“Om Ah Liong tidak suka Lisbeth?” tanya Lisbeth dengan sedikit terengah.
Mulut Ah Liong membuka, tetapi lalu menutup lagi.
“Lisbeth, cari pacar lain.”
“Om tak suka karena Lisbeth Tuli?”
Ah Liong membisu. Lisbeth memberanikan diri membaca wajah Ah Liong. Apakah ada kebencian di matanya? Namun, Lisbeth hanya menemukan kegelisahan di sana. Bukan kebencian, bukan kemarahan, melainkan kegelisahan. Apa yang membuat Om Ah Liong gelisah? Hati Lisbeth bertanya-tanya. Jantung Lisbeth berdebar kencang. Ia tak nyaman berbincang dengan orang yang tidak ingin bercakap-cakap dengannya.
“Apakah karena masa lalu Bryan?” tebak Lisbeth.
Ah Liong kembali tak menjawab. Beberapa kali, Lisbeth menggosok telapak tangannya yang berkeringat ke baju. Kakinya lemas dan sebenarnya ia ingin kabur, lari sejauh-jauhnya. Ah Liong menggumamkan sesuatu, lalu ia membalikkan badan.
Jantung Lisbeth mencelus, tapi entah keberanian dari mana dengan tangan gemetar Lisbeth menepuk bahu Ah Liong lagi. Jantungnya sungguh seperti mau berhenti.
Lisbeth mengumpulkan keberaniannya, terbata-bata ia berkata, “Bryan … hatinya baik. Tolong, Papa Bryan mengerti.” Ah Liong hanya diam seperti bingung harus bicara apa.
“Om tidak setuju Lisbeth dengan Bryan, Lisbeth …. “ Kalimatnya terhenti. Ia ingin Ah Liong setuju, tetapi ada hal lain yang lebih ia inginkan. “Lisbeth … tidak apa-apa. Tapi, tolong Om percaya kalau Bryan hati baik.”
Tanpa menunggu jawaban, Lisbeth langsung berbalik. Ia tak ingin Ah Liong tahu kalau ia hampir pingsan! Ini kali pertama ia mendebat orang dengar di luar keluarganya. Lisbeth tak tahu apakah Ah Liong mengerti perkataannya atau tidak, tetapi beban besar terangkat dari hatinya. Setelah detak jantungnya kembali normal, Lisbeth menoleh ke belakang, Ah Liong sudah lenyap.
***
Have yourself a very merry Christmas ….
Suara merdu Michael Bublé berkumandang di seluruh ruangan. Rumah Ah Liong dihiasi dengan meriah. Pohon Natal besar dengan hadiah-hadiah tertata cantik di dekat grand piano.
Sore ini, mereka berkumpul untuk merayakan Natal seperti tahun-tahun yang lalu. Mei Hwa, Vina, bersama Lana sedang menata buah-buahan dan dessert di atas meja. Heni bermain sambil berbincang dengan Anissa dan putrinya, Kayleen. Anak-anak Benny asyik bermain PlayStation Wii dengan anak-anak Adam, kakak Anissa. Sedangkan Ah Liong, Lucky, Afung, dan Wim duduk di area meja makan. Benny, Dimas, dan Adam duduk di ujung satunya lagi. Golongan Papa-Mama sibuk bercengkerama, sementara Benny, Dimas, dan Adam membicarakan bisnis mereka.
“Liong, jadi kapan mau ngelamar buat Bryan?” tembak Lucky sambil tertawa.
Ah Liong hampir tersedak mendengar pertanyaan Lucky. “ Wa … enggak mau paksa-paksa lah. Qiang niu de gua bu tian, labu yang dipilih paksa, enggak manis. Ini kan bukan wa yang jalanin.” Ah Liong berusaha tampak diplomatis.
“Yah, bukannya maksa, tapi dari tadi aja udah mojok berdua gitu,” goda Lana sambil meletakkan sepiring semangka potong di meja. Ia melirik Lisbeth dan Bryan yang duduk di seberang meja makan. Mereka asyik dalam dunia mereka sendiri.
“Bryan masih muda. Belum siap lah,” elak Ah Liong lagi.
“Aduh Benny seumur Bryan udah punya anak. Lo enggak pengin cepet-cepat kelarin? Bryan married kelar dah tugas lo,” sambar Lana. Seusai menata buah, ia duduk di sebelah suaminya, Lucky.
“Tugas ortu kapan kelarnya, sih?” Ah Liong mencoba bercanda. “Wine?” Ia menuangkan anggur ke gelas Lucky.
“Thanks. Kalo gue jadi lo, Liong, udah cepat aja gue lamar Lisbeth. Anaknya Wim! Siapa yang enggak mau besanan sama Wim?” Lucky kembali ke pokok pembicaraan sebelumnya.
Wim hanya tertawa. Ia asyik mengupas kuaci.
“Zaman udah beda, Ky. Wa enggak mau ikut-ikutlah sama urusan rumah tangga anak. Maksud kita baik, belum tentu mereka terimanya baik. Ya, kan, Wim?” Ah Liong bersikukuh.
Wim tersenyum. “Bener kata Ah Liong.”
Ah Liong tersenyum bangga. Wim memihak kepadanya. “Ortu mah mengawasi aja. Kalau gue, kalau anaknya mau, ya kita restui. Dibuat gampang,” ujar Wim santai. “Bener enggak, Liong?”
Muka Ah Liong memerah. Dasar Wim! Makin tua makin pintar bersilat lidah.
“Kalau anaknya mau yah kita restui,” kata Wim.
Apa maksud kalimat itu? Huh!
“Ah, bener. Bener.” Ah Liong terpaksa mengiakan kata-kata Wim. Matanya tanpa sengaja melihat Bryan dan Lisbeth. Tangan kiri Bryan mengelus-ngelus lutut Lisbeth. Amarah Ah Liong mulai muncul. Anak gila! Bo nao! Di depan segini banyak orang, di depan Wim, pula, berani-beraninya begitu! Bo kien siao! Taruh di mana muka wa? Dikiranya wa enggak bisa didik anak!
“Ahem…” Ah Liong berdeham sambil melirik tajam ke Bryan. Bryan menangkap raut muka tidak senang papanya lalu cepat-cepat menurunkan tangan.
“Alah, Liong … Liong … lo kayak enggak pernah muda aja,” gelak Lana sambil tertawa berderai-derai. “Biarin lah … Udah sama-sama gede. Sama-sama suka ini.”
“Enggak sopan, Lan. Di depan umum lho,” gerutu Ah Liong.
“Liong … lo denger gue dah. Mending lo dapat mantu kayak Lisbeth. Udah jelas keluarganya, jelas didikannya. Jelas emang suka sama Bryan bukan karena duitnya,” kata Lana. “Anak zaman sekarang, beda sama zaman kita dulu! Dulu mah perempuan malu kalau married cuman demi harta. Sekarang? Beuhhh … lo enggak liat noh mantannya si Dimas? Dulu gue sampe kagak bisa tidur pas Dimas masih pacaran sama itu cewek. Matrenya enggak ketulungan! Belakangan kebukti kan feeling gue enggak salah. Emang cewek murahan!”
“Enggak semua begitu, Lan,” bantah Ah Liong.
“Yah, masa lo mau nunggu Bryan dapet yang matre baru sadar? Pas gue liat itu cewek pake Birkin, langsung tahu dah gue, pasti anak gue yang beliin! Dia kerja apa sih, mana dapat gajinya beli Birkin?” Nada Lana meninggi.
“Lo masa mau sih, Liong, lo kerja capek-capek, Bryan kerja capek-capek buat bayarin bini yang cuman doyan belanja? Habis harta lo, Liong, kalo dapet mantu kayak begitu,” keluh Lana panjang lebar. “Lo mana tahu itu perempuan beneran cinta sama anak lo atau cuman mau hartanya? Gue sih maunya bini yang beneran cinta sama anak gue dong!”
“Eh, itu ada benernya lho, Liong.” Afung, papa Anissa ikut berkomentar. “Itu liat mantunya si Eng Hua, kasian banget Eng Hua. Ditipu mentah-mentah sama mantunya. Katanya minta modal bikin join franchise apa. Enggak tahunya duitnya dipake buat melihara bini muda. Sampe beranak, pula! Istrinya Eng Hua sampai stres.”
Ah Liong mulai gelisah. Habis harta … benar juga. Kenapa ia tak berpikir ke situ?
“Nah, lo dengerin kata Afung. Gue makanya begitu lihat Dimas deketin Anissa, langsung gue tanya aja si Dimas. Kalau mau sama Anissa, Mama lamarin sekarang. Daripada Mama dapat mantu perempuan enggak jelas, mendinganlah sama anaknya si Afung. Kita toh udah temenan lama banget. Anissa kerjanya pinter. Pinter cari duit, pinter ngatur duit, pinter ngurus Dimas juga. Udah kenal dari kecil, semua adat jelek juga udah tahu. Mau berantem apa lagi?”
Siska, mama Anissa tertawa mendengar tutur Lana. “Aku juga bilang sama Anissa. Kamu kalau enggak mau Dimas, Mami enggak tanggung kalo enggak ada cowok lain yang mau sama kamu. Kamu galaknya kayak mak lampir. Salah-salah berantem mulu sama mertuanya. Pusing kita.”
Lana pun tertawa berderai mendengar ucapan Siska. “Hwa, enakan kalau besanan sama temen. Udah sama-sama tau. Cincai lah.”
Senyum kecut menghiasi wajah Mei Hwa. “Eh, ini jangan ngobrol aja, pudingnya dimakan, dong.” Ia bangkit dan membagikan puding kepada tamu-tamunya.
“Gue balik dulu, ya,” pamit Wim sambil bersiap berdiri. “Besok sore mau ke KL sama Heni.”
“Lomba lagi?” tanya Afung.
“Semifinal,” tawa Heni.
“Hebat lho, Wim, udah tua masih melantai aja,” goda Lana.
“Lisbeth,” panggil Wim.
“Saya yang anterin pulang, Om.” Bryan bangkit menawarkan diri.
“Lisbeth bawa kunci?” tanya Wim datar.
Lisbeth mengangguk. “Bawa, Pi. Lisbeth enggak malam-malam, kok.”
“Jangan malam-malam,” pesannya singkat.
“Iya, Om.” Bryan mengangguk sambil tersenyum. “Makasih, Om.”
Lucky berbisik ke arah Ah Liong. “Liong … pikir deh. Wim kayaknya suka sama Bryan. Kalau enggak suka, mana mungkin dikasih nganterin Lisbeth pulang? Mantunya yang gede kan enggak bisa bisnis. Lo tahu lah lo harus ngapain, Liong.” Lucky tersenyum memberi kode sambil menepuk bahu Ah Liong.
***