Perlahan, Bryan mengeluarkan kartu Hallmark bertuliskan Thank You. Lisbeth memintanya untuk memberikan jawaban dalam bentuk tertulis. Sebelum memberikannya kepada Lisbeth, ia menambahkan satu kalimat yang ia tulis dengan tergesa-gesa.
Jangan khawatir, Bryan pasti baik-baik saja.
Konyol! Lagi-lagi menyembunyikan kenyataan dari Lisbeth. Bryan lalu menghadap Lisbeth dan mulai membaca suratnya.
“Dear Lisbeth, makasih buat semuanya. I love you.” Bryan berhenti sejenak. Always, bisik batinnya. “Ahem … jangan khawatir. Bryan pasti baik-baik saja.” Suara Bryan serak sekali, tetapi Lisbeth tentu tidak bisa mendengarnya. “If you give me a second chance, I promise I will be faithful to you for the rest of my life.” Bryan melipat kartunya dan menaruhnya di atas meja.
Giliran Lisbeth mengeluarkan suratnya, lalu memberikan kepada Bryan. “Bryan baca sendiri, ya.”
Bryan membuka amplop putih itu. Tangannya sedikit bergetar. Apa yang ia dapati bukan surat melainkan syair lagu.
Dear Bryan,
Di saat kukatakan cinta, itu berarti untuk s’lamanya.
Kub’rikan hatiku dengan tiada terbagi seperti yang kulakukan kini
Bagaimana mengukur cinta? Selain dengan hati saja
Tak ingin berpisah, rindu selalu bersama, seperti yang kurasakan bahagia.
Reff: Waktu jua membuktikan cinta kuat seperti maut
Kuhidup hanya untuk satu nama.
Apa pun kan kulakukan, ke mana pun kumau ikut, segalanya hanyalah demi cinta.
I love you, Bryan. Love keeps no record of wrongs. It always protects, always trusts, always hopes, always perseveres.
Bryan membaca kertas itu berulang kali. Ia ingin meyakinkan diri bahwa ia tidak salah menangkap.
Bryan mencari kata but. I love you but .… Ia mencari kata tapi. I love you, tapi kita ….
Namun, tak ada kata but, tak ada kata tetapi.
Hanya ada I love you.
“Lisbeth mau?” tanya Bryan perlahan. Ia masih tidak percaya. Ia takut salah tangkap. Lisbeth mengangguk sambil tersenyum.
“Ke-kenapa?”
“Aku berjuang supaya teman Tuli diberi kesempatan. Lalu,” jemari Lisbeth meraih telapak tangan Bryan, “Bryan meminta kesempatan juga … kita mungkin bisa sama-sama, saling memberi kesempatan.”
Jarum-jarum tajam yang selalu menusuk hatinya semua hilang. Ia segera mendekap Lisbeth erat-erat. Bahunya berguncang ketika kalimat Anissa terngiang di benaknya, “You’re also a man worth fighting for.”
Tanpa bisa dibendung Bryan melumat habis bibir Lisbeth. Dadanya berdesir lega ketika Lisbeth juga membalas ciumannya. Sesaat, Bryan menghentikan ciumannya.
“Lisbeth, kenapa tadi tidak mau dicium?”
Tawa pecah dari mulut Lisbeth. “Iseng. Wajah Bryan lucu banget. Seperti mau nangis.”
Bryan mencubit hidung Lisbeth. “Iseng kamu!” Sambil tetap memeluk pinggang Lisbeth, Bryan memaparkan rencananya untuk tetap melanjutkan konseling mereka dengan Bu Yuli hingga benar-benar tuntas. Ia merasa perlu membereskan luka-luka masa kecilnya supaya ia tak perlu terus hidup di bawah bayang-bayang masa lalunya.
Ketika tiba waktunya pulang, Bryan memeluk dan mencium keningnya. “Thank you,” kata Bryan dengan ASL. Ia menempelkan jarinya ke bibir Lisbeth. “Good night kiss, for … Mrs. Bryan Lau.”
Wajah Lisbeth memerah, “Apaan sih?”
“Kalau Babe, Darling, Yang, itu banyak. Tapi kalau Mrs. Bryan Lau, ya cuman kamu.”
***
Bulan depannya, ketika kumpul-kumpul keluarga, Bryan membawa Lisbeth. Ia tahu, papanya tidak akan berani macam-macam di depan Lisbeth. Dugaannya betul. Ah Liong hanya mendengus, yang tentu saja tidak didengar oleh Lisbeth ketika Lisbeth memberikan blus chiffon biru toska kepada Vina dan Mei Hwa.
“Makasih, Lisbeth. Bikin sendiri, ya?” tanya Vina semringah.
“Iya. Nanti dicoba, ya. Kalau kurang pas, nanti Lisbeth perbaiki,” balas Lisbeth..
Benny menjawab, “Terima kasih” dengan menggunakan ASL. Benny masih ingat, masa-masa mereka kecil, Livi suka mengajari mereka semua beberapa kata ASL sederhana, seperti terima kasih, papa, mama, kakak, adik. Mana pernah muncul dalam pikirannya, Lisbeth mungkin akan menjadi adik iparnya? Will it cause a disruption for their family business or … will it create a better branding?
Otak Benny berputar cepat. A more inclusive family business. The Laus care for the marginalised group. Hmmm … The Laus: Frontier in Their Field by Embracing the Different Ability Society. Well well well … it may not be a bad decision.
Sementara Benny sibuk berkutat dengan rencana bisnisnya, Lisbeth membuntuti Mei Hwa ke dapur seperti anak kucing. “Ada yang bisa dibantu, Tante?”
“Oo itu burung dara goreng. Masih ada yang belum digoreng.” Mei Hwa sedang sibuk dengan salad buahnya. “Ti, puddingnya udah jadi belum?” teriaknya kepada pembantu mereka.
Lisbeth mencoba menyalakan kompor. Ia tidak pernah masuk dapur. Ah, untung akhirnya menyala. Mei Hwa tiba-tiba datang dan membesarkan apinya. “Terlalu kecil. Nanti tidak panas-panas.”
“Ah,” gumam Lisbeth. Begitu minyaknya mulai panas, Lisbeth tiba-tiba ingat kenapa dia tidak suka memasak. Minyak di wajan mulai bercipratan. Lisbeth mengambil satu burung dara goreng dan dengan takut-takut melemparkannya ke dalam wajan.