Seberapa sering kamu salah menilai orang? Atau seberapa banyak orang salah menilai dirimu?
“Thanks, Vi.” Benny menutup teleponnya. Sambil menghela napas, Benny melihat tumpukan kertas yang seolah-olah tidak pernah habis di mejanya. Ia bersandar ke kursi kerja kulit hitam.
Bryan! Kenapa ia ketiban sial dengan punya adik laki-laki seperti dia? Karma buruk apa yang dia buat? Benny pikir, setelah kecelakaan Bryan tobat, berubah, hijrah, apalah namanya. Dating Lisbeth? Oh my goodness! That crazy brainless moron.
Ia harus melakukan sesuatu! Pikirannya kembali ke masa lalu, masa kanak-kanaknya. Ingatan pertamanya adalah nyamuk dan bau pesing menusuk.
***
Mamanya menepuk-nepuk kaki Benny seraya mengolesinya dengan minyak kayu putih. Ia berusaha mengalahkan nyamuk dan bau pesing menusuk dengan aroma minyak kayu putih. Namun, bukannya berkurang, baunya justru makin memuakkan. Mata Benny menatap sayu rumahnya. Mereka tinggal di bedeng sebelah sungai. Benny bisa melihat aliran sungai dengan air berwarna kecokelatan mengalir deras dari belakang rumahnya.
Dinding rumah mereka dari bambu anyaman berlantai beton hitam. Mereka bahkan tidak punya kamar mandi. Mandi maupun buang air dilakukan di WC umum. Benny sering tidur dengan perut kosong. Jika ia meraba perutnya, ada benjolan-benjolan tulang yang muncul.
Benny tak pernah tahu apa pekerjaan papanya yang hanya pulang beberapa hari sekali. Di rumah, hanya ada Mama dan dirinya, terkadang ada potongan-potongan kisah meluncur dari mulut Mei Hwa, tentang keluarga mereka di Medan atau uang simpanan dan emas yang hilang ketika mereka merantau ke Jakarta.
Pintu tiba-tiba terbuka, Papa pulang dengan rambut lepek dan kausnya lembap karena keringat. Ia menyodorkan uang kepada Mama. Benny bertanya-tanya kenapa wajah Mama selalu muram ketika menerima uang dari Papa.
Benny memejamkan matanya berpura-pura sudah tidur.
“Benny gimana?” Ia mendengar papanya bertanya.
“Baik.” Suara serak Mama terdengar.
“Tahan, ya. Wa kerja keras buat kita.”
Benny mengintip sedikit. Ia melihat mamanya mengangguk, tetapi wajah Mamanya tetap kelabu. Keesokan harinya, pagi-pagi buta Papa sudah menghilang.
***
“Papa mana,” gumam Benny sambil menatap pintu. Entah sudah berapa hari ia tidak bertemu papanya.
Mei Hwa mengusap kepala Benny. “Papa belum pulang. Nanti pulang kalau sudah bawa duit.” Papa makin jarang pulang. Katanya untuk menghemat ongkos transpor.
Benny merasakan tangan mamanya yang kini menjadi kasar. Dulu tangan mamanya halus. Aroma badan Mama pun berganti. Jika dulu wanginya menyenangkan, kini bau tak sedap terkadang menyeruak. Mama mulai melakukan pekerjaan kasar. Menyetrika, membersihkan rumah, apa saja asal halal. Namun, tak banyak orang yang mau karena ia harus membawa Benny.
Pintu tiba-tiba dibuka dan Ah Liong masuk. Wajahnya cerah, sekalipun keringat sebesar butiran jagung mengalir di dahinya.
“Benny!” Ia memeluk Benny “Lihat Papa bawa apa?” Ah Liong mengeluarkan mainan plastik Spiderman yang tampak lusuh. Warnanya sudah pudar, tampak berdebu. Namun, di mata Benny, mainan itu begitu mewah. “Wah. Makasih, Pa!”
Ah Liong mengusap kepala Benny. “Benny nanti belajar yang pintar, ya. Papa juga kerja keras! Nanti kita beli rumah gedong!”
“Yang besar, Pa?”
“Iya. Yang ada kolam renangnya!” bual Ah Liong.
“Yang enggak bau pesing, Pa?” tanya Benny kegirangan.
Ah Liong tertegun, “Iya, yang wangi.”
Di sudut ruangan, Mei Hwa menangis.
Malam itu, Benny berangkat tidur sambil tersenyum. Jarang sekali ia bisa tidur diapit papa-mamanya. Sebelum bunga mimpi menjemput, ia mendengar bisikan Mama.
“Liong, lo jangan janji yang aneh-aneh sama Benny,” bisik Mei Hwa. “Lo enggak ada duit. Dari mana beli rumah gedong? Makan aja kita enggak ada ….” Mei Hwa menangis lagi.
“Wa enggak boong. Wa enggak pernah boong. Lo lihat aja. Ntar suatu hari, wa beliin rumah gedong yang ada kolam renangnya buat lo sama Benny,” hardik Ah Liong.
***
Papanya menepati janji. Setahun kemudian, mereka pindah dari rumah bedeng di sebelah kali, ke rumah kontrakan di gang kecil. Paling tidak mereka tak perlu berbagi kamar mandi. Mendapat dapur, Mama gembira, ia mulai memasak, membuat siomay, bakpao dan menjualnya di pinggir jalan.
Keadaan mereka mulai membaik. Kemampuan Ah Liong membaca dan menulis dalam bahasa Chinesemembuatnya dipercaya sebagai tangan kanan seorang juragan di Kota. Ah Liong lalu dipercaya memegang beberapa toko Juragan tersebut di daerah Kelapa Gading. Di era 90-an, masih ada sawah di tepi jalan raya depan Kelapa Gading. Ah Liong membeli ruko kecil dan memulai sendiri usahanya. Benny gembira karena kini mereka berkumpul setiap hari.
Namun, mimpi buruk lain datang di hidup Benny. Mimpi buruk berbentuk seorang bayi laki-laki.
Benny mengintip dari balik pintu. Ia ragu-ragu untuk masuk karena Ah Liong sedang bermain dengan Bryan yang baru berumur beberapa minggu.
“Anak hoki … anak hoki … Bryan bawa hoki,” senandung Ah Liong. “Sejak ada kamu … kita makin hoki.” Ah Liong tertawa.
“Pa … maen sama aku …,” rengek Benny.
“Benny udah gede. Maen sendiri sana. Papa sibuk.” Ia pun pergi meninggalkan Benny kecil yang tidak mengerti.
Benny tak mengerti mengapa amarah timbul di hatinya. Sekarang, Ah Liong sibuk dengan Bryan dan jarang bermain dengannya. Tak hanya itu, bentakan demi bentakan pun makin sering ia dengar keluar dari mulut Ah Liong.
“BENNY! Kenapa Bryan nangis?” bentak Ah Liong. Benny melonjak terkejut. Papanya selalu bicara lembut kepadanya. Kenapa sekarang jadi begini? Pasti gara-gara Bryan. Cuihhh … anak hoki apanya? Benny akan membuktikan bahwa dirinyalah anak yang bawa hoki.
Kehadiran Bryan membuat hidup Benny sulit. Semua kesalahan Bryan, ia yang harus bertanggung jawab. Sebagai anak sulung, ia harus mengalah dan selalu mengalah.
Sepanjang masa kecil hingga masa remajanya, seiring dengan makin majunya usaha Ah Liong, mereka berpindah-pindah rumah terus-menerus. Makin lama rumah mereka makin besar, makin luas. Hingga akhirnya ….
Sunter.
Benny terkagum-kagum menyaksikan rumah baru mereka. Ini bukan hanya besar. Ini megah dan mewah. Lantai keramik, lampu kristal gantung besar, dan … kolam renang.
“Pa, Ma ….” Benny memanggil orang tuanya yang sedang berdiri di depan kolam renang. Belum sempat ia berbicara, ia mendengar papanya berkata.
“Hwa … lihat, wa tepati janji wa. Beliin rumah gedong yang ada kolam renangnya buat lo sama Benny.”
Ingatan Benny kembali ke rumah bedeng di pinggir kali, janji papanya, dan mamanya yang menangis. Ia ingat nyamuk dan bau menusuk itu.
Mei Hwa tersenyum. “Lo masih inget?”
“Wa enggak pernah bohong, kan?” Benny menangkap nada bangga di suara papanya.
“Kamsia, Liong.”
“Wa yang kamsia … lo percaya sama wa.”
Benny tercenung. Seumur-umur, ia tidak pernah mendengar papanya mengucapkan “kamsia” ke mamanya. Kodrat istri melayani suami, ikut suami, pokoknya semua menurut kepada suami. Baru kali itu … ada kata “kamsia” meluncur dari mulut papanya. Ia bangga dengan papanya dan bertekad bahwa setelah besar nanti, ia mau menjadi seperti papa.
***