Berapa banyak hal yang bisa berubah dalam dua bulan? Bryan menyetir mobil melewati daerah yang sering ia lewati. Ada kafe baru yang muncul dan restoran lama yang tutup. Di tengah dunia yang selalu berubah, mendapati ada sesuatu yang tak berubah sebenarnya menyenangkan. Seperti teman lama.
Bryan menghentikan mobilnya di depan rumah besar megah di daerah Kemang. Tak lama pintu pagar otomatis terbuka dan Bryan memasukkan mobilnya. Ketika ia hendak turun, tas kain besar berisi kain untuk Lisbeth menyembul dari kursi belakang. Sebuah ide muncul di benaknya. Ia bisa meminta Anissa memberikan tas itu kepada Lisbeth.
“Yo … Minum, Bro?” Dimas membuka Evian dari kulkas dan menyodorkannya kepada Bryan.
“Thanks. Tumben amat lo minta kita meeting di rumah lo dan hari Sabtu, pula?” tanya Bryan sambil duduk di kursi meja bar.
“Sekali-sekalilah. Kan menyambut lo balik dari Taiwan,” kata Dimas sambil menyengir.
Mereka duduk dan mulai membahas rencana ke depan, ekspansi, dan khususnya aplikasi dari poin-poin yang Bryan pelajari selama di Taiwan.
“Ketika kita membuat satu komoditas, cara meningkatkan nilai jual adalah dengan adding value, adding something that touches people’s heart. Then it will have a ripple effect. Personality and story add value to the product and this is our value.” Bryan berhenti sejenak.
“A sprinkle of sweetness in real life when life sucks.”
“You wrote this yourself?” goda Dimas dengan mata membelalak.
“Kalimat utamanya dari founder. A tough, smart lady. What do you think?”
“It’s not just okay. It’s brilliant,” puji Dimas sambil menepuk bahu Bryan.
“Dinner is ready.” Anissa masuk membawa dua piring di kedua tangannya diikuti oleh … Lisbeth.
Bryan masih tak biasa melihat potongan rambut Lisbeth yang baru. Rambut Lisbeth yang dulu panjang, kini dipotong model bob. Livi saja tidak pernah memotong rambutnya sependek itu. Dan kaus itu? Sejak kapan Lisbeth sudi mengenakan kaus kebesaran dengan celana pendek yang sudah luntur warnanya? Lisbeth yang Bryan ingat selalu memakai baju dengan ukuran pas. Jangankan luntur, kalau ada kerutan sedikit saja Lisbeth tidak mau pakai. What’s going on, Lisbeth?
Hal lain yang paling membuat Bryan tersentak adalah mata Lisbeth tampak kosong. Lisbeth berdiri diam seperti patung.
“Sit down, Darling.” Anissa mempersilakan Lisbeth duduk di sebelahnya. Seperti bisa membaca pikiran Bryan, Anissa menjelaskan, “Lisbeth kadang nginep di rumah gue. Main sama Kayleen, ya kan Lisbeth?”
“And to accompany our steak … Dassai 39.” Dimas mengumumkan sambil tersenyum lebar. Ia menyerahkan sebotol Dassai 39 kepada Anissa dan satu botol lagi yang dipegangnya dia tuangkan ke gelas Bryan.
“Ini Kobe beef sama sakenya baru fly in tadi pagi,” jelas Anissa.
“Let’s cheer first!” Anissa menuang sake ke gelasnya, lalu ke gelas Lisbeth.
Bryan mengangkat alis. “Since when did she drink?” tanyanya kepada Anissa.
Anissa mengangkat bahu. “Since … you’re gone? Let’s cheer for love,” ujar Anissa seraya mengerling.
“Friendship,” sambung Dimas.
“Health,” gumam Bryan.
Lisbeth diam saja. Ia hanya mengangkat gelasnya. Dengan sekali teguk, Lisbeth menghabiskan isi gelasnya.
Bryan berusaha sibuk dengan steiknya. Ia memotong steik dengan perlahan lalu disambut dengan semburat merah muda dan garis-garis putih marbling khas Kobe beef.
“Hmmm.” Bryan mengangguk. Lemak dan daging Kobe langsung meleleh di dalam mulutnya.
Anissa tertawa puas. “All Kobe beef are Wagyu but not all Wagyu are Kobe.”
“Cobain pake Dassai-nya. Sekali coba, lo akan mikir kenapa enggak dari dulu makan steik pake sake,” puji Dimas.
Bryan meneguk sedikit sakenya.
“Whoa … This is … good!”
“Excellent right?” Dimas tertawa puas. “Dulu gue pikir steik cuman cocok sama wine. Ternyata ….”
“Ini ada … rasa … apel, pir? And … blueberries?” tebak Bryan.
“Ck ck ck … masih hidup yah lidah lo.” Dimas tergelak. “Enggak nyangka kan, sake rasanya that rich?”
Sembari mereka makan dan bercakap-cakap, Bryan sesekali melirik Lisbeth. Gadis itu hanya duduk diam, menunduk, dan memakan steiknya tanpa selera. Gaya makannya masih sama seperti dulu. Anggun. Sesekali menyesap sake di sebelahnya.
Bryan terus memakan steiknya, tetapi rasa lezat wagyu beef terasa hambar di mulutnya. Benak Bryan dipenuhi pertanyaan, apa yang terjadi dengan Lisbeth?
“More sake, Sweetie?” tawar Anissa kepada Lisbeth.
“Kebanyakan enggak sih, Nis?” protes Bryan. “This is quite strong! Alcohol level?”
“Enam belas persen,” jawab Anissa sambil bersiap menuang sake ke gelas Lisbeth.
“My goodness! Ini lebih keras daripada Chardonnay!” protes Bryan.
“So? She’s an adult!” Anissa hendak menuang, buru-buru Bryan menahan tangannya.
“Stop, Nis!” hardik Bryan. “Lisbeth enggak biasa minum!”
“What’s wrong with you Bryan? Is she your girlfriend? Or wife? No, right?” sindir Anissa sambil menepis tangan Bryan.
Bryan membanting garpunya. “I’m done.” Bryan bangkit dari kursinya dan berjalan ke balkon. Wajahnya merah. Tangannya mengepal.
Ia merasa ada yang mengikutinya dari belakang. Anissa. Ia memberi sebotol Evian kepada Bryan.
“What?” hardik Bryan.
“Since you still care so much about her, why don’t you talk to her?” bujuk Anissa.
“Nope ….” Bryan menggeleng.
Anissa menatap Bryan tajam-tajam. “Don’t waste my sake!”
“Ha? You made her drunk so I can talk to her?” Suara Bryan meninggi.
“Desperate time calls for desperate measures, Bryan.” Anissa menyibakkan rambutnya.
“Gila lo. Om Wim will kill you!”
“Nope. He’ll thank me.” Anissa tergelak. Ia meletakkan tangannya di bahu Bryan. “Go talk to her. She needs you. Lo tahan lihat Lisbeth jadi kayak … gitu?”
Bryan diam. Dia jelas tidak tahan.
“Lisbeth terakhir enggak mau ngomong sama gue.”
“Ah, I see. I should give her more sake then,” Anissa berbalik.
Bryan menahan Anissa. “Wait!” Bryan menghela napas. “Okay. I’ll try. Tapi kalo dia enggak mau ngomong sama gue, gue enggak akan paksa, ya.”
“Deal! Oh sebelum gue lupa, lo tahu ini apa? Kata Nala, Lisbeth terus-terus gambar ini.” Anissa membuka ponselnya menunjukkan gambar hitam putih dahan dengan kelopak bunga berguguran.
“Mei hwa,” desis Bryan mengenali bentuk kelopak bunga yang Lisbeth gambar.
“Nyokap lo?”
“Bukan, bunga yang Lisbeth gambar. Plum blossoms. Mei Hwa.”
Anissa tersenyum penuh kemenangan. “Now, you know right. Mei hwa. Dari begitu banyak jenis bunga, kenapa Lisbeth menggambar mei hwa?”
Ia mendorong Bryan kembali ke ruang tengah. Dimas dan Lisbeth sudah berada di sofa sambil menonton DVD. Bryan duduk dengan canggung di dekat Lisbeth. Mata Lisbeth terus menatap ke depan, tetapi Bryan yakin pikiran Lisbeth tidak ada di situ.
“Lisbeth, aku cek Kayleen dulu, ya?” Anissa pamit sambil memberi kode supaya Dimas mengikutinya.
“Bryan,” panggil Anissa. “Don’t. Waste. My. Sake!” ulangnya lagi.
***