“Papi enggak salah?” tanya Livi lagi.

“Salah apa?” tanya Wim tenang.

“Bryan ngelamar Lisbeth! Papi kasih?”

“Iya. Papi kasih. Kenapa? Kamu cemburu dulu Bryan ngejar kamu terus sekarang sama Lisbeth?” Wim membaca dokumen di tangannya.

“Idih, aku mana mau sama Bryan!” dengus Livi.

“Kamu enggak mau, Lisbeth mau.”

“PAPI! Yang bener aja. Papi masa enggak tahu Bryan itu dulu kayak apa!” Livi benar-benar murka. Kenapa Papi malah mengizinkan Bryan dengan Lisbeth? 

“Pi … ini Lisbeth. Lisbeth polos banget, mungkin nonton bokep aja belum pernah.”

Wim melirik Livi dari kacamata bacanya. “Kamu memang pernah nonton bokep?”

“PAPIII … jangan mengalihkan pembicaraan, dong!” jerit Livi dongkol. Bisa-bisanya Papi bercanda di saat seperti ini.

“Bryan kenapa?” suara Papi rendah. Livi langsung waspada suara Papi berubah rendah ketika ia mengatakan sesuatu yang serius.

“Papi jangan pura-pura enggak tahu! Bryan kagak bisa kerja, main cewek, kuliah berantakan. Masak Papi mau punya mantu kayak gitu?”

“Kok kamu enggak tanya, masak Papi mau mantu yang berulang kali nolak disuruh nerusin usaha Papi?” sindir Wim halus. Wajah Livi memerah. Wim pernah bertanya kepada Simon beberapa kali apakah Simon mau membantu usaha Papi, mungkin tidak full-time tapi sebagai komisaris, yang berulang kali pula ditolak dengan halus oleh Simon.

“Lagian Om Ah Liong orangnya begitu. Kasihan Lisbeth punya mertua seperti—”

“Kamu tahu enggak Ah Liong itu siapa?” potong Wim. “Om Ah Liong itu … lebih hebat daripada Papi!”

“Ha, apaan yang hebat, sukanya ngomel-ngomel,” gerutu Livi. Dia segan kepada Om Ah Liong. Om Ah Liong galak, suka marah-marah.

“Papi, Om Afung, Om Lucky, mulai bisnis dikasih modal sama keluarga. Om Ah Liong, ngadu nasib ke Jakarta enggak ada modal sama sekali! Tante Mei Hwa cerita sama Mama, rumah pertama mereka di Jakarta itu rumah bedeng di pinggir kali! Ah Liong itu bangun semua bisnisnya modal keringat! Dari bawah, Vi!”

Rumah bedeng pinggir kali? Om Ah Liong? Livi sama sekali tidak bisa membayangkan.

“Kamu jangan cuma lihat orang dari luarnya. Luarnya Ah Liong galak, suka marah-marah, tapi kamu enggak tahu, Ah Liong itu … lihai. Dari mulut Wim keluar kisah-kisah masa mereka masih sama-sama merintis bisnis.

***

“Liong, proyek Karang Putri enggak lo ambil?” tanya Wim sambil merapikan stik golfnya.

Ah Liong menggeleng. “Wa enggak berani. Mereka bo cheng li. Wa butuh duit, tapi enggak mau am sheng li, bisnis gelap kayak begitu.”

“Itu gede banget lho, Liong. Berapa M?” Wim sedikit terkejut.

Ah Liong menatap Wim, “Anak-bini wa, enggak akan wa kasih makan uang haram, Wim. Duit haram dapatnya cepet, keluarnya juga cepet.”

Wim nyengir sambil mengacungkan jempol. “Lihai lo, Liong.”

Ah Liong hanya tersenyum. “Wa lapar.”

***

“Om … Om, capek kan habis golf?” Seorang gadis seksi berpakaian ketat dengan nada menggoda menyapa Ah Liong. Ah Liong hanya diam. Matanya lurus ke depan, tak sedikit pun melirik gadis di sebelahnya. “Mau ditemenin enggak, Om?” Gadis itu berbisik lagi. Kali ini, tangannya menempel di bahu Ah Liong, jemarinya yang lentik meraba dada bidang Ah Liong. Buru-buru Ah Liong menepis tangan itu. Ah Liong berjalan cepat, tetapi gadis itu pantang menyerah. “Om sukanya yang kayak apa? Temen saya banyak, Om,” bujuknya sambil tersenyum menggoda.

“Lucky!” panggil Ah Liong. Ia bergegas menghampiri Lucky dan Wim yang berjalan di depan resepsionis. Gadis itu akhirnya menyerah dan pergi.

“Wah, yang ini cepet banget nyerahnya. Yang kemaren gigih sampe pepetin elo ke depan pintu kamar,” goda Lucky. “Kenapa dia enggak nawarin gue, yah?”

“Ngaca. Perut lo buncit, tampang kayak singkek-singkek,” seloroh Wim. “Jelas beda, lah, sama Ah Liong yang kayak bintang film Hong Kong. Cewek sekarang matanya juga hidup. Kalau bisa dapat yang ada tampang dan berduit kenapa enggak?”

“Duit gue juga enggak kalah dari Ah Liong.” Lucky tertawa.

“Duit lo kagak kalah, tampang lo yang kalah, Ky,” balas Wim.

“Liong bagi gue lah, sekali-sekali,” canda Lucky.

Ah Liong hanya menggeleng, “Bo nao lo. Enggak punya otak. Wa kalau nginap cuma mau sama kalian. Yang lain bo nao, enggak punya otak semua,” gerutunya kesal.

“Mei Hwa tenang, lah, Liong. Lo kalo di luar udah kayak pake kacamata kuda,” timpal Wim. Namun, tawa Wim seketika lenyap ketika melihat wajah Ah Liong berubah serius.

“Mei Hwa ikut wa ke Jakarta enggak banyak cingcong. Kalau Mei Hwa mau hidup enak, dia bisa balik ke rumahnya, tapi dia mau ikut wa …” suara Ah Liong sedikit serak. “Bo nao nyia-nyiain bini yang mau ikut lo pas lo susah.”

***

“Om Ah Liong yang ngomong?” Livi melongo.

“Ngomong di depan Papi sama Om Lucky. Papi inget, itu kata-kata bikin Papi angkat jempol sama Om Ah Liong. Ah Liong paling benci sama suami yang setelah kaya lupa sama istrinya. Sewaktu Ah Tiong, temen bisnis kami main gila sama sekretarisnya, Ah Liong ngomong sama Papi, ‘Bo nao… enggak punya otak! Si Ah Tiong mana bisa sukses kalo bukan gara-gara bininya?’”

Wim menatap Livi tajam-tajam. “Om Ah Liong bukan enggak punya salah. Enggak ada yang sempurna, Vi. Kalau Om Ah Liong mau bisnis nyerempet-nyerempet dikit, mereka tuh bisa lebih kaya lagi. Ah Liong instingnya tokcer, yang dia bilang jalan, beneran jalan. Yang dia bilang rugi, enggak lama rugi. Lemahnya Ah Liong itu orangnya gampang panas. Namanya orang … enggak ada yang shi quan shi mei, semua perfect. Enggak ada, Vi. Lebih di sini, kurang di situ.

“Kamu dah married sama Simon jalan tiga tahun, kan? Banyak enggak kekurangannya Simon?” tembak Wim.

Wajah Livi memerah. Ia teringat pertengkaran-pertengkaran kecilnya dengan Simon. Soal perbedaan pendapat soal uang, soal anak, atau soal pekerjaan.

“Banyak, kan? Tapi kamu tetep mau sama Simon, kan?”

“Ya iyalah, Pi.”

“Ya sama. Kamu udah married sama Simon, punya anak. Kamu enggak mikir Lisbeth juga pengin punya keluarga? Pengin punya suami, pengin punya anak? Jangan egois kamu, Vi. Kamu enggak cocok sama Bryan. Belum tentu Lisbeth enggak cocok sama Bryan.”

“Tapi ….”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here