“Kamu tahu Benny? Pas muda, Ah Liong persis kayak Benny. Ambisius, kerjanya cepet. Benny bisa lebih hoki daripada Ah Liong, tahu kenapa? Cari istrinya pinter dia, cari yang kayak Vina. Bisa nurunin tensinya si Benny, bisa ngerem. Kamu kurang di mana, cari orang yang lebihnya di situ.”

“Livi tetep enggak setuju!” gerutu Livi. “Itu Om Ah Liong, bukan Bryan. Kalau Bryan kumat gimana? Kalau Lisbeth ….” Livi tak sanggup menyelesaikan kata-katanya.

Wim membuka kacamata kerjanya dan menatap Livi dalam-dalam

“Vi, Papi tahu dari kecil kamu selalu berusaha jaga adik-adikmu.” ujar Wim dengan suara rendah. Livi berpura-pura sibuk memperhatikan jarinya. Semakin rendah suara Wim, semakin serius yang hendak ia sampaikan. 

“Kamu masih inget waktu kamu umur 10 tahun, ada Pendeta dari Amerika yang kalau doa bisa sembuhin orang?”

Livi menarik napas, berbicara seperti berputar itu juga ciri khas papanya ketika membicarakan sesuatu yang penting. Seolah-olah Wim perlu menunggu Livi siap mendengar apa yang hendak ia sampaikan. 

“Ingat, Vi?” tanya Wim lagi. 

Tentu saja Livi ingat. Ia tidak tidur sampai jam 12 malam, menunggu Papi Mami pulang. Ketika mereka pulang, ia berlari ke halaman dan bertanya, “Lisbeth bisa dengar sekarang?” Ia ingat bagaimana ia berdoa setiap jam di bawah lambang salib, memohon ada mukjizat supaya Lisbeth dan Liona bisa mendengar. Livi ingat Papi masuk menggendong Lisbeth yang tertidur, Maminya menggendong Liona dengan lesu tanpa berkata apa-apa lalu masuk kamar. Ia ingat bagaimana keesokan harinya ia sengaja berteriak di belakang Lisbeth dan Liona berharap mereka tiba-tiba bisa mendengar.

“Kamu ingat, Papi marahin kamu karena kamu belum tidur?”

Livi ingat. Seumur-umur, baru kali itu Papi membentak dirinya.

Maaf … Papi … bentak kamu malam itu,” ujar Wim terbata. “Kamu masih inget waktu kamu ultah ke-12, Papi Mami udah janji ngajak kita semua makan tapi Papi batalin karena ada dokter dari Singapura datang ke Jakarta dan Papi mau bawa Lisbeth sama Liona ketemu dokternya?”

Livi mengangguk. Ia kecewa sekali waktu itu.

“Lalu kita pergi ke Singapura, tiga hari di rumah sakit nunggu Lisbeth Liona test macem-macem.”

“Yang akhirnya enggak jadi … karena kalau operasi Cochlear Implant[2], Lisbeth sama Liona harus di Singapore berbulan-bulan,” tambah Livi. Ia ingat semua itu.

“Papi inget, kamu duduk diam, tidak rewel padahal kamu baru makan jam 3 sore. Kamu tidak minta jalan-jalan, tidak minta mainan.” Mata Wim menerawang. “Malah kamu yang bantu menerjemahkan perkataan dokter kepada Lisbeth dan Liona. Kamu ajak Lisbeth dan Liona main. Liona tidur di pahamu, sedangkan Papi Mami sibuk ngurus macem-macem. Kamu bahkan tanya, “Uang Papi cukup tidak?” Wim terkekeh kecil.

Livi ingat itu semua. Ia tak menyangka Papi juga ingat.

“Waktu Liona masih kecil, kalau Liona frustrasi, dia suka gigit tanganmu. Kalau Lisbeth nangis, enggak ada yang ngerti, kamu yang dipanggil. Karena cuma kamu yang ngerti Lisbeth ngomong apa. ”

Mata Livi kini berkaca-kaca. Adegan demi adegan masa kecilnya bak film berputar di depannya. Pandangan Papi melembut, ia menatap Livi dengan hangat.

“Maaf … Papi Mami … paksa kamu dewasa sebelum waktunya.”

“Papi …”

“Waktu Papi Mami lebih banyak habis buat Lisbeth, Liona … tapi kamu tidak pernah ngeluh. Kamsia, Vi.”

Lengan Papi memeluk Livi dengan hangat.

“Papi tahu kamu kecewa dengan pilihan Lisbeth.”

“Aku enggak bisa terima, Pap ….” Mata Livi berkaca-kaca. Lisbeth adiknya, selama ini ia yang menjaga Lisbeth, bagaimana jika Bryan melukai Lisbeth? 

“Lisbeth punya hidup sendiri. Kalau Timmy dan Thomas besar, nanti kamu akan ngerti. Anak-anakmu lahir darimu, tapi bukan milikmu. Hal paling penting yang orang tua …” Wim mengelus punggung Livi, “dan Kakak yang sayang adiknya harus lakukan adalah melepas ketika waktunya tiba.”

 Melepas ketika waktunya tiba? Livi ingin selamanya Lisbeth ada di bawah sayapnya agar Lisbeth tak terluka. Namun, mungkinkan menjadi dewasa tanpa luka? Mungkinkah mencintai tanpa terluka?

***

“Bryan,” Dimas masuk ke kantornya dengan membawa selembar pamflet Angsa Merah. “Lo cek ke sini, gih.”

“Apaan, nih?” Bryan hanya melirik kertas itu.

STD test … you know ….”

“Gue tahu STD apaan. Nope. I’m clean!”

“Lo enggak pengin, kan, Lisbeth kena sifilis, gonorea … atau HIV?” tanya Dimas tenang.

Bryan menutup laptopnya. “Lo gila, ya? Gue enggak pernah maen sama perek!”

“Lo bisa jamin semua mantan lo bersih dan enggak pernah maen sama cowok lain?” kejar Dimas. “Lo bakal married, mendingan lo beresin semua. Amit-amit ya, Bro … amit-amit, ada infeksi, lo bisa obatin dulu.”

“Gue selalu pake kondom! Kenapa semua orang mikir gue bego, sih?” Bryan frustrasi.

“Yah, kalau begitu, cek aja, buat pastiin semua bersih. Ya, kan?” bujuk Dimas. “Listen, if you insist that you don’t want to check, you can’t say that you’re really clean. But if you check, it’s a proof. Angsa Merah recommendedbanget. Data enggak bakal leak punya.

Bryan mengambil kertas itu dengan kasar, “Fine.”

Dimas menepuk bahu Bryan, “It’s hard, Bro, I know. But believe me … things will get better.” Bryan hanya mendengus.

***

Keesokan harinya, Dimas membaca pesan baru dari Bryan di ponselnya. .

Told you … all negative!

Dimas tersenyum lalu membalas, No pic = hoax, Bro!

TING … Sebuah foto masuk. Foto hasil lab atas nama Bryan Lau. Senyuman Dimas makin lebar. Jemarinya menekan foto itu dan memencet pilihan forward.

Orang di seberang sana membalas pesannya.

Negatif? Labnya enggak abal-abal, kan?

Dimas mengetik. Enggak, Om. Ini labnya bener punya.

Makasih ya, Mas.

Sama-sama, Om.

Dimas memang tidak melihat wajah Om Wim, tetapi ia yakin Om Wim lega mengetahui hasilnya.

***


[1] yǐ mào qǔ rén: Menilai seseorang hanya dari penampilan.

[2] Alat Bantu Dengar yang dipasang di bawah kulit kepala. Setelah operasi, pasien harus mengikuti terapi selama berbulan-bulan untuk mengenali suara yang ia dengar.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here