Adakah dosa yang tak terampuni? Kesalahan yang tak termaafkan?
Keesokan sorenya, Bryan kembali menunggu di ruang tamu Lisbeth. Lisbeth turun, wajahnya tampak sedikit pucat. Tanpa banyak bicara, Lisbeth menyodorkan sehelai kertas. Bryan membukanya, tampak tulisan tangan Lisbeth. Bryan mengernyit. Tulisan Lisbeth biasanya rapi, tetapi kali ini tidak. Di beberapa bagian, tintanya seperti luntur kena air … atau air mata. Kertas itu berisi daftar pertanyaan.
Apakah Bryan masih begitu?
Sama siapa aja?
Mengapa tidur dengan mereka?
Apakah Bryan has feelings for them?
What about me? What am I to you?
Are you serious with me?
Bryan berdeham sebentar. “Mau dijawab semua?” tanyanya. Lisbeth mengangguk.
“Apakah masih begitu … sudah tidak. Sehabis kecelakaan, sudah … berhenti.” Bryan menelan ludah. “Nomor dua …” Bryan menatap mata Lisbeth yang melihatnya tajam-tajam, “Dengan siapa saja … hmm … mantan-mantan … pacar.” Bryan ingin memalingkan muka, tetapi tidak bisa. Begitu ia berpaling, Lisbeth tidak bisa membaca bibirnya.
Bryan tidak tahu apakah ada penyiksaan yang lebih berat dari ini. Harus menatap mata Lisbeth dan berbicara mengenai masa lalunya.
“Mengapa?” tanya Lisbeth dingin.
“Karena … semua teman … begitu. Supaya … tidak dianggap … kuno. That’s silly. Kalau dulu sudah tahu … pasti … enggak mau begini,” ujar Bryan terbata-bata. Tunggu, itu belum semua, sih. Itu bukan alasan utamanya. Namun, haruskah ia memberitahukan alasan utamanya kepada Lisbeth? Ia teringat kata-kata Anissa. “Harus jujur, Bryan!”
Bryan menghela napas. “Ada lagi, begitu … supaya … I think … the main reason is … I wanted to be loved. Lisbeth tahu … Papa, Mama, Ko Ben gimana. Keluarga aja, enggak sayang Bryan.”
Raut muka Lisbeth melembut. “Waktu kecil, aku pernah bagi-bagi permen … ke teman-teman gereja. Permen dari Singapur, supaya … mereka mau main … sama aku. Apakah seperti itu?”
Bryan tertegun karena Lisbeth menyamakan seks seperti membagi permen. Oh, Tuhan! Untuk sesaat, ia merasa begitu tidak pantas memacari Lisbeth. Bryan mengangguk pelan. “Ya … mungkin.”
Bryan menatap nanar ketika membaca pertanyaan nomor empat. Feelings. Apa itu? He thought he had feelings for maybe … few of his girls. But is it love? No, he doesn’t think so. It’s more lust … than love.
“Nomor empat?” tanya Lisbeth.
“Dulu tidak ada perasaan sayang. Tidak seperti dengan Lisbeth.”
“Maksudnya?” tanya Lisbeth lagi.
“Yah ….” Bryan terdiam. Jika ia menjawab ia hanya main-main, ia terkesan seperti orang yang sangat jahat. Namun, ia tahu bahwa waktu itu ia memang bukan orang baik-baik.
“Sama Lisbeth … beda.” Senyum tipis Bryan muncul. “Sama Lisbeth, rasanya … tenang. Dari pertama, Lisbeth bilang Bryan baik. You trust me … ketika enggak ada yang percaya. Lisbeth juga enggak pernah minta apa-apa. Justru Lisbeth yang sering kasih barang. Ingat? Kemeja, dasi. You’re hardworking, selalu mikirin orang lain, selalu pengin kasih yang paling baik … bahkan ketika … nggak dianggap. You’re always smiling bahkan di depan orang yang kamu tahu … merendahkan kamu. Anggap kamu nggak bisa apa-apa. Yet you give them your smile. You’re a strong, beautiful lady.” Suara Bryan bergetar dan ia merasa matanya buram. “I learned so much … from you. Sebenarnya Bryan yang mikir … I don’t deserve to have someone like you … but to imagine a life without you … is even more painful.”
Lisbeth menyodorkan tisu kepada Bryan. Pria itu mengambilnya dan mengusap matanya, “Sorry.”
Bryan menarik napas dan melanjutkan, “Yah, I just hope… you’re willing to give me a chance. To give us… a chance.”
Lisbeth terdiam lama. Bryan menanti dengan waswas. Tisu di tangannya sudah hancur. Akankah harapannya juga hancur?
“Ada lagi yang mau kamu ceritakan?”
Bryan tertegun. Ada satu yang belum ia buka. Tentang Livi. Ia terdiam. Lisbeth mungkin akan membencinya, tetapi ia tak punya pilihan. Dengan terbata-bata ia menceritakan bagaimana dulu ia mengejar Livi. Bagaimana Livi menolaknya mentah-mentah. Jantung Bryan hampir berhenti ketika menyaksikan ekspresi horor di wajah Lisbeth.
She hates him. Of course. She hates him. He’s trash. He has never loved a girl like this. Ia tak akan pernah tega melakukan kepada Lisbeth apa yang dulu ia anggap biasa lakukan dengan perempuan-perempuan lain. Namun, melihat reaksi Lisbeth, sepertinya kecil kemungkinan Lisbeth akan menerimanya lagi.
Ia menarik napas. “Lisbeth enggak harus sama Bryan, kalau tidak suka. Kata Bu Yuli, kita coba ketemu dulu selama dua bulan. Seminggu sekali. Jika Lisbeth tidak mau … nanti setelah dua bulan, Lisbeth kasih tahu. Bagaimana?”
Bryan mencoba memperpanjang waktunya. Dua bulan? Hanya dua bulan? Duh, bodohnya! Kenapa Bryan tidak bilang tiga bulan atau malah enam bulan sekaligus?
Lisbeth mengangguk pelan. “Dua bulan, ya?”
Bryan memaksakan senyum, “Iya pulang dulu, ya.” Di dalam mobilnya, ia menenggelamkan wajah ke dalam setirnya. She hates him. It’s over.
***