Kali ini, tawa kecut yang keluar. “Awalnya saya pikir mereka bakal senang.” Tenggorokan Bryan tersekat. Ia salah besar. “Sudah dua tahun, saya kerja banting tulang, tetap dianggap benalu. Enggak bisa kerja.” 

Kalimat-kalimat berikutnya mengalir lebih deras. Bagaimana teman-teman lamanya membujuknya kembali berpesta, tetapi Bryan menolak. Beberapa mantannya pun mendekati, tetapi ketika melihat ia bekerja di Bubbly Tea memakai celemek, beberapa terang-terangan menghinanya. “Lo sekarang jadi babu?” 

Mata Bryan terasa panas. Ia baru menyadari betapa kesepian dirinya. Dunia lamanya menertawakan dia. Keluarganya tidak percaya kepadanya. Di hari-hari itu, ia bertemu Lisbeth. Ketika mantan-mantannya meledek, menghina, Lisbeth melihatnya membersihkan grease trap malah memberinya jempol. “Bryan hebat.” “Bryan baik.” 

Sekarang mungkin ia harus kehilangan satu-satunya perempuan yang melihat dirinya dan tetap beranggapan he’s a good man. 

Bu Yuli menyodorkan tisu kepadanya lalu menuangkan segelas teh krisan. “Diminum dulu,” ujarnya.

Bryan merasakan manis yang samar-samar. Teh hangat yang melintas di tenggorokannya memberi rasa hangat. 

“Kamu memang suka di F&B?” 

Kepala Bryan menggeleng. “Awalnya tidak. Tapi saya tidak punya ijazah, Bu. Cari kerja di mana? Nama saya sudah terkenal berengseknya.” 

“Sekarang?” 

“Lama-lama saya suka. Saya senang melihat orang habis minum boba lalu ketawa.” Bryan tertawa kecil. “Sepele banget yah, Bu … Enggak ada kerennya. Tapi … saya suka. Saya senang ada yang bilang, ‘Makasih’.”

 Ia mengerjapkan matanya lagi. Cengeng. Memalukan. Tidak punya harga diri. Cecar hati Bryan. Namun, di hadapan Bu Yuli, ia seperti merasa ada kakak perempuan yang mendengarkan. Ia belum pernah bercerita semua luka dan perasaannya. 

“Kira-kira … Lisbeth masih mau sama saya tidak, ya? Mungkin, tidak mau juga. Bu.” 

“Kenapa kamu bilang begitu?” 

“Lisbeth Tuli, but she’s perfect, Bu. Ibu sudah saya kasih lihat fotonya kan? Desain Lisbeth bagus. Keluarganya juga harmonis. Tidak kayak saya. Sebenarnya Lisbeth tidak perlu kerja, Bu. Harta Om Wim, tiga turunan juga tidak habis.” Bryan menyesap tehnya lagi. 

“Apa yang bikin kamu tertarik sama Lisbeth?” 

Sekilas senyum muncul. Hidup Bryan tiba-tiba seperti mencium aroma lavender. “Kalau sama Lisbeth, saya … merasa saya … bisa jadi orang baik. Saya pengen kerja lebih keras buat buktikan kalau saya memang … bisa jadi orang baik. Saya tidak pengen .. Lisbeth kecewa. Dia pikir saya baik, ternyata enggak” 

Kerikil kembali muncul di tenggorokan Bryan membayangkan kemungkinan Lisbeth meninggalkannya. “But I don’t know whether she loves me … that much ….”

Bryan mengangkat wajahnya dan menatap Bu Yuli. “Anissa bilang sama ibu biasanya ada PR. Saya ga keberatan Ibu suruh saya ngapain aja, asal ….” Suara Bryan hilang. Ia tidak merasa layak untuk berkata, “Asal Lisbeth masih mau sama saya.” Pantaskah ia meminta sesuatu sesuci Lisbeth untuk dirinya yang begitu tak berharga? 

“Saya bisa bantu kalian. Kalau kamu mau ikuti langkah-langkahnya. Pertama .…” Bu Yuli membeberkan rencananya sementara Bryan mendengarkan dengan saksama. 

*** 

Lisbeth melirik Bryan yang sedang menyetir. Sedari beberapa hari lalu, perasaannya tidak enak. Ada sesuatu yang Bryan sembunyikan. Lisbeth mencoba menganalisa. Apakah Bryan bertengkar dengan orang tuanya? Apakah ada masalah di pekerjaan? 

Pintu pagar terbuka, mobil Bryan masuk ke dalam pagar rumah Lisbeth. Setelah memarkir mobilnya, Bryan tidak serta-merta membuka pintu. 

Bisa bicara sebentar?” Tangan Bryan bergerak. Ia menyalakan lampu di dalam mobil. Jantung Lisbeth berdebar. Ada apa? 

Ia fokus membaca bibir Bryan dan gerakan tangannya. Rasa dingin perlahan merayap ketika Bryan mulai bercerita tentang masa lalunya. Pacarnya yang banyak. Beberapa kali Lisbeth meminta Bryan berhenti karena ia harus memastikan ia tidak salah membaca bibir Bryan. 

“Tidur dengan pacar?” ulang Lisbeth heran. Otaknya berusaha mencerna pengakuan Bryan sementara wajah Bryan merah padam. Suara Livi terngiang di benaknya, “Jangan dekat-dekat Bryan. Bryan bukan cowok baik-baik.”

Apakah ini maksudnya? Ingatannya kembali ke masa-masa remajanya. Ketika kadang Tante Mei Hwa datang ke rumahnya dan menangis. Ia hanya tahu sepatah-patah dari membaca bibir mereka. Bryan bermasalah. Namun, masalah apa? Tidak ada yang memberi tahunya. Ternyata ini masalahnya, Bryan tidur dengan banyak perempuan. Bukan, bukan tidur seperti ia tidur di kamar Bryan waktu itu. Bryan berhubungan seks dengan banyak perempuan. Lisbeth memegang kepalanya yang berputar.

Kenapa? Itu kan tidak boleh? Lisbeth tidak mengerti. Seumur hidup, papi dan maminya selalu berkata, tidak boleh dekat-dekat dengan pria sebelum menikah. Nanti hamil. Ia tahu tentang hubungan seks, tetapi itu hanya untuk yang sudah menikah. Apakah Bryan pernah menikah sebelumnya?

“Bryan … sudah menikah?” Akhirnya Lisbeth membuka mulut.

Bryan menggeleng. Lisbeth makin pening. Bagaimana bisa berhubungan seks jika belum menikah?

“Maksud Bryan apa?”

Bryan menelan ludah, “Ini masa lalu. Sekarang sudah tidak … Tidak pernah lagi.”

“Jadi maksud Bryan apa? Aku bingung!” ujar Lisbeth frustrasi.

“Bryan pikir … harus kasih tahu Lisbeth … soal masa lalu.”

“Untuk apa?”

“Supaya kita bisa … konseling sama-sama sebelum … menikah.” tutur Bryan perlahan. 

Menikah … Bryan berencana menikah dengannya. Rasa hangat muncul di pipi Lisbeth. Ia terdiam sejenak mencoba memproses. 

“Kepala Lisbeth pusing.” Semua informasi yang baru diterimanya membuat ia sesak. Ia perlu bernapas. 

Bryan membuka pintu dan mengantar Lisbeth ke pintu rumah. 

Lisbeth kalau sudah siap, mau ikut bertemu konselor?” Jari Bryan mengeja k-o-n-s-e-l-o-r. Bertemu orang asing? Kepala Lisbeth tambah pusing. 

Selamat Malam.” Tanpa menunggu jawaban Bryan, Lisbeth masuk rumah dan menutup pintu. Ia bergegas menuju kamar lalu membanting tubuhnya di ranjang.

Awalnya, Lisbeth berpikir ada yang istimewa dalam hubungan mereka. Cara Bryan menciumnya. Ia melakukan itu dengan santai, tetapi membuat Lisbeth merasakan sensasi yang tak pernah ia rasa ada. Kembang api yang hampir meledak di bawah kulitnya. Diam-diam, ia memutar ulang adegan ciuman mereka di malam hari. Ia pikir itu karena ada sesuatu yang magical, istimewa. Namun, kini ia sadar. Bryan is a pro. Ia mungkin sudah melakukan itu berkali-kali dengan perempuan-perempuan lain. That’s why he knew where to touch and how. It’s nothing magical, just lots of practice.

Rasa ragu menyelinap ke dalam dirinya. Jangan-jangan, Lisbeth bukan satu-satunya buat Bryan. She’s just one among many. Jika Jimmy bisa mencampakkannya tanpa alasan jelas, apalagi Bryan?

Tanpa sadar, air mata mengalir di pipinya. Ia merasa dikhianati. Bryan melakukan itu bertahun-tahun lalu, bahkan sebelum mereka berkencan. Namun, seumur hidupnya, tak pernah terpikirkan ia akan berpacaran dengan pria yang suka gonta-ganti pasangan. Ia tadinya berpikir akan berpacaran lalu menikah dengan pria Tuli baik-baik, seperti Dodo dan Siti.

Sepanjang hidupnya, Lisbeth lelah menyandang gelar special needs children. Ia benci mendengar orang memuji betapa istimewa dirinya. Ia tidak ingin jadi istimewa. Lisbeth ingin jadi perempuan biasa-biasa saja. Dan kini, ketika ia ingin menjadi yang istimewa, dianggap istimewa oleh pria yang ia cintai, Lisbeth menemukan bahwa ia hanya satu di antara banyak perempuan lainnya.

Her wish was granted, just not exactly what she had hoped for.

***

Semalaman, Lisbeth hanya membolak-balikkan tubuhnya di ranjang sambil memeluk Bibi erat-erat. Bertubi-tubi pesan dari Bryan, tak satu pun ia balas.

Kenapa hidupnya begitu ruwet? Ia tidak pernah berpikir yang namanya percintaan sedemikian rumit. Ia pikir, asal sama-sama cinta, mereka akan menikah, lalu hidup bahagia. Ternyata tidak. 

Dadanya sesak. Bagaimana jika Bryan nanti begitu lagi? Bagaimana jika mereka menikah lalu Bryan bosan dengannya? Atau jika ia berubah jadi gendut setelah punya anak? Jika Bryan menciumnya apakah ia membayangkan perempuan lain? Apakah Bryan pernah teringat dengan perempuan-perempuan lain? Bagaimana jika mereka menikah, lalu ternyata … dirinya tidak seperti perempuan-perempuan itu? Apakah mereka cantik? Iya, pasti cantik. Dan semua perempuan … dengar. Tidak ada yang Tuli.


[1] shuǐ luò shí chū: ketika air surut, batu mulai terlihat. Apa yang disembunyikan, mulai terungkap.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here