Usai pesta, Ah Liong kembali ke kamarnya. Selesai mandi, seperti biasa sudah ada piama yang disiapkan oleh Mei Hwa di atas ranjang mereka. Piama baru lengan panjang, model yang disukainya. Sekarang, makin sulit mencari piama seperti ini. Ah Liong memakainya. Kulitnya merasakan kain lembut dan wangi. Tumben, piama baru biasanya kaku dan gatal.
“Hwa, ini piama beli di mana? Enak,” tanya Ah Liong kepada Mei Hwa yang membereskan lemari baju. Mei Hwa menatap Ah Liong sejenak sebelum menjawab.
“Itu hadiah Natal dari Lisbeth.” Mei Hwa mengeluarkan lima piama lain yang kelihatan sama halusnya. “Lisbeth jahitin buat elo, Liong. Wa juga enggak tahu ini bahan apa, halus banget, Liong.”
Piama ini pas. Tangannya pas, lengannya tidak sempit. Panjangnya pun pas. Bagaimana bisa Lisbeth membuat pakaian yang pas tanpa perlu mengukurnya?
Ah Liong menghela napas. Percakapan tadi kembali terngiang. Kini, semua tahu Bryan pacaran dengan Lisbeth. Ia tak pernah mengerti jalan pikir Bryan. Benny hanya perlu dipukul sekali sudah berubah. Bryan dari dipukul pakai tangan, ban pinggang, sampai dirotan, tetap tidak berubah.
Hal yang paling membuat Ah Liong murka adalah ketika Bryan mulai bermain perempuan. Menjijikkan. Semakin ia marah, semakin Bryan menjadi-jadi. Ia tak pernah mengerti jalan pikiran Bryan. Mengapa begitu keras kepala? Sekarang mau melamar anak Wim? Bo nao ….
Perbincangannya dengan Benny beberapa hari lalu kembali terlintas. “Pa, sekarang ini model bisnis yang disukai orang yang peduli dengan kaum marginal, isu-isu global, inklusif, lebih terbuka. Sebenarnya ada di undang-undangnya. Tapi enggak banyak perusahaan yang mau. We can take this chance, Pa. Lau Group Frontier in Their Field by Embracing the Different Ability Society,” papar Benny dengan gaya meyakinkan.
Harus ia akui, Benny pandai bicara dan selama ini insting bisnis Benny jarang salah. Anak sulungnya memang membuatnya bangga. Beda dengan Bryan … ia tak pernah bisa mengerti cara pikir Bryan. Mengapa ia tidak seperti Benny?
Bryan hati baik. Kali ini, wajah Lisbeth yang terbayang. Ah Liong terkejut ketika Lisbeth mengajaknya bicara. Gadis kecil pemalu yang dulu sering bersembunyi di belakang Wim kini bicara di hadapannya, membela anaknya. Bryan hati baik. Papa Bryan harus percaya.
“Jadi bagaimana, Pa? Branding kita bisa jadi bagus kalau kita support Yayasan dan … Lisbeth.” Pertanyaan Benny yang kapan hari belum ia jawab.”Kalau Papa setuju, nanti aku sendiri yang draf rencananya. Papa tahu beres.”
Ah Liong berpaling ke arah Mei Hwa. “Benny udah pulang?”
***
Bryan baru kembali dari mengantarkan Lisbeth. Ia sengaja berlama-lama di rumah Lisbeth, karena suasana di sana lebih menyenangkan daripada di rumahnya sendiri.
“Bryan!” tegur Ah Liong.
Bryan terkejut melihat papa-mamanya duduk di ruang tamu. Ia tidak menyangka mereka menunggunya kembali.
“Ya, Pa, Ma,” sapa Bryan.
“Duduk,” kata Ah Liong dingin. Bryan menghela napas. Salah apa lagi dia. Bryan duduk di hadapan papa-mamanya.
“Bo nao! Lo tuh apa-apaan? Enggak punya otak lo, ya? Beraninya pegang-pegang Lisbeth di depan banyak orang! Di depan Wim, pula! Bo kien siao! Enggak punya malu!” bentak Ah Liong.
Bryan menghela napas. “Maaf, Pa.” Ia malas bertengkar.
“Di depan umum aja lo berani begitu! Kalau berduaan sudah ngapain aja lo orang, Ha?”
“Enggak ngapa-ngapain, Pa.” Bryan sungguh muak.
Ah Liong mendengus kesal. Mei Hwa meraba lengan suaminya berusaha menenangkannya.
“Bener?”
“Bener, Pa. Bryan serius sama Lisbeth. Enggak bakal Bryan apa-apain.”
Ah Liong menelan ludah. “Yakin lo serius? Ini anaknya Wim. Lo tahu Wim itu kayak apa. Tampangnya kalem-kalem, tapi kalau lo nyakitin Lisbeth, habis lo. Bukan cuma lo yang habis, Papa juga habis!”
Bryan menarik napas lagi. “Pa … sumpah. Aku tuh sayang banget sama Lisbeth. Enggak bakal macam-macam.”
“Cewek-cewek yang dulu?” selidik papanya.
“Udah enggak ada, Pa.”
“Lo u kak pak lang se kia bo wan gua khao—Lo enggak ada anak haram kan di luar sana?” tanya Ah Liong keras.
“Enggak, Pa. Aku … selalu pake. I’m not stupid,” geram Bryan.
“Ya sudah. Lo … kapan mau melamar?” putus Ah Liong yang membuat Bryan nyaris terjatuh.
***
Wim baru akan mematikan ponselnya ketika pesan dari Bryan muncul.
Selamat malam, Om. Apa besok saya bisa ketemu, Om? Ada yang penting yang mau saya bicarakan.
Wim tersenyum-senyum sendiri. Ah Liong … Ah Liong … gampang banget sih baca kamu. Wim teringat kejadian sore tadi. Ia berpapasan dengan Lucky di koridor rumah Ah Liong. Lucky lalu menanyakan apakah ada sesuatu antara Lisbeth dan Bryan.
“Lisbeth?” Lucky melempar pandang ke arah Bryan yang duduk berdekatan dengan Lisbeth.
“Sama Bryan?” tanya Wim lagi.
“Iya. Pacaran mereka?” Suara Lucky terdengar gembira.
Wim tertawa.
“Waduh … gong xi, gong xi …” Tiba-tiba wajah Lucky berubah, “Lo enggak papa ama Bryan?”
“Kenapa enggak?” Wim balik bertanya. Senyumnya tetap menggembang. “Gue sih setuju. Tapi ….”
“Ah Liong, ya?” bisik Lucky sambil mengerling jenaka. Biar bagaimanapun, sore itu mereka tamu di rumah Ah Liong.
Wim hanya tersenyum.
Lucky langsung tertawa. “Kalo Ah Liong, lo serahin aja ke gue. Pasti beres.” Lucky tertawa sambil menepuk bahu Wim.
“Kalau beneran beres, kita cruise habis ini,” tawar Wim.
“Mantap! Lana mau ke Alaska.” Lucky menyeringai gembira.
Wim mengangguk puas, Lucky dan Lana memang sangat bisa diandalkan untuk memancing Ah Liong. Semua bidak sudah masuk sesuai rencananya.
[1] jiè dāo shā rén: Menggunakan pisau pinjaman untuk membunuh orang lain.