ribuan kelebihan?

Apakah benar Lisbeth beruntung mendapat Bryan? Atau justru malah ia, Ah Liong, dan Bryan yang beruntung mendapatkan Lisbeth?

“Gue sama Wim beneran terima, sayang sama Lisbeth sama Liona. Darah daging sendiri. Tapi, kan … gue enggak bisa minta semua orang terima kayak gue dan Wim.” Suara Heni bergetar, “Bilangin Ah Liong … makasih ya. Wim enggak akan ngomong, cowok kan egonya gede, tapi gue yakin Wim juga kamsia banget sama lo orang ….”

“Hen … wa rasa, malah wa, Ah Liong, sama Bryan yang harus kamsia. Sejak sama Lisbeth, Bryan … jadi lebih ting hua, mau dengerin kata-kata wa. Lebih mau kumpul-kumpul bareng kita orang. Wa kamsia lo sama Wim, didik Lisbeth baik-baik. Sikapnya baik, adatnya baik. Wa bisa lihat, Lisbeth bener sayang sama anak wa. Kalau wa entar kenapa-kenapa, wa tenang Bryan ada Lisbeth.” Mei Hwa menepuk tangan Heni. “Kita doain yang terbaik dah buat anak-anak kita.”

***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here