Bryan baru melepas sepatu ketika sebuah suara terdengar.

“Bryan,” panggil mamanya. Ia nyaris terlonjak menyadari sosok mamanya duduk dengan tegang di ruang tamu. 

“Lho, Mama belum tidur?” tanya Bryan heran. “Sudah mau jam dua belas lho.”

“Duduk. Mama mau bicara.” 

“Kenapa, Ma?” Bryan sedikit gugup. 

“Kamu serius sama Lisbeth?” todong Mei Hwa. 

“Ya iyalah, Ma.”

Mei Hwa meremas-remas ujung dasternya. “Jangan bawa Lisbeth ke kamar kamu. Enggak baik.” 

“Kami enggak ngapa-ngapain, Ma,” sergah Bryan.

Mei Hwa hanya mendengus. “Tadi Mama enggak sengaja lihat kalian di kamar.”

Bryan menepuk jidatnya. “We’re just kissing, Ma!”

“Kalian belum … begitu, kan?” tanya Mei Hwa.

“Enggak lah, Ma! Bisa diganyang aku sama Om Wim!” rutuk Bryan. “I’m not stupid, Ma!”

“Iya, makanya!” Suara Mei Hwa meninggi. “Kamu jangan coba-coba!” Mata Mei Hwa makin berkerut.

Bryan menghela napas. “Ma … biar aku ngelamar Lisbeth. Mama mau aku menikah, kan?”

Bunyi jam yang berdentang dua belas kali memecah keheningan mereka.

Mei Hwa menarik napas pelan-pelan. “Nanti Mama bicara sama papa kamu. Tapi janji sama Mama … kamu enggak akan ngapa-ngapain Lisbeth!”

“Iya, Ma.”

“Udah bobo sana gih,” usir Mei Hwa.

Wan an, Ma.”

***

Mei Hwa membuka bungkusan bakmie Hock Seng dan menatanya di piring dengan hati berdebar. Ah Liong menuju meja makan sehabis berolahraga di halaman. 

“Liong, ini bakmi Hock Seng Muara Karang kesukaan lo.” Ia ingin membicarakan hal penting dengan Ah Liong.

“Cocok buat sarapan,” ujar Ah Liong. Mei Hwa menyodorkan bakmi Hock Seng toping kepiting segar, udang besar, telor bebek, dan bakso ikan plus taburan bawang goreng.

“Nih, Liong, susu kacang kedemanan lo.” Mei Hwa melayani suaminya. “Bakmi spesial, kwetiauw campur bihun.” ujar Mei Hwa. Dalam hati, ia berdoa semoga Ah Liong gembira sehingga mudah diajak bicara. Semalaman, ia tidak tidur karena sibuk menyusun rencana.

Wajah Ah Liong berseri melihat semangkuk bakmi yang tampak menggugah selera. Ia duduk dan mulai mengaduk bakminya. Mei Hwa duduk di sebelahnya sambil mengatur ancang-ancang.

“Lo enggak makan?” tanya Ah Liong.

“Enggak tadi baru makan yam cake,” jawab Mei Hwa. Benaknya sibuk berlatih kalimat pembuka yang akan ia utarakan. 

Setelah mi suaminya habis hampir separuh, Mei Hwa baru membuka mulut. “Liong … wa mau ngomong.”

“Hmm ….”

Wa … bilang ya, Liong, udahlah kita lamar Lisbeth buat Bryan.”

Muka Ah Liong berkerut.

Luan Jiang ngomong sembarangan. Lo baru dikasih blus udah kemakan. Wa bisa beli sekalian sama pabriknya,” omel Ah Liong.

Mei Hwa menghela napas. “Bukan begitu, Liong …. Wa khawatir. Anak lo itu … nafsunya gede. Wa takut kalo dia luan lai sembarangan sama anak gadis orang, em sa em si, kagak mikir entar kenapa-kenapa, lagi.”

“Yah, lo kasih tau, jangan sampe dia si suai lai ngapa-ngapain anak orang,” hardik Ah Liong.

“Liong, lo tahu kan adatnya anak lo yang itu … teng thao, kepala batu,” sergah Mei Hwa. “Lo pikir dah, Liong. Lisbeth Tuli … tapi semua juga tahu dia dari keluarga baik-baik. Didikannya baik. Lisbeth Tuli, tapi anak lo juga bukan malaikat! Mana ada anak dari keluarga baik-baik mau sama si Bryan? Sekolah kagak beres, maen cewek juga … Semua juga mikir, kali, punya menantu kayak Bryan. Lah, ini kebetulan, Lisbeth ada kurangnya juga. Keluarga Wim enggak bisa ngeremehin Bryan, kita juga enggak perlu ngomong macam-macam. Tahu sama tahulah.”

“Lo mau punya cucu Tuli?”

“Yah urusan cucu mah, Liong. Urusan mereka orang. Tugas kita kan cuma ngurus anak. Cucu biar mereka yang urus. Paling sue ya, Liong, paling sial Tuli juga, lo kira Wim bakal diem? Mereka juga punya sekolah, Liong. Kagak bakal sengsara punya. Kita juga duit enggak kurang. Duit enggak dibawa mati, Liong. Duit semua juga buat anak-cucu kita.”

Ah Liong tetap memakan mi tanpa menghiraukan Mei Hwa.

Wa … selama jadi bini lo, wa jarang minta apa-apa. Kali ini, Liong, dengerin permintaan wa. Mumpung belum kenapa-napa. Kita lamar Lisbeth baik-baik, biar mereka nikah baik-baik, habis itu urusan dia orang. Tugas kita kelar.”

“Taruh di mana muka kita kalo sampe punya mantu Tuli?” geram Ah Liong.

Mei Hwa mengelus tangan suaminya. “Liong, biar Tuli, Lisbeth itu namanya baik. Anaknya guai-guai. Daripada itu mantu ceweknya si Wira. Ketauan main gila sama pelatih fitness-nya. Apa enggak lebih malu? Anaknya Wira mau cerai kagak berani, karena selama ini semua dibayarin mertuanya, tetep married juga malu. Bininya Wira tiap arisan kagak berani ngomong apa-apa. Dateng duduk aja. Kagak datang juga salah. Datang juga enggak enak!” cerocos Mei Hwa.

“Huh.”

“Lo pikirin, Liong … sebelum telat. Sekarang, kita masih punya muka. Malah mungkin … di mata orang, kita keliatan baik, Liong.” Mei Hwa tahu persis betapa suaminya ingin kelihatan baik di depan semua orang.

Wa mandi dulu … ada rapat.” Ah Liong bangkit. Ia meninggalkan piring kotornya di meja makan. Mei Hwa hanya bisa berharap Ah Liong mau berubah pikiran. Demi Bryan. Demi nama baik keluarga mereka.

***

Minggu demi Minggu, Bryan selalu membawa Lisbeth ke rumahnya. Ia yang biasanya paling malas berkumpul, sekarang selalu hadir. Lisbeth pun mulai dekat dengan Vina.

“Beth … kata-kata Papa jangan dimasukin hati. Papa emang gayanya begitu. Tapi Papa enggak jahat, kok,” jelas Vina. Ia sedang mengajari Lisbeth membuat ci cong fan kesukaan mertuanya. “Lipetnya seperti ini. Papa enggak suka kalau isinya keluar.”

Lisbeth mengangguk. Ia berusaha melakukan persis seperti yang Vina ajarkan. Dalam hati, ia bersyukur ada Vina di rumah Bryan. Tante Mei Hwa terkadang masih suka salah tingkah ketika berhadapan dengannya. Kadang ramah, tapi kadang juga, ah entahlah. Om Ah Liong selalu diam jika ada Lisbeth. Ko Benny pun paling banter hanya tersenyum.

“Wah, ci cong fan-nya enak, Vin,” puji Ah Liong kepada menantunya.

Vina hanya tersenyum, “Yang bikin Lisbeth, Pa. Vina cuman liatin aja.”

Ah Liong langsung diam. Senyum lenyap dari wajahnya.

Selesai makan, Lisbeth dengan ragu-ragu menyelipkan kotak kayu ke tangan Bryan. Seolah-olah mendesak Bryan memberikannya kepada Ah Liong. Saat melihat Mei Hwa ke dapur untuk mengambil dessert, Lisbeth buru-buru melipir ikut ke belakang.

“Pa,” panggil Bryan sambil menyerahkan kotak kayu berisi dasi kepada papanya. “Ini Lisbeth jahitin buat Papa.”

“Hmm,” dengus Ah Liong. Ia tidak melirik ke arah kotak kayu hitam itu.

Bryan kembali ke kursinya. “Dilihat dulu, Pa, Lisbeth … jahit pake … tangan.”

Brak!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here