“Kopi Sunyi?” Mata tajam Wim menilai Bryan dari balik kacamata baca. Bryan merasa dikuliti habis-habis bahkan sebelum ia bicara.
Bryan berdeham. “Kalau ke kafe, selain makanan dan minuman yang mereka jual, mereka juga menjual atmosfer. Lagu yang enak, tempat yang nyaman. Lalu, saya berpikir–“ Bryan berhenti sejenak, mencoba menenangkan perasaannya. “Saya teringat … Lisbeth dan Teman-teman Tuli. Kalau di Bandung ada kafe untuk pengunjungnya merasakan makan sebagai orang buta, saya mau coba, kalau Om setuju tentu saja. Kafe yang tidak hanya ada staf Tuli dan Bisindo, tetapi juga membawa orang-orang yang mau merasakan menjadi Tuli sejenak.
“Bagaimana caranya?”
“By appointment only, Om. Yang berminat akan dipinjamkan earplug dan Bose Noise canceling headset. “
“Harus Bose? Mahal loh.”
“Saya sudah coba beberapa headset lain. Bose yang paling mantep, Om. Yang lain masih kedengeran suara.”
Sesaat, Om Wim diam.
“Tentu saja ini kalau Om bersedia, kalau nggak, ini optional.”
“Anak Tuli siapa yang bisa bantu?”
Senyum muncul di bibir Bryan. “Danar, Om.”
Wim mengangguk-angguk puas. “Om setuju.”
***
Nala dan Lisbeth berdiri di sekitar meja. Beberapa kain batik cap dengan warna-warna lembut, merah muda pastel, abu-abu muda, dan biru langit bertebaran di sekitar mereka.
“Peach blossom, bagaimana?” tanya Lisbeth. “Seperti bunga tertiup angin. Kemarin pakai bordir kaku. Pakai batik cap malah bagus.”
Nala meraba kain berwarna merah muda dengan senyum mengembang. “Lembut, ya.”
Lisbeth mengangguk bersemangat. Ia lalu membolak-balik sketsanya. “Model seperti ini?” Sketsa menggambar 2 model perempuan, yang pertama mengenakan dress selutut lengan balon dan ikat pinggang kain dengan warna senada. Gambar kedua adalah multiway tops.
“Ini seperti model Jepang, Kimono,” jelas Lisbeth. Ia lalu mematut dirinya dengan satu contoh yang sudah ia jahit. Lisbeth menunjukkan empat cara berbeda untuk memakai ikat pinggang kain yang sudah ia rancang. Nala memberi jempol seraya tersenyum.
Sekonyong-konyong Nala bertanya, “Bryan bagaimana?” Wajah Lisbeth sontak menjadi muram. Nala menulis di balik sketsa Lisbeth lalu memberikannya kepada Lisbeth.
Every saint has a past, every sinner has a future.
Alis Lisbeth terangkat. Ia pikir Nala akan menentang keras!
Perlahan, Nala menjabarkan hal-hal yang ia lihat dari Bryan. Bagaimana ia belajar bahasa isyarat, bagaimana Bryan memperjuangkan Danar.
“Pengalamanku buruk,” kata Nala. “Masih ingat dulu jariku terkena gunting?” Nala menunjuk gunting kain tajam bergagang hitam.
“Nala menggunting tidak pakai mata!” Lisbeth tersenyum mengenang masa kecil mereka.
“Aku takut pakai gunting, tapi gunting di tangan Lisbeth jadi baju bagus,” ucap Nala. “Every saint has a past, every sinner has a future.”
“Instagram bagaimana?” Lisbeth mengalihkan pembicaraan. Nala membuka Instagram dan menunjukkan logo baru mereka Lis-La. Sudah ada beberapa posting yang Nala buat. Lisbeth membenarkan saran Nala, komunikasi lewat teks jauh lebih mudah untuk mereka. Ia lebih percaya diri dengan usahanya kali ini, karena ada Nala yang membantu di bagian keuangan sehingga ia bisa fokus ke desain dan kualitas baju.
Bagaimana dengan Bryan? Pertanyaan yang melayang-layang di benaknya. Pertanyaan yang belum mau ia jawab.
“Non, ada bunga dan keik.” Seorang ART masuk membawa sebuket mawar besar dan sebuah kotak kue berwarna putih. Nala buru-buru menghampiri Lisbeth dan mengintip ke dalam kotak, Red Velvet.
“Wangi,” kata Nala seraya menjilat bibirnya. Sebaliknya, Lisbeth hanya menghela napas. Di kulkas ada macaron, cokelat Godiva, juga Tiramisu. Semuanya dari Bryan. Ia meraih gawainya lalu mulai mengetik.
“Bryan kenapa boros sekali?”
“Tidak boros.”
Bibir Lisbeth bertambah maju.
“Bagaimana tidak boros? Kamar Lisbeth sudah seperti toko bunga! Apa Bryan membeli hadiah-hadiah supaya Lisbeth tetap mau dengan Bryan?”
Lisbeth kesal. Baginya ini semua terlalu berlebihan. Pemborosan.
Bryan is typing … lalu hilang.
Bryan is typing … dihapus.
Lisbeth menunggu.
“Iya? Apa Bryan lupa kata Bu Yuli? Bryan harus memberi ruang supaya Lisbeth bisa memutuskan. Tidak boleh memaksa.”
Bryan is typing ….
“Bukan. Bukan untuk memaksa.”
“Lalu untuk apa?”
“Lisbeth tahu apa yang paling sakit kalau sayang sama orang?”
“Enggak.” Lisbeth mengetik sambil mengernyitkan dahinya. Mencoba menebak arah jawaban Bryan.
“Kalau kamu masih sayang, tapi … Kamu enggak bisa terus nunjukin kalau kamu sayang. aku cuman enggak pengin nyesel, kalau nanti ternyata Lisbeth putusin untuk enggak lanjut. Lalu aku lihat sesuatu dan nyesel, kenapa dulu enggak bawa Lisbeth ke sini? Kenapa dulu enggak beliin Lisbeth ini? Atau ini kayaknya Lisbeth suka, tapi aku enggak bisa beliin, bukan karena nggak ada uangnya, tapi karena sudah nggak ada kesempatan.”
Lisbeth diam saja. Sebenarnya, ia bukan hanya tidak ingin Bryan memboroskan uang. Ia melirik bunga-bunga itu. Lisbeth bingung. She can feel his love at every single flower or gift that she received. Akan lebih mudah jika Bryan cuek atau mengatakan hal-hal yang membuatnya sedih. Lebih mudah begitu. Lisbeth tinggal berkata, Bryan jahat. Selesai. Namun, ini tidak. She feels his love, his sincerity, his … hope. She doesn’t want to lose it. She doesn’t want to break his heart.
Lisbeth berusaha menyusun daftar kesalahan Bryan yang bisa membuatnya layak dikategorikan sebagai bukan cowok baik-baik, seperti kata cicinya. Semakin ia menulis, justru semakin banyak hal-hal baik yang ia ingat. She’s torn. Hatinya berteriak, Bryan bukan orang jahat. Namun, suara lain mengatakan, bagaimana jika … ia begitu lagi?
Bryan is typing ….
“Aku cuma enggak mau nyesel. Pasti nanti akan ada tempat baru, barang baru yang kalau lihat kepikir, Lisbeth kayaknya suka. Please let me pamper you… while I still have the chance.”
Why does he love her so much? If only he loves her a bit less. If only he’s rude. Or cold.
Nala menaruh tangannya di bahu Lisbeth. “Kita, Tuli, ingin orang memberi kita kesempatan. Betul tidak?”
“Tentu saja!”
“Bryan juga sama.” Nala menghilang ke dapur. Ia kembali dengan sebuah piring dan pisau kue. Ia memotong Red Velvet dari Bryan dan memberikannya kepada Lisbeth.
***
Bryan melambatkan mobilnya di depan deretan ruko saat mencari tempat parkir. Matanya melirik Lisbeth yang sepanjang perjalanan duduk diam seperti patung. Dari samping, Bryan bisa menatap hidung Lisbeth yang mancung dan bulu matanya yang lentik. Rasa nyeri terasa di relung hatinya. Begitu mobil berhenti, Lisbeth bergegas turun tanpa menunggu Bryan. Dengan nanar, Bryan menatap Lisbeth yang lebih memilih berdiri di trotoar dan menghirup asap hitam knalpot daripada berada di dalam mobil dengannya.
Perlahan, Bryan keluar dari mobil. Ia berjalan di depan Lisbeth untuk menunjukkan jalan. Jantungnya berdebar ketika tangannya meraih telapak Lisbeth, ia nyaris berpikir Lisbeth akan menepis tangannya. Ternyata tidak, tetapi Lisbeth juga tidak menggenggam balik tangannya. Biasanya ketika ia meremas lembut tangan kekasihnya, Lisbeth akan membalasnya. Bryan berusaha tidak peduli, tetapi jantungnya terus mengkhianatinya.
Tak lama mereka tiba di depan Kedai Kopi Biru yang masih direnovasi. Dua orang tukang sedang sibuk mengecat dinding. Bau cat yang tajam menyambut mereka, Bryan melangkah panjang-panjang diantara kaleng cat, bungkus kosong semen yang berserakan di sana sini. Bryan berbincang sejenak dengan para tukang sebelum kembali ke Lisbeth. Ia membuka gawainya dan menunjukkan proposal Kopi Sunyi yang ia bagikan kepada Wim beberapa waktu lalu.
“Danar nanti kerja di sini,” kata Bryan perlahan. Ia mulai bercerita soal mimpinya, ada Barista Tuli, ramah terhadap Teman Tuli, memesan dengan Bisindo, dll.
Bryan hanya tersenyum kecut ketika menyadari wajah Lisbeth tak banyak berubah. Tak ada raut semangat ataupun terkesima. Mata Lisbeth hanya menatapnya tanpa mengucapkan sepatah kata.
***