Ah Liong berdeham gugup. Bryan mencoba untuk tersenyum sekalipun ia sama gelisahnya. Di hadapan mereka, Wim dan Heni bertindak sebagai tuan rumah yang ramah.
“Ah, ayo, tehnya diminum dulu. Ini Silver Moon TWG punya. Kemarin beli pas di KL,” terang Heni berusaha meredakan ketegangan di antara mereka.
Suasana setegang ini belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka sudah berteman lebih dari dua puluh tahun. Setahun, paling tidak tiga hingga empat kali mereka pergi bermain golf bersama ke luar kota atau bahkan ke luar negeri. Belum dihitung kumpul bareng tiap ulang tahun atau anniversary. Namun, semua tahu, yang akan dibicarakan hari ini, either can break their twenty years long friendship or make it stronger than ever.
“Makasih, Hen,” jawab Ah Liong. Ia menggosokkan telapak tangan di celana kainnya sebelum memulai berbicara. “Begini, Wim, Hen … kami datang ke sini … untuk, yah … ngobrol-ngobrol soal … rencana untuk … anak-anak kita. Bryan … dan Lisbeth.”
Suasana kembali sunyi. Ah Liong mencoba membaca Wim, tetapi seperti biasa, Wim dengan poker face-nya sangat sulit untuk ditebak.
“Bryan sudah … cukup umur. Lisbeth … juga … jadi, yah, kami berpikir untuk bagaimana kalau menjajaki kemungkinan mereka … menikah. Ini baru bicara-bicara antara kita saja. Kalau Wim dan Heni setuju, baru nanti kita bicarakan … yang resmi …. Termasuk soal tanggal, sangjit, dan lainnya.”
Wim melirik ke arah Heni, “Gimana, Mi?”
Heni melihat ke arah Wim, “Terserah Papi saja.”
Wim diam saja, kemudian akhirnya ia berkata, “Kalau Lisbeth setuju … Gue setuju dengan syarat.”
“Apa syaratnya, Om?” tanya Bryan cepat.
“Setelah menikah … kalian tinggal di sini,” jawab Wim tenang.
Wajah Ah Liong sedikit berubah. Dalam budaya Tionghoa, setelah menikah, anak perempuan keluar dari keluarganya dan masuk ke keluarga suaminya. Jia ji sui ji, jia gou sui gou, menikah dengan ayam ikut jadi ayam, menikah dengan anjing ikut jadi anjing. Jadi, bukan anak laki-laki yang tinggal di rumah mertuanya. Ah Liong hampir bereaksi, ketika merasakan tangan Mei Hwa menekan tangannya.
“Tidak masalah, Om,” jawab Bryan cepat. Tinggal di rumah Wim lebih aman buat Lisbeth daripada tinggal dengan papa-mamanya. Apalagi dengan papanya yang temperamental.
“Kami setuju,” jawab Mei Hwa cepat. Ah Liong hendak protes, tetapi istrinya menatap tajam.
Ah Liong terpaksa mengangguk. “Ya, tidak apa-apa.” Ia tidak ingin kehilangan muka di hadapan Wim.
Wim memanggil pembantunya, “Panggil Lisbeth turun.”
“Ehm … Om,” kata Bryan ragu-ragu, “saya rencana ngomong dengan Lisbeth sendiri.”
“Kapan?” tanya Wim.
“Sekarang, Om.” Bryan mengeluarkan kotak cincin yang sudah ia persiapkan. Ia sudah mempersiapkan jika Om Wim dan Tante Heni setuju, ia akan langsung melamar Lisbeth secara pribadi.
“Ya udah kamu naik ke lantai atas sana,” kata Wim tenang. “Sekalian aja mumpung papa-mama kamu di sini. Kalau Lisbeth mau, yah, langsung rundingan mau ting jing, lamaran kapan, sang jit, serah-serahan kapan.”
Dengan berdebar, Bryan ke kamar Lisbeth. Sampai di depan pintu kamar, Bryan ragu-ragu sejenak. Ia lalu mengirim pesan ke handphone Lisbeth.
Love, lagi ngapain? I’m outside your bedroom.
Ia mendengar suara orang turun dari ranjang dan berjalan ke pintu.
***
Lisbeth membaca pesan Bryan dengan kening berkerut. Bryan ada di rumahnya? Ada apa, ya? Ia beranjak turun dari ranjang, memakai piama satin pinknya dan membuka pintu.
Di depan pintu, Lisbeth menyaksikan Bryan berlutut. Di tangannya ada sebuah kotak perhiasan dari beludru biru, berisi sebuah cincin berlian dengan mata batu rubi 2.48 karat merah mengilat.
Ia mulai membuat gerakan dengan Bisindo, “Lisbeth, aku – cinta – kamu. Mau – jadi – istri – aku?”
Lisbeth menutup mulut dengan kedua tangannya. “Papa-Mama Bryan?” tanya Lisbeth ragu-ragu.
Bryan tersenyum lebar. “Di bawah sama Papi. Kalau Lisbeth bilang, ‘Ya’, mereka tentuin tanggal our wedding. Sekarang.”
Lisbeth masih terkesima. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Bryan akan melamar secepat itu. Apalagi Om Ah Liong masih dingin kepadanya. Ia sudah bersiap dengan kemungkinan mereka baru akan menikah bertahun-tahun lagi. Lisbeth sudah menegaskan kepada Bryan bahwa jika Ah Liong tidak merestui, Lisbeth tidak mau. Siapa sangka secepat ini?
Lisbeth melihat cincin bermata merah cantik berkilauan itu. Tadinya ia berpikir ia tidak akan menikah, dan sekarang. Senyum lebar tersungging di wajahnya. Buru-buru ia mengangguk dan memberi jawab, “Yes” dengan tangan kanannya.
Tersenyum lebar, Bryan menyematkan cincin ke tangan kiri Lisbeth.
“Ini rubi?” tanya Lisbeth.
“Coz you’re far above rubies,” jawab Bryan. “Thank you, Mrs. Bryan Lau.”
***
Tanpa permisi, Livi masuk kamar Lisbeth. Saat pesawatnya baru mendarat, ia membiarkan Simon dan Heni mengurus anak-anaknya dan langsung memelesat ke rumah orang tuanya. Ia harus bicara dengan Lisbeth. Di dalam kamar, sudah ada Liona yang juga kembali untuk merayakan libur Natal.
“Lisbeth,” panggil Livi, melambaikan tangannya di depan Lisbeth.
“Kamu … kenapa … pacaran sama Bryan?” tembak Livi langsung. “Kan, Cici udah bilang.” Livi duduk di sebelah Lisbeth. Matanya menatap Lisbeth lekat-lekat. Lisbeth diam saja. Liona menjawil tangan Livi.
“Kenapa tidak boleh?” tanya Liona heran. Livi mengabaikan Liona.
“Jawab, dong,” desak Livi.
“Aku maunya cuma sama Bryan.”
“Kenapa?” Wajah Livi mendung. “Cowok lain, kan, banyak … kenapa harus … Bryan? Dia tuh berengsek. Bukan cowok baik-baik! Kalau dia cuma mainin kamu gimana?” omel Livi.